MITOS DARI SELATAN
Mengubur jingga degradasi senja, di pesisir pasir putih berdesir lirih. Merintih perih tentang ombak yang anakanaknya terpecah belah. Berhenti di pinggir, serak sampah buat elok melongok sore yang indah; musnah. Jika gadis berambut cokelat berdiri di labia laut Selatan mengharap semilir suci angin pasang membelainya. Maka harus ditebus dengan nyawa.
Selatan, pantai yang diamdiam mengintai maut. Saat pengunjung berkunjung, memangsa baju hijau. Rumpi tersebar luas ke semesta raya. Hingga di telinga gadis tak percaya, tak bernama tadi. Ia amnesia, hilang dari paras jelita berkerudung hijau daun. Satu yang diingatnya, Tuhan suka warna itu. Musabab mengapa sebagian besar alam dulu ranum.
Gadis itu lekat mendekati gulungan ombak. Gemericik mencicipi air asin. Tiada yang melarang, para pendatang sudah berpulang. Lupa rasa air tawar, ia terus menenggak air laut. Haus. Tubuh putih semampainya jatuh kaku di bibir pantai usai lambung kembung. Tersungkur tanpa seorang pun mencari. Ia bermimpi didatangi bidadari ayu, seksi dan memakai pakaian seorang putri. Oh hijau, ia menafsirkan itu Izrail yang menjelma Nyi Roro Kidul.
Empatbelas jam selepas mimpi, gadis tanpa nama itu dikabarkan mati. Dari kemelut mulut ke mulut, raut muka mendadak kusut. Tidak dengan Kerajaan Selatan yang lagi berpesta pora, merayakan temuan budak baru. Sejak itu pesona senja senja menghipnoterapi siapapun yang tajam menatap lekuk sesat. Menggiring bajubaju hijau, memaksa bergelut dengan ombakombak dan burungburung, lapar tanpa kalut mendekati sejumput rumput di surga. Gadis tadi bangun, linglung diperintah seperti di istana.
ShNA, 260415
SEGALAKU: KEPADA IBU
Maaf atas segala khilaf. Atas tolak yang tak kehendak. Tiada bahtera seluas pengampunanmu, kasih lebih dari kisah sepasang kekasih paling rindu, lapang lebih dari kelapangan bandara. Terima kasihku yang dangkal, tak bakal cukup untuk kedalaman sayangmu. Meski kadang keluar serupa jatuhnya meteor yang terbakar angin lalu.
Ampuniku yang tak paham betapa panjang pengorbanan yang dipersembahkan. Sampai amarah muntah bagaimanapun kubebal. Maaf tak menghapus segala kata yang menumbuhkan luka di dadamu. Beri aku kesempatan, untuk mencabutnya perlahan.
Bu, kau segalaku. Malaikat yang mencatat kebiasaan burukku. Sahabat yang mendekat tanpa niat jahat. Teman yang merelakanku kenyang, padahal perutnya lapar. Kekasih yang tak pernah membuatku merasa tersisih. Kekasih yang mengizinkanku terkasih tanpa sakit sikatan buaya.
Ibu bagai terik mentari di dalam memar, membakar semua duka yang perlahan mengabu. Bulan di setiap bulan, ada betapa pun sabit pun purnama. Bintang paling terang, kerlap-kerlip betapa kegelapan tetiba menghadang.
Bu, kau bisa menjelma segala, karena kaulah segalanya. Meski bagimu coretan ini bukan apa-apa. Aku hanya ingin berkata bahwa mimpiku setara beberapa lembar ratusan ribu. Dan aku ingin membelinya, dari Tuhan dengan restumu. Sebab ia termasuk satu dari segalaku.
Klaten, 9 Maret 2015
MENCARI TUHAN, AKU HILANG
Tuhan aku hilang dari balik bantal
dari halaman buku
dari kekebalan tubuhku yang mencari-Mu
di sela murattal, di atas rakaat
bahkan telah kutengok langit
hafal, tiada ujian dari Pencipta yang diberi tanpa kesanggupan hamba
tapi pemahaman kadang terjebak kelokan
kuletakkan kenyataan yang pahit dalam mimpi buruk
terbang mencari mimpi indah
dan mengharap waktu berhenti kelana di situ
tanpa harus menghadap pada realita yang terus berjalan
dalam mimpi buruk, sembari kucari Kau lagi
mengintip atau sembunyi terus kucari
dalam hatiku sendiri sampai sakit hati
aku pergi dari pola pikir yang sempit
sebelum sempat menemukan bayang-bayang terang tanpa mampu menahannya
Tuhan, dekap aku jika Kau masih sayang
tuntun saat jalanku pincang
saat satu kakiku hilang dimakan ujian
300315
(KALI)GAWE MARAH
Duapuluh empat kosong empat limabelas, kali depan rumah marah. Meluap semalam.
Setelah langit siang menangis tak henti sampai sore. Mengucur deras linang hingga air bah mengalir. Samarsamar terdengar tahutahu latar penuh cokelat susu plus ampas kopi.
Sabtu pagi heboh. Ibuibu rumpi sejak beli bubur dini tadi. Di sekolah anakanak marak menyucikan ruang kelas. Di jalan orangorang sibuk menyembunyikan kotoran. Depan Raulaf karyawan menjadi kanakkanak, terbahak oleh musibah semalam. Oleh sampahsampah yang tinggal di sawahsawah. Sebaris mata pandang tergenang. Sebaris becek, lepek, lecek menyimpan hijau ranum padi. Sebaris lain rusak.
Katanya sampah itu hadiah kiriman dari mertua si ano. Spontan tawa meledak. Lebih bandang ketimbang banjir kemarin petang. Kacau tubuhtubuh kayu, kuyu masuk dalam bangunan lama, masih tergelak. belum henti sebelum tersedak. Uhuk uhuk uhuk uhok.
Mungkin (Kali)gawe marah serapahnya tumpah kurang dari setengah kali duapuluh empat jam. Dalam campur cairan sisa hujan, kental, pekat. Membasuh beberapa desa dengan cara yang keruh. Basah, dingin seluruh jantung bilik timur garing utara kota.
surut 250415
Antologi 175 Penyair Indonesia, Dari Negeri Poci 6: Negeri Laut
Ikuti tulisan menarik Nuraz Aji lainnya di sini.