x

Sri Bintang Pamungkas (dua dari kanan) saat menghadiri sebuah diskusi di Jakarta pada 17 November 2016 lalu. Tempo/Reza Syahputra

Iklan

Ikhsan Darmawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Makar Versus Kebebasan Berpendapat~Ikhsan Darmawan

Akan menjadi soal jika justru kemudian tuduhan makar ini tidak terbukti karena sama dengan mengancam demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ikhsan Darmawan

Direktur Eksekutif CDPS dan Dosen Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia

Sejak dilontarkan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, kata "makar" dalam sekejap menjadi trending issue di banyak media massa. Bagaimana tidak. Tak lama setelah Tito menyinggung soal akan adanya indikasi makar ketika menghadiri sebuah acara di Masjid Agung Kota Tasikmalaya, 22 November lalu, pada 2 Desember, Polri menangkap 11 orang dari beragam latar belakang atas dugaan makar. Tak sekadar digeruduk dan dibawa ke Markas Korps Brimob, mereka semua pun ditetapkan menjadi tersangka. Perkembangan terakhir, tiga di antara mereka tetap ditahan, sementara delapan lainnya dibebaskan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika benar dugaan makar itu terbukti, tentu saja semua orang tidak akan mempermasalahkan kasus yang masih disidik oleh kepolisian ini. Musababnya, tindakan makar memang merugikan. Apalagi jika memang seperti yang disebutkan, yakni tindakan itu bertujuan menggulingkan pemerintah, adalah sebuah langkah yang tepat ketika penegak hukum menegakkan aturan yang berlaku.

Hanya, akan menjadi soal jika justru kemudian tuduhan makar ini tidak terbukti. Tentu hal tersebut sama dengan mengancam keberlangsungan kehidupan berdemokrasi. Ada kutipan yang tersohor dari filsuf Prancis terkemuka, Voltaire: "Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda mengatakan itu." Ucapan Voltaire itu sering dipakai sebagai rujukan bahwa jaminan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah negara demokrasi.

Apalagi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1946 telah menghasilkan rumusan yang menyatakan kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Salah satu kebebasan berekspresi adalah kebebasan berpendapat.

Berkaitan dengan hal itu, indeks demokrasi Indonesia dua tahun terakhir (2014 dan 2015) menurut lembaga pengindeks demokrasi dunia, seperti The Economist Intelligence Unit (EIU), sudah cukup baik dalam hal skor total dan peringkat. Selama dua tahun itu, skor total indeks demokrasi Indonesia naik dari 6,95 pada 2014 menjadi 7,03 pada 2015. Meskipun skor naik, peringkat Indonesia tertahan di posisi ke-49.

Yang menarik adalah, ketika dirinci, skor kebebasan sipil Indonesia berada di angka 7,35. Angka itu tidak rendah tentunya dan merupakan pencapaian yang wajib diapresiasi bersama.

Kebebasan sipil adalah salah satu pilar vital demokrasi. Ukuran kebebasan sipil adalah jaminan perlindungan hak asasi manusia, seperti kebebasan berbicara, berekspresi, dan pers.

Kanada adalah salah satu negara yang memiliki skor kebebasan sipil tertinggi, yaitu 10, bersama sejumlah negara lainnya, seperti Norwegia, Selandia Baru, Australia, dan Irlandia. Di Kanada, kebebasan individu diberi ruang yang besar oleh negara dan hak sipil dijamin oleh pengadilan yang independen. Tak ketinggalan, kebebasan berekspresi adalah hal yang dijamin betul oleh pemerintah Kanada (EIU Report 2015).

Lantas, bagaimana kaitan antara kasus dugaan makar dan demokrasi Indonesia? Pemerintah lewat Polri harus bisa meyakinkan publik bahwa tindakan yang mereka tuduhkan benar-benar merupakan makar dan langkah mereka bukan ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Wilayah abu-abu yang menjadi perdebatan sejumlah pihak atas tafsir dan penggunaan Pasal 107 KUHP harus ditarik ke wilayah terang-benderang. Masyarakat harus disuguhi penjelasan soal mana saja hal yang masuk kategori makar dan mana wilayah kebebasan berpendapat yang bukan tergolong makar.

Tafsir makar yang longgar dan sekadar subyektif dari pemerintah sama bahayanya dengan perbuatan makar itu sendiri dalam konteks membangun negara demokrasi. Mengapa demikian? Bila perbuatan makar dianggap menganacam pemerintah yang sah, tafsir makar bisa mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Jika kebebasan berekspresi dan berpendapat terancam, skor kebebasan sipil Indonesia dalam indeks demokrasi ke depan terancam turun.

Selain itu, jangan sampai peristiwa penangkapan yang bertalian dengan bau makar itu terkesan hanya sebagai ekspresi kekikukan dan kekhawatiran pemerintah dalam menangani situasi yang berkembang di masyarakat. Terakhir, semoga saja kasus dugaan makar ini tidak menyebabkan hasrat berekspresi banyak orang turun karena khawatir bernasib sama dengan 11 orang yang sekarang menjadi tersangka di kepolisian.

Ikuti tulisan menarik Ikhsan Darmawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler