x

Tersangka kasus dugaan penistaan agama, Ahok, usai menjalani pemeriksaan di Rupatama, Mabes Polri, Jakarta, 22 November 2016. Pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama ini berlangsung selama 8 jam. TEMPO/M Iqbal ichsan

Iklan

anggun susilo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Karakter dalam Birokrasi

Perlukah kita khawatir akan fenomena-fenomena yang sekarang ini sedang terjadi? Secara normatif kita perlu untuk waspada!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia tengah ‘diguncang’ fenomena-fenomena menarik yang dalam banyak hal menyita perhatian. Fenomena yang dimaksud adalah perihal penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu calon Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan fenomena yang lain adalah terpilihnya presiden Amerika Serikat yang baru. Dalam banyak hal, kedua sosok pribadi yang dimaksud mempunyai kesamaan, walaupun juga perbedaan mendasar diantara keduanya tidak dapat kita pungkiri.

Dalam kasus penistaan agama yang diawali oleh pernyataan calon Gubernur yang dimaksud diatas telah memantik emosi ribuan umat beragama. Begitu hebatnya kasus ini sehingga jutaan manusia datang dan berbondong-bondong menuju Jakarta untuk melakukan aksi demonstrasi menyuarakan ketidaksepakatan mereka atas apa yang dilakukan oleh calon Gubernur tersebut. Tak cukup berhenti disitu, isu SARA pun akhirnya merebak luas di masyarakat. Disebut-sebut juga bahwa aksi pelemparan bom molotov oleh seseorang ke tempat ibadah yang terjadi belakangan ini telah disangkut pautkan juga dengan isu penistaan agama tersebut.

Di tempat berbeda, ribuan orang berunjuk rasa di kota kota besar di Amerika Serikat. Mereka turun ke jalan menuntut agar Presiden terpilih agar mengundurkan diri karena dianggap beliau adalah pribadi yang kontroversial dan tidak mendukung adanya migrasi dan keberpihakan kepada kaum miskin. Walaupun berbeda tempat, kedua aksi itu mempunyai dampak yang sama yaitu menyita perhatian publik sekaligus membuat keadaan menjadi tidak menentu. Apa sebetulnya yang kita khawatirkan dari kemunculan kedua fenomena diatas? Ada beberapa penjelasan yang mungkin bermanfaat dan layak untuk dipikirkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, karakter pemimpin khususnya dalam pemerintahan sangat menentukan kebijakan yang dibuat. Dengan karakter tertentu, program pembangunan cenderung mengikuti apa yang di instruksikan oleh pimpinan. Program pro rakyat biasanya datang dari pemimpin yang mempunyai latar belakang keberpihakan kepada rakyat kecil atau bahkan mereka sendiri pernah mengalami sebagai golongan masyarakat yang tertindas dan juga mendapatkan dampak dari kebijakan tersebut. Namun, perlu diingat bahwa model yang seperti ini biasanya hanya berlaku di Negara-negara berkembang dimana persoalan politik elite masih menjadi panglima atau bisa diartikan bahwa jabatan public adalah salah satu bentuk dari artikulasi kepentingan.

Berbeda dengan apa yang terjadi di Negara Negara yang lebih maju. Siapapun pemimpin nya dan bagaimanapun karakter pribadi yang dimilikinya tidak begitu nampak berpengaruh pada hasil akhir sebuah kebijakan. Yang mungkin berbeda adalah bagaimana cara dan metode implementasi kebijakan tersebut. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya, perlu kita berkaca kembali kepada apa yang sudah disampaikan oleh seorang sosiolog Jerman bernama Max Weber. Menurutnya, sebuah birokrasi yang modern harus bersumber pada pemikiran dan peraturan yang rasional dan tidak berdasar pada charisma seseorang  (Setiyono 2016:22). Singkatnya, yang menjadi penentu kebijakan adalah system dan bukan personal.

Kedua, di Negara berkembang seperti Indonesia dimana kedewasaan politik dan reformasi birokrasi masih pada tahap awal, desain sebuah kebijakan masih ada di tangan penguasa politik. Sehingga sering kita temukan bahwa kebijakan berganti seiring dengan berakhirnya masa jabatan pemimpin. Setelah mempunyai pemimpin baru, maka kebijakan akan berubah dan mengikuti selera dan pemikiran pemimpin yang baru tersebut. Namun hal ini bukanlah hal yang istimewa karena banyak pula ditemukan di Negara Negara berkembang yang lain. Dan, bukan juga merupakan hal yang istimewa karena beberapa ‘trick’ seperti blusukan ke daerah daerah demi mendengar aspirasi rakyat jelata sudah banyak dilakukan oleh pemimpin di era era sebelumnya. Ini hanyalah bentuk replikasi.

Lalu, perlukah kita khawatir akan fenomena-fenomena yang sekarang ini sedang terjadi? Secara normatif kita perlu untuk waspada!. Tetapi, yang harus diingat adalah tidak perlu mempunyai kewaspadaan yang terlalu berlebihan. Pemikiran yang mendalam disertai dengan pertimbangan yang matang adalah kunci sebelum kita berpendapat. Disamping itu, penting pula untuk mengingatkan bahwa seberapun kuatnya politik berkuasa, masih ada aturan main yang akan mengatur yaitu supremasi hukum. Pada akhirnya, pro kontra akan sebuah fenomena akan masuk ke ranah hukum apabila memang dirasa ada hal-hal yang harus diselesaikan melalui jalur hukum.

Justru yang perlu kita galakkan sekarang adalah memperkuat fungsi kontrol masyarakat sipil khususunya kepada birokrasi untuk menciptakan apa yang sesuai dikatakan oleh Weber yaitu sebuah birokrasi modern. Memang perlu waktu untuk menuju ke tahap ini dan tentu juga apa yang dimaksudkan Weber tidak cocok untuk Negara berkembang seperti Indonesia. Yang menjadi garis bawah setidaknya adalah ada jalan keluar yang lebih baik dan lebih elegan untuk berpolitik diluar jalur anarkis seperti yang belakangan hari ini muncul.

 

Anggun Trisnanto

Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya, saat ini sedang menempuh program doctoral di Institute of Social Studies (ISS) Den Haag, Belanda

Ikuti tulisan menarik anggun susilo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler