x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Orang Jahat Berkuasa?

Banyak manusia berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengusik kehidupannya—dan mereka mungkin tidak pernah puas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Hidup adalah pertanyaan tak berjawab, tapi marilah kita tetap memercayai martabat dan pentingnya pertanyaan."

--Tennessee Williams (Dramawan, 1911-1983)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika ada peristiwa pembunuhan, kita barangkali bertanya: “Mengapa Tuhan tidak menghentikan pembunuhan itu sebelum terjadi?” Tatkala tawuran antar mahasiswa pecah, kita mungkin bertanya: “Mengapa Tuhan tidak mencegahnya?”

Pertanyaan serupa niscaya pernah terlontar dari kita untuk banyak sekali masalah yang berbeda. Bahkan, mungkin dengan nada agak menggugat kepada Tuhan yang dianggap memiliki kemaha-kuasaan untuk memutuskan segala sesuatu.

Mengapa orang baik bernasib buruk dan orang jahat berkuasa? Mengapa anak-anak kecil jadi korban perang dan bencana? Dimanakah keadilan Tuhan?

Siapapun yang mencari kebenaran niscaya akan terusik oleh pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Seorang yang skeptis akan berargumen bahwa beragam peristiwa itu membuktikan bahwa Tuhan yang Maha Penyayang itu tidak ada. Dunia, dengan semua yang ada di dalamnya, menjalani waktu tanpa campur tangan apa atau siapa yang disebut Tuhan.

Pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengusik itulah yang didiskusikan oleh Fareed Ahmad dan Salahuddin Ahmad dalam bukunya, 5 Tantangan Abadi terhadap Agama. Pertanyaan tentang ada atau tidak adanya Tuhan merupakan pertanyaan klasik yang terus diperdebatkan oleh kalangan teis (yang mengakui adanya Tuhan), ateis (yang tidak mengakui adanya Tuhan), maupun agnostik (yang tidak peduli apakah Tuhan ada atau tidak ada). Banyak teori dilahirkan untuk menjawab pertanyaan fundamental ini, dari teori desain, teori sebab pertama, sampai teori pengalaman.

Nabi Ibrahim, dengan caranya sendiri, menemukan Tuhan setelah melewati pergulatan batin yang keras: mula-mula ia menyangka rembulan sebagai tuhan, tetapi ia tak puas ketika rembulan “dikalahkan” oleh matahari; ia lalu menduga matahari adalah tuhan, tapi ia tidak puas karena matahari pun tenggelam, hingga kemudian ia menyimpulkan bahwa tuhan ialah yang menciptakan matahari dan rembulan.

Pertanyaan kedua yang niscaya juga mengusik kita ialah “masuk akalkah keimanan kepada Tuhan”? Fareed Ahmad dan Salahuddin Ahmad berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan: apakah gagasan tentang Tuhan sejalan dengan sains dan nalar, serta seberapa pasti pengetahuan dan keyakinan kita terhadap Tuhan?

Dengan terlebih dulu memperlihatkan kontradiksi dan kelemahan-kelemahan di dalam pengetahuan ilmiah modern, keduanya berkesimpulan bahwa mustahil ada konflik antara Tuhan dan sains karena pada kenyataannya sains tunduk kepada perintah Tuhan. Setidaknya, dalam pandangan keduanya, di dalam Islam. Artinya, keimanan kepada Tuhan itu rasional.

Buku ini juga membahas isyu yang tak habis-habis dipertentangkan, yakni “determinisme” versus “kehendak bebas.” Isyu ini berkaitan dengan pembuka ulasan buku ini, apakah bencana dan kejahatan yang terjadi di muka bumi ini sepenuhnya kehendak Tuhan? Jika ya, mengapa manusia dimintai pertanggungjawaban?

Fareed dan Salahuddin menawarkan “jalan tengah,” bahwa kekuasaan-memilih yang dianugerahkan kepada manusia bersifat terbatas dan bahwa Tuhan “memilih untuk tidak menentukan pilihan kita”. Mengapa demikian? Karena Tuhan memandang ‘tindakan patuh yang disertai dengan kebebasan memilih’ lebih tinggi nilainya daripada ‘tindakan patuh tanpa disertai kebebasan memilih’.

Dua pertanyaan mendasar lain yang dikupas dalam buku ini tak kalah mengusik: bila agama benar, mengapa ada banyak agama, dan apakah agama diperlukan bagi moralitas? Mengapa Tuhan membiarkan ada banyak agama, yang berbeda satu sama lain dan yang pengikutnya saling bermusuhan, bahkan saling membunuh?

Karena ada orang yang mengaku tidak beragama namun berakhlak baik, dan ada yang mengaku beragama tapi berkelakuan buruk, apakah ini berarti untuk menjadi orang baik seseorang tidak mesti memeluk agama?

Fareed dan Salahuddin berusaha menguraikan berbagai sudut pandang atas lima pertanyaan fundamental ini untuk kemudian bersikap secara kritis dari posisinya sebagai Muslim. Kendati ini pertanyaan-pertanyaan yang pelik, Fareed dan Salahuddin mampu meramu kupasannya dalam paragraf-paragraf yang niscaya dapat dipahami oleh kalangan pembaca luas tanpa kehilangan bobot argumentatifnya.

Bagi yang skeptis, mungkin jawaban mereka tidak kunjung memuaskan—dan ini lumrah-lumrah saja. Sampai kapanpun, lima pertanyaan mendasar ini akan tetap menyibukkan agamawan, teolog, filosof, ilmuwan, hingga orang awam. Ini memang ‘pertanyaan abadi’ yang senantiasa mengusik dan membuat banyak manusia gelisah. (Foto: puing-puing perang di Aleppo; sumber: tempo.co/reuters)***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler