x

pilkada-serentak2017

Iklan

Sulardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun Demokrasi, Jadinya Oligarki~Sulardi

Model demokrasi one man, one vote ini berpegang pada asas kesetaraan, tapi sesungguhnya ada ketidakselarasan dan ketidakkeseimbangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tahun ini, alam sedang mengajari kita semua bagaimana demokrasi bekerja. Di Amerika Serikat, hasil pemilihan presiden sangat mengejutkan. Donald Trump, yang dalam berbagai survei tidak pernah muncul sebagai pemenang, ternyata mampu melalui mekanisme demokrasi yang menunjukkan ia memperoleh suara lebih banyak dibanding lawannya, Hillary Clinton.

Trump memenangi pemilihan presiden setelah mendapat 277 electoral vote, dengan syarat 270 poin untuk menang. Faktanya, Trump menang. Ini merupakan kemenangan "masyarakat bawah" Amerika Serikat, yang selama ini merasa ditinggalkan oleh kelas atas/mapan.

Demikian juga halnya di Indonesia. Tahun depan, akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah serentak di 101 kota, kabupaten, dan provinsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjelang pilkada serentak pada 2017, yang hiruk-pikuk dan menyedot perhatian publik hanyalah pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Bukan disebabkan oleh masalah krusial yang berkaitan dengan mekanisme pilkada, melainkan perkara penistaan agama yang dilakukan salah seorang kandidat, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Demokrasi yang kini dikenal dan diselenggarakan dengan metode one man, one vote adalah demokrasi yang dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), yang berkontribusi melahirkan tatanan demokrasi melalui konstruksi kontrak sosial, yang melahirkan kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat (bukan orang per orang) mempunyai hak untuk mengganti penguasa jika dalam menjalankan kekuasaannya tidak seperti yang dikehendaki oleh rakyat. Revolusi Perancis pada 14 Juli 1789 merupakan salah satu penanda kelahiran demokrasi yang berhasil menumbangkan pemerintahan absolut pada waktu itu.

Demokrasi inilah yang selanjutnya ditafsirkan oleh penyelenggara negara dan pegiat demokrasi dengan model suara mayoritas menentukan keputusan yang dihasilkan, termasuk suara mayoritas dalam pemilihan umum. Dalam pilkada, yang jumlah calonnya lebih dari dua, calon harus memperoleh mayoritas 30 persen suara agar dapat menang. Khusus pilkada DKI, suara mayoritas yang diperlukan 50 persen plus 1.

Model demokrasi one man, one vote ini berpegang pada asas kesetaraan, tapi sesungguhnya ada ketidakselarasan dan ketidakkeseimbangan. Suara seorang guru besar, yang mempunyai gagasan-gagasan besar untuk menata sistem kepolitikan dan ketatanegaraan, sama persis dengan suara orang awam yang tidak mengenal sekolah sekali pun. Di kotak suara, nilai sang guru besar dan masyarakat awam yang tak bersekolah sama persis, yakni 1.

Model seperti ini sangat menguntungkan bagi mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil rakyat. Sebab, mendekati rakyat untuk mendapatkan suara bakal jauh lebih mudah. Tidak perlu gagasan-gagasan besar untuk memajukan kota, kabupaten, provinsi, atau negara. Ia cukup berjanji masyarakat awam itu memperoleh keuntungan yang akan langsung dirasakan jika mereka terpilih kelak. Mereka menjanjikan sekolah gratis, fasilitas kesehatan gratis, serta tersedianya kebutuhan pokok dengan harga murah dan terjangkau. Mendatangi dan mendengarkan curhat rakyat menjadi daya tarik bagi masyarakat awam. Padahal, kita tahu, tanpa mereka menjanjikan hal-hal itu, tugas mereka sebagai kepala daerah adalah menyejahterakan masyarakat. Ini tentu mencakup layanan publik yang murah dan terjangkau.

Plato, filsuf yang hidup 25 abad lampau, telah mengenalkan kepada para peminat ketatanegaraan soal sistem oligarki. Negara disebut oligarki jika terdapat aturan yang menyatakan bahwa yang dapat menjadi penguasa hanyalah kaum kaya. Negara yang dikuasai oleh kaum kaya (dalam bahasa sekarang: kapitalis) inilah yang kelak mendapat tantangan dari masyarakat dan ditumbangkan sehingga melahirkan tatanan demokrasi.

Tesis Plato ternyata terbalik untuk kasus Indonesia. Munculnya oligarki justru berasal dari demokrasi yang gagal melahirkan tatanan demokrasi yang substansial. Demokrasi yang dihadirkan di negara ini berada di level prosedural: bagaimana cara memilih, dicoblos atau dicontreng, manual atau elektronik, berapa persen dukungan, berapa ambang batas perolehan suara, dan bagaimana mekanisme pencalonan. Semua masih berkutat di sini.

Pilkada serentak 2017 telah menjawab bahwa yang sedang diselenggarakan adalah pemilihan penguasa model aligarki. Sebab, yang bisa mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah hanyalah orang yang berduit, atau yang kaya-raya. Untuk dicalonkan saja harus punya duit. Di dunia politik, berlaku ungkapan "tak ada makan siang gratis". Demikian juga menjalankan mesin tim sukses, tim survei, dan tim kampanye. Semuanya butuh duit, baik untuk politik uang maupun uang politik.

Tidak usah heran jika para pemenang pilkada itu lebih berfokus mengembalikan modalnya daripada menyejahterakan rakyat dan memikirkan kemakmuran bersama. Sudah cukup bukti, 71 tahun usia negara dan bangsa ini, tapi target menyejahterakan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa masih terus menjadi "obyek dan materi kampanye". Perlahan tapi pasti, demokrasi sedang dilumpuhkan dan oligarki dihidupkan. Bungkusnya demokrasi, isinya oligarki. Artinya, selama ini kita merasa membangun demokrasi, tapi ternyata menghasilkan oligarki.

Sulardi

Wakil Sekjen Asosiasi HTN-HAN Pusat

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 30 November 2016

Ikuti tulisan menarik Sulardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler