x

Iklan

Naufal Sabda Auliya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Irasionalitas Aksi Dua Desember

Opini dalam memandang rencana Aksi 2 Desember mendatang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aksi Bela Islam pada 2 Desember mendatang akan mempertontonkan “pengeroyokan” terhadap independensi hukum. Penyampaian aspirasi memang tidak dilarang di bumi demokrasi, tapi jika sampai memaksakan kehendak, tentu ketertiban dan keamanan yang menjadi dampak. Pemerintah perlu bekerja keras agar penyampaian aspirasi tersalurkan dalam suasana damai dan kondusif.

Aksi yang digagas Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI ini digelar untuk menuntut penahanan terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Ahok memang sudah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama, namun tampaknya ini belum cukup untuk mereda “pergerakan” sebagian massa. Perang terhadap pengusik agama menjadi “sampul” yang mendalangi massa turun ke jalan. Namun, apabila ditelisik lebih dalam, hal ini nyatanya sudah banyak terkontaminasi muatan politik.

Berbagai kalangan menyoroti rencana aksi yang disebut sebagai Aksi 212, mulai dari tokoh agama, politisi, POLRI, TNI hingga Presiden RI. Hal ini memang tidak mengherankan, karena berbagai isu yang berkembang terus bergulir mulai dari pelaksanaan solat jum’at di jalan, rush money sampai pada isu makar. Tidak berhenti disitu, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar menyebut bahwa akan ada tujuan lain pada rencana aksi tersebut yang mempunyai afiliasi pada gerakan kelompok radikal ISIS.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pro dan kontra terhadap Aksi 212 menyeruak dikalangan masyarakat. Para ulama pun sudah terpecah menjadi dua suara. Ada yang lantang tetap maju menantang, ada pula yang bijak menunggu proses hukum yang berjalan. Sebagian tokoh agama menyerukan agar membatalkan Aksi 212, karena hanya akan menguras energi dan tidak memiliki faedah yang berarti. Apalagi, aksi ini hanya digerakkan oleh kelompok tertentu yang cenderung memanas-manasi suasana, hal ini tentu tidak sesuai dengan wajah Islam sebagai agama kedamaian.

Jika melihat substansinya, sebenarnya tuntutan massa pada 4 November terkait keadilan hukum telah terpenuhi. Ahok telah ditetapkan tersangka dan tengah diproses secara hukum atas kasus dugaan penistaan agama. Tuntutan penahanan terhadap Ahok yang akan digaungkan pada Aksi 212 menjadi tidak rasional. Penghormatan terhadap proses hukum seolah diabaikan. Pergerakan ini kental nuansa politik dan bukan lagi murni memperjuangkan keadilan hukum.

Aksi 212 sudah tidak sesuai lagi dengan konteksnya. Kasus Ahok yang sedang bergulir harus tetap didudukkan pada domain hukum, jangan sampai dicampur-aduk dengan ranah politik, agama dan ras. Proses hukum harus tetap berjalan sesuai peraturan perundangan yang berlaku, bukan atas dorongan dan intervensi massa. Kebebasan berpendapat bukan berarti “kebablasan” berkehendak, gelora demokrasi tidak seharusnya dibenturkan dengan supremasi hukum.

Demokrasi dan hukum harus berjalan seimbang. Bila demokrasi lebih kuat daripada hukum maka akan muncul kebebasan tanpa batasan yang memungkinkan terjadinya chaos. Sebaliknya, jika hukum lebih kuat dari demokrasi maka akan muncul pemerintahan otoriterian. Demo 2 Desember menjadi cermin sikap pengkerdilan hukum. Sudah menjadi tugas Pemerintah untuk menjaga demokrasi yang berkonstitusi.

Selain itu, Pemerintah juga perlu mengantisipasi kemungkinan adanya “penunggang gelap” yang ditengarai akan menyusup di Aksi 212. Kegaduhan ini jangan sampai dimanfaatkan kepentingan politik lokal dan internasional. Pemerintah harus tetap mampu menjadi aktor pengendali, menjaga situasi agar tidak terseret arus perpecahan yang mengusik kedaulatan NKRI.

Menyikapi hal ini, masyarakat juga harus berhati-hati. Kita perlu merapatkan barisan agar tak terpengaruh adu domba yang mengancam kebhinekaan. Peran ulama sangat penting untuk tetap menjaga kesejukan. Para tokoh agama perlu membangun dan menguatkan konsolidasi dan komunikasi baik secara intra maupun antar-umat beragama.

Sebagai negara yang dibangun di atas pondasi keberagaman, Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu merawat toleransi di ranah publik. Negara tidak boleh menolerir permusuhan-permusuhan atas nama SARA di Indonesia. Karena kita “Bhineka Tunggal Ika”.

--oOo--

Sumber gambar: http://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2016/10/14/petisi-demo-ahok-jika-satu-minggu-ahok-tak-diproses-datang-lebih-banyak/

Ikuti tulisan menarik Naufal Sabda Auliya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler