x

Iklan

Nuraz Aji

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yang di Negeri Poci

dulu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

MITOS DARI SELATAN

 

Mengubur jingga degradasi senja, di pesisir  pasir putih berdesir lirih. Merintih perih tentang ombak yang anakanaknya terpecah belah. Berhenti di pinggir, serak sampah buat elok melongok sore yang indah; musnah. Jika gadis berambut cokelat berdiri di labia laut Selatan mengharap semilir suci angin pasang membelainya. Maka harus ditebus dengan nyawa.

 

Selatan, pantai yang diamdiam mengintai maut. Saat pengunjung berkunjung, memangsa baju hijau. Rumpi tersebar luas ke semesta raya. Hingga di telinga gadis tak percaya, tak bernama tadi. Ia amnesia, hilang dari paras jelita berkerudung hijau daun. Satu yang diingatnya, Tuhan suka warna itu. Musabab mengapa sebagian besar alam dulu ranum.

 

Gadis itu lekat mendekati gulungan ombak. Gemericik mencicipi air asin. Tiada yang melarang, para pendatang sudah berpulang. Lupa rasa air tawar, ia terus menenggak air laut. Haus. Tubuh putih semampainya jatuh kaku di bibir pantai usai lambung kembung. Tersungkur tanpa seorang pun mencari. Ia bermimpi didatangi bidadari ayu, seksi dan memakai pakaian seorang putri. Oh hijau, ia menafsirkan itu Izrail yang menjelma Nyi Roro Kidul.

 

Empatbelas jam selepas mimpi, gadis tanpa nama itu dikabarkan mati. Dari kemelut  mulut ke mulut, raut muka mendadak kusut. Tidak dengan Kerajaan Selatan yang lagi berpesta pora, merayakan temuan budak baru. Sejak itu pesona senja senja menghipnoterapi siapapun yang tajam menatap lekuk sesat. Menggiring bajubaju hijau, memaksa bergelut dengan ombakombak dan burungburung, lapar tanpa kalut mendekati sejumput rumput di surga. Gadis tadi bangun, linglung diperintah seperti di istana.

 

ShNA, 260415

 

SEGALAKU: KEPADA IBU

 

Maaf atas segala khilaf. Atas tolak yang tak kehendak. Tiada bahtera seluas pengampunanmu, kasih lebih dari kisah sepasang kekasih paling rindu, lapang lebih dari kelapangan bandara. Terima kasihku yang dangkal, tak bakal cukup untuk kedalaman sayangmu. Meski kadang keluar serupa jatuhnya meteor yang terbakar angin lalu.

 

Ampuniku yang tak paham betapa panjang pengorbanan yang dipersembahkan. Sampai amarah muntah bagaimanapun kubebal. Maaf tak menghapus segala kata yang menumbuhkan luka di dadamu. Beri aku kesempatan, untuk mencabutnya perlahan.

 

Bu, kau segalaku. Malaikat yang mencatat kebiasaan burukku. Sahabat yang mendekat tanpa niat jahat. Teman yang merelakanku kenyang, padahal perutnya lapar. Kekasih yang tak pernah membuatku merasa tersisih. Kekasih yang mengizinkanku terkasih tanpa sakit sikatan buaya.

 

Ibu bagai terik mentari di dalam memar, membakar semua duka yang perlahan mengabu. Bulan di setiap bulan, ada betapa pun sabit pun purnama. Bintang paling terang, kerlap-kerlip betapa kegelapan tetiba menghadang.

 

Bu, kau bisa menjelma segala, karena kaulah segalanya. Meski bagimu coretan ini bukan apa-apa. Aku hanya ingin berkata bahwa mimpiku setara beberapa lembar ratusan ribu. Dan aku ingin membelinya, dari Tuhan dengan restumu. Sebab ia termasuk satu dari segalaku.

 

Klaten, 9 Maret 2015

 

MENCARI TUHAN, AKU HILANG

 

Tuhan aku hilang dari balik bantal

dari halaman buku

dari kekebalan tubuhku yang mencari-Mu

di sela murattal, di atas rakaat

bahkan telah kutengok langit

 

hafal, tiada ujian dari Pencipta yang diberi tanpa kesanggupan hamba

tapi pemahaman kadang terjebak kelokan

kuletakkan kenyataan yang pahit dalam mimpi buruk

terbang mencari mimpi indah

dan mengharap waktu berhenti kelana di situ

tanpa harus menghadap pada realita yang terus berjalan

 

dalam mimpi buruk, sembari kucari Kau lagi

mengintip atau sembunyi terus kucari

dalam hatiku sendiri sampai sakit hati

aku pergi dari pola pikir yang sempit

sebelum sempat menemukan bayang-bayang terang tanpa mampu menahannya

 

Tuhan, dekap aku jika Kau masih sayang

tuntun saat jalanku pincang

saat satu kakiku hilang dimakan ujian

 

300315

 

(KALI)GAWE MARAH

 

Duapuluh empat kosong empat limabelas, kali depan rumah marah. Meluap semalam.

Setelah langit siang menangis tak henti sampai sore. Mengucur deras linang hingga air bah mengalir. Samarsamar terdengar tahutahu latar penuh cokelat susu plus ampas kopi.

 

Sabtu pagi heboh. Ibuibu rumpi sejak beli bubur dini tadi. Di sekolah anakanak marak menyucikan ruang kelas. Di jalan orangorang sibuk menyembunyikan kotoran. Depan Raulaf karyawan menjadi kanakkanak, terbahak oleh musibah semalam. Oleh sampahsampah yang tinggal di sawahsawah. Sebaris mata pandang tergenang. Sebaris becek, lepek, lecek menyimpan hijau ranum padi. Sebaris lain rusak.

 

Katanya sampah itu hadiah kiriman dari mertua si ano. Spontan tawa meledak. Lebih bandang ketimbang banjir kemarin petang. Kacau tubuhtubuh kayu, kuyu masuk dalam bangunan lama, masih tergelak. belum henti sebelum tersedak. Uhuk uhuk uhuk uhok.

 

Mungkin (Kali)gawe marah serapahnya tumpah kurang dari setengah kali duapuluh empat jam. Dalam campur cairan sisa hujan, kental, pekat. Membasuh beberapa desa dengan cara yang keruh. Basah, dingin seluruh jantung bilik timur garing utara kota.

 

surut 250415

 

Antologi 175 Penyair Indonesia, Dari Negeri Poci 6: Negeri Laut

Ikuti tulisan menarik Nuraz Aji lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB