x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Fenomena Telolet dan Kebisingan Media Sosial

Fenomena Telolet adalah kejujuran sikap mencintai kebisingan. Berbeda dengan sikap mencintai kebisingan media sosial yang semu dan jahat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Video viral itu membuat kita terkagum-kagum. Kita semakin yakin bahwa mencari kebahagiaan itu tak rumit. Kebahagiaan itu pula yang bisa kita lihat dari anak-anak kecil di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Mereka berdiri di tepi jalan lintas pantai utara Jawa itu sambil membawa potongan kardus atau papan yang bertuliskan: Om Telolet Om!  Pesan itu ditujukan bocah untuk bus antarkota pelintas jalan itu untuk membunyikan klakson. Bunyi klakson bus yang beraneka irama inilah yang menjadi sensasi kesenangan anak-anak itu. Mereka bersorak-sorai. Mengelukan bus dengan klaskon yang bising dan indah, juga mengejek bus yang bersuara parau.

Apa yang mereka cari dari suara-suara bus pelintas jalan itu? Sebagian dari kita mungkin diam-diam mencibir mereka dengan sebutan kampungan. Sebuah istilah yang bergaya peyoratif alias mengejek. Padahal, mereka cukup berbahagia meski sekadar mendengar kebisingan dari corong klaskon bus. Sedangkan si pencibir, butuh cara yang lebih rumit untuk memaknai kebahagiaan itu sendiri.

Pemburu ‘telolet’ ini mengingatkan saya pada seorang bocah bernama Jamie Graham. Bocah asal Inggris ini begitu mengagumi raungan mesin pesawat-pesawat tempur pada masanya. Ia mengoleksi miniatur pesawat-pesawat itu di kamarnya yang jembar. Ia mengolesksi miniatur Kitty Hawk hingga pesawat idolanya: Mitsubishi A6M  Zero buatan Jepang.  Ia disihir oleh kebisingan burung-burung besi yang kerap melintas di atas langit Shanghai. Jamie berteriak dan berdecak kagum.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai anak dari kelas atas yang tinggal di Shanghai,China, Jamie merasakan kebahagiaan hingga invasi Jepang ke China dimulai. Ia menjadi saksi bagaimana pesawat-pesawat tempur Zero milik militer Jepang menjadi alat pembunuh yang menakutkan.  Pesawat itu menghabisi nyawa banyak orang di darat, laut, dan udara. Jamie tercekat. Ia terpukul melihat idolnya, Zero, menjadi sesuatu yang menakutkan.

Lalu, Jamie, di ujung kisah, berpindah ke lain hati. Ia kini mengagum P-51 Mustang, pesawat tempur canggih AS. Pesawat yang menyelamatkan nyawa Jamie sekaligus meluluh-lantakkan Zero. Raungan Zero telah melukainya, sekaligus memisahkan Jamie dari orangtuanya. Kisah ini berdasarkan novel semi autobiografi berjudul  Empire of the Sun karya J.G. Ballard, yang kemudian difilmkan oleh Steven Spielberg pada 1987 dengan judul yang sama.

***

Begitulah kebisingan. Kita kerap merindukannya –juga tak jarang memakinya. Seperti sebuah pertandingan sepak bola. Penonton adalah pemain kedua belas bagi tim tuan rumah. Jadi bisa dibayangkan betapa tersiksanya sebuah tim sepak bola yang dihukum bisa bertanding namun tanpa kehadiran penonton. Stadion terasa sepi. Suara yang terdengar hanya peluit wasit, teriakan pelatih,  juga antarpemain. Kita seperti kehilangan aura pertandingan yang sesungguhnya di sana.

Karena itu pula, sehancur-hancurnya dunia persepakbolaan kita dan liganya, ada satu hal yang dirindukan pemain sepak bola di sini: aura penonton. Kehadiran Jak-Mania, Viking, Aremania, Bonek, dan pendukung setia klub lain, adalah kebisingan yang dirindukan. Para pesepak bola tak hanya bertanding untuk gelar, melainkan juga untuk kebahagiaan penontonnya. Kebisingan itu pula yang dibenci karena kerap membuat onar dan saling baku-hantam antarpendukung.

Kebisingan itu pula yang mambuat pasar malam tidak pernah sepi. Kebisingan pula yang tak pernah membuat diskotek kehabisan pengunjung. Kita lagi-lagi bertanya, apa yang dicari dari sebuah kebisingan? Kenikmatan apa yang kau dapat dengan mendengar musik keras hingga gendang telingamu serasa pecah? Hanya penikmat kebisingan yang tahu itu.

Saat kebisingan itu beralih ke medium lain bernama media sosial, kondisinya menjadi berbeda. Begitulah yang terjadi akhir-akhir ini. Kebisingan media sosial, terutama Facebook, tentu berbeda dengan fenomena ‘telolet’, yel-yel suporter sepak bola, hingga bunyi bianglala pasar malam. Kebisingan media sosial tak membuat gendang telingan pecah atau dinding bergetar. Kebisingan media sosial itu bahaya laten.

Kebisingan media sosial berbeda dengan kebisingan klakson bus yang dinanti para pemburu ‘telolet’. Kebisingan media sosial hadir tanpa diminta. Kebisingan ini tak butuh pengibaan dari tepi jalan.  Kebisingan ini justru tak meminta rasa iba dari Anda. Kebisingan ini seperti pasar malam dan lampu diskotek. Hanya penikmatnya yang tahu bagaimana rasanya.   

 Kebisingan media sosial itu berbentuk banjir informasi. Beberapa orang malah menyebutnya tsunami informasi. Kebisingan yang bersumber dari aneka tautan yang dengan mudahnya di-klik oleh pengguna untuk menyebarkan. Tanpa sikap hati-hati, mereka tak tahu bahwa informasi yang kebenarannya abu-abu, bahkan mencederai hati pengguna media sosial lain, telah disebar.  

Tsunami informasi itu pula yang menginjak-injak niat baik media sosial: sebagai perekat. Kebisingan melalui tsunami informasi ini juga yang memecah belah antara satu pengguna dengan pengguna lain. Mereka yang belum bertemu bertahun-tahun dengan kolega, kawan lama, saudara jauh, hingga mantan kekasih, tiba-tiba dipertemukan di ranah maya ini. Tak lama, hubungan yang baru saja merekat itu kembali retak, renggang, bahkan binasa oleh adu argumen di fitur komentar media sosial.

Kebisingan media sosial jua yang membuat dunia yang tadinya dengan mudah dilipat, jarak dipangkas, juga ruang dimampatkan, menjadi jalur cepat menyebarkan berita bohong dan fitnah. Entah berapa banyak dari kita yang termakan informasi sesat tanpa mau mengklarifikasinya terlebih dahulu. Kebisingan media sosial telah banyak melukai penggunanya. Seperti luka yang ditinggalkan pesawat Zero Jepang pada seorang anak bernama Jamie Graham.  

Kebisingan media sosial adalah kebisingan semu sekaligus berbahaya. Mereka yang tampak diam di dunia nyata, bisa berubah menjadi ganas di media sosial. Sebaliknya, mereka yang tampak luwes, justru membatasi diri. Sebaiknya, kita belajar dari adik-adik di tepi jalan Pantura. Para pemburu ‘telolet’ ini menikmati kebisingan sebagai sebuah kejujuran sikap. Mereka tak malu-malu hadir menampakkan diri, mengiba kebahagiaan. Salam telolet!

 

Sumber foto: http://ketemulagi.com/wp-content/uploads/2016/05/Fenomena-Unik-Pemburu-Klakson-Telolet-Bus.jpg

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler