x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setelah Berkas Perkara Ahok P21

Proses penyidikan oleh Penyidik Polri yang kemudian BAP dinyatakan lengkap oleh kejaksaan patut diapresiasi untuk menuntaskan dugaan oenistaan agama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah Berkas Perkara Ahok P21

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

       Perkara dugaan penistaan agama Islam yang diduga dilakukan Gubernur Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan Agung pada Rabu (30/11/2016). Kemudian jaksa peneliti meminta agar penyerahan berkas perkara penyidikan (BAP) tahap kedua dilakukan dengan menyerahkan barang bukti dan tersangka pada Kamis (1/12/2016), sehari setelah BAP dinyatakan lengkap.

       Lancarnya proses prapenuntutan yaitu tindakan penuntut umum mengikuti perkembangaan penyidikan setelah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan BAP, serta memberikan petunjuk untuk dilengkapi, patut diapresiasi. Sama sekali tidak ada pengembalian BAP disertai petunjuk (P19) oleh kejaksaan untuk diperbaiki. Begitu penyerahan BAP tahap pertama yang kemudian diteliti selama 14 hari, Kejaksaan Agung langsung menyatakan lengkap.

       Boleh jadi ada pihak yang bertanya, mengapa proses penanganan dugaan penistaan agama Islam yang diduga dilakukan Ahok begitu lancar? Setidaknya bisa dijawab dalam dua persepsi. Pertama, perkara ini mendapat perhatian luas dan serius oleh umat Islam, yang dapat dilhat pada berbagai pemberitaan di media massa, termasuk unjuk rasa bela Islam pertama dan kedua yang begitu besar jumlah pesertanya yang menuntut agar Ahok ditetapkan tersangka sekaligus dikenakan penahanan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Bukan hanya itu, pada 2 Desember 2016 umat Islam juga melakukan aksi bela Islam ketiga “super damai” dengan melakukan zikir, berdoa, taushiyah, sekaligus shalat Jumat di lapangan Monumen Nasional (Monas). Kedua, penyidikan perkara juga berjalan baik setelah gelar perkara (15/11/2016) dan besoknya Ahok ditetapkan tersangka. Ini menunjukkan bahwa pencarian dan penetapan alat bukti yang cukup tidak rumit sehingga perkara ini terang-benderang dan dilimpahkan ke kejaksaan.

Penerapan Pasal UU

       Berdasarkan pemberitaan selama ini, penyidik diduga menerapkan Pasal 156a KUHPidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara, dan Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana 6 (enam) tahun penjara. Ternyata menurut Kejaksaan Agung (30/11/2016) penyidik menerapkan Pasal 156 KUHPidana yang melarang di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam pidana penjara selama 4 (empat) tahun.

       Pasal kedua yang diterapkan adalah Pasal 156a huruf-a KUHPidana yang intinya sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau menodaan (penistaan) terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Pasal ini diancam pidana penjara selama 5 (lima) tahun yang menurut Pasal 21 Ayat (4) huruf-a KUHAP dapat dikenakan penahanan di penyidikan atau pada tahap penuntutan. Berbeda dengan Pasal 156 KUHAP yang tidak boleh dikenakan penahanan karena ancaman pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun.

      Penerapan kedua pasal tersebut sesuai dengan saran saya dalam tulisan di Koran Sindo (15/11/2016), sebab kedua pasal tersebut berkaitan corak dan ciri atau bersinggungan dua atau lebih tindak pidana yang dilarang. Hal itu akan dipakai penuntut umum dalam surat dakwaan berupa “dakwaan alternatif”,  yaitu dakwaan yang dirumuskan antara satu dakwaan dengan dakwaan lain yang saling mengecualikan. Dakwaan ini memberi pilihan bagi hakim mengenai dakwaan mana yang terbukti dan harus dipertanggung-jawabkan oleh terdakwa.

       Melihat urutan pasal yang digunakan penyidik dalam BAP yang mendahulukan Pasal 156 KUHPidana, kemudian Pasal 156a huruf-a KUHPidana, tentu dalam praktik tidak lazim sehingga bisa saja penuntut umum hanya akan membuktikan dakwaan pertama. Sebab biasanya, pasal yang didahulukan yang nantinya menjadi dakwaan kesatu (biasa juga disebut primer) oleh penuntut umum adalah pasal yang ancaman pidananya lebih tinggi. Kita akan lihat bagaimana susunan pasal dalam surat dakwaan yang akan dibuat penuntut umum.

Tidak Ditahan      

       Setelah penyerahan BAP tahap kedua, ternyata Kejaksaan Agung menyatakan tidak mengenakan penahanan terhadap tersangka. Dari satu sisi tentu bisa dipahami karena penuntut umum punya hak subjektif dalam menilai seorang tersangka bisa ditahan atau tidak, meski syarat objektif terpenuhi yaitu diancam pidana penjara 5 (lima) tahun (Pasal 21 Ayat 4 huruf-a KUHAP).       

       Penilain subjektif oleh kejaksaan (penuntut umum) tidak melakukan penahanan saat tersangka diserahkan bersama barang bukti, didasarkan pada Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, bahwa penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan atas tiga alasan. Pertama, ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa melarikan diri.

       Kedua, dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti. Ketiga, mengulangi tindak pidana. Semua keadaan itu tidak harus terpenuhi, bisa salah satu saja atau dua, atau bisa juga ketiga keadaan itu terpenuhi. Yang dipertanyakan publik karena ada perbedaan perlakuan terhadap beberapa tersangka penistaan agama yang langsung ditahan saat penyidikan. Sebut saja Arswendo Atmowiloto, Permadi, dan Lia Aminuddin. Hal ini tidak sejalan dengan asas “equality before the law” atau persamaan perlakukan dalam proses hukum.

       Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, M. Rum (JPNN.com, 1/12/2016), alasan lain Ahok tidak ditahan merujuk pada keputusan Bareskrim Polri yang sudah melakukan pencegahan (cekal) dan selalu kooperatif. “Bahkan sesuai SOP di kami, kalau penyidik tidak menahan, maka kami juga tidak”. Boleh jadi yang dimaksudkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-036/A1JAl09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.   

       Akan tetapi, dalam SOP dimaksud tidak ada satu pasal dan ayat yang secara tegas mengatur bahwa kalau penyidik tidak menahan, maka kejaksaan juga tidak melakukan penahanan saat pelimpahan BAP tahap kedua. Dalam praktik selama ini, biasa terjadi tersangka tidak ditahan saat penyidikaan, tetapi ketika tahap penuntutan atau tersangka diserahkan dikenakan penahanan. Tentu itu kewenangan penuntut umum yang patut dihargai karena memang dimungkinkan oleh KUHAP.

       Bisa juga penuntut umum melihat realitas yang ada. Ada dugaan kalau Ahok dalam wawancara ekslusif di media Australia ABC yang secara garis besar mengatakan bahwa berdasarkan pemberitaan di media, para pendemo 4 November 2016 menerima bayaran Rp500 ribu (Tribunnews.com, 18/11/2016 ). Namun, Ahok membantahnya. Atas dugaan itu, Advokat Muda Tanah Air (ACTA) melaporkannya ke Bareskrim Polri atas dugaan fitnah. Ini bisa saja menjadi alasan bagi penuntut umum terpenuhinya keadaan atas kekhawatiran tersangka mengulangi tindak pidana untuk dilakukan penahanan.(*)

Makassar, 1 Desember 2016

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu