x

Oesman Sapta Odang. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

Arifki chaniago

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Hanura Memilih Oesman Sapta?

Wiranto resmi mengajukan pengunduran diri dari posisi Ketua Umum melalui Munas Luar Biasa Partai Hanura

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Arifki Chaniago

Analis Politik, Alumnus Ilmu Politik Universitas Andalas

Wiranto resmi mengajukan pengunduran diri dari posisi Ketua Umum melalui Munas Luar Biasa  Partai Hanura, Cilacap, Jakarta Timur, Rabu (21/12). Pengunduruan diri itu disaksikan Presiden Jokowi,  Ketua Umum PDI-P, Megawati  Soekarno Puteri, Ketua Umum PPP, Romahurmuzy, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, Oesman Sapta Odang dan Ketua MPR,  Zulkifli Hasan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wiranto mengambil keputusan untuk mundur dari orang nomor satu Partai Hanura, disebabkannya ia sekarang menjabat sebagai Menteri Polhukam Kabinet Kerja Jokowi-JK. Mundur dari posisi Ketua Umum Golkar lebih memudahkan mantan Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan era BJ Habibe ini untuk menjalankan tugas baru yang diamanahkan Presiden Jokowi kepadanya.

Di balik itu, pasca-Wiranto mulai sibuk dengan jabatan barunya, pergantiaan Ketua Umum Partai Hanura memunculkan beberapa nama seperti:Yudhi Chrisnandi, Moeldoko dan Syarifudin Suding, kenyataan Munas Luar Biasa Partai Hanura menetapkan Oesman Sapta Odang secara aklamasi.

Terpilihnya Oesman bagi sebahagian kalangan kader Hanura dan publik pasti menimbulkan tanda tanya, alasannya ia bukan kader Partai Hanura. Logika Wiranto mempercayakan Oesman untuk menjadi Ketua Umum Partai Hanura lebih kepada jejaring yang dimilikinya. Masih segar dalam ingatan kita, Oesmanlah yang hampir membuat Zulkifli Hasan kalah pada pemilihan Ketua MPR.

Hanura belum memiliki tokoh yang mumpuni untuk mengantikan Wiranto, sosok yang memiliki jejaring  luas dan satu visi dengan Wiranto dan Hanura. Munculnya nama Moeldoko sebelumnya sebagai calon Ketua Umum sulit bagi Hanura memposisikan diri. Pasalnya, Moeldoko akan sedikit keberatan berada dibawah "ketiak" Wiranto (bayang-bayang)-mengingat karir dua tokoh ini sama-sama dari militer dan pernah memegang jabatan strategis.

Menariknya, Wiranto sejak awal sudah memulai wacana akan mengusung Jokowi sebagai calon Presiden tahun 2019. Pandangannya logis, ingin memposisikan posisi tawar Hanura. Hal yang sama sudah pernah dilakukan Partai Nasdem yang mencuri "popularitas Jokowi", saat maju pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dan momentum Pilpres tahun 2014.

Partai Nasdem diuntungkan mendapatkan "getah keberuntungan" dengan mengidentikan Partai Nasdem selalu bersama Jokowi. Sesuatu yang sama juga dilakukan PDI-P, partai Jokowi menjelang Pileg 2014-kemenenagan PDI-P tidak bisa dilepaskan dengan menjual "sosok" Jokowi.

Upaya terdekat bisa dilihat dengan langkah Partai Golkar, setelah pindah dari partai oposisi Koalisi Merah Putih (KMP) dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), atau Partai-Partai Pendukung Pemerintah (P4). Partai Golkar berhasil mengantarkan kadernya masuk kabinet Kerja dan secara tegas Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar, mendukung Jokowi tahun 2019. Partai Golkar pun mendapatkan "durian runtuh", elektabilitas beringin mulai naik-meskipun sedikit memburuk setelah Setya Novanto kembali meminta menjadi Ketua DPR.

Sekarang, Partai Hanura ingin melakukan sesuatu yang sama-mencuri momentum-dari ketokohan Jokowi dan dimanfaatkan untuk menaikan elektibilitas Partai Hanura. Sebagai partai yang masih memastikan basis massa yang akan menjaga elektibilitas partai tetap stabil, ikut menjadi penumpang "ketokohan" Jokowi harus dilakukan Partai Hanura, apalagi Mantan Ketua Umumnya, Wiranto, sudah menjadi Menteri Polhukam.

Tepatnya langkah Partai Hanura memilih Oesman-berlanjut-ikut bergabungnya Gedek Pasek Suardika ke Parta Hanura, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), bentukan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Kabarnya, Anas juga menginstruksikan kepada teman-temannya untuk bergabung dan membesarkan Partai Hanura.

Sejak Anas berlawanan dengan SBY, ditetapkan sebagai tersangka dan terdakwa. Gedek Pasek menjadi sahabat dekat yang selalu bersamanya dan sepakat dengan pilihan politik yang diambil Anas. Bergabung dengan Hanura, Anas dan Pasek ingin mencarikan tempat kepada teman-temannya untuk berkiprah di partai politik.

Harapan loyalis Anas untuk Partai Demokrat sudah habis, mengingat upaya bersih-bersih SBY untuk menyingkirkan orang-orang dekat Anas. Risko itu harus diterima Partai Demokrat, selain tidak menjadi partai yang kuat di era pemerintahan Jokowi. SBY juga banyak memiliki musuh terutama dengan Anas Cs.

Pilihan Partai Hanura menyerahkan posisi Ketua Umum Kepada Oesman berefek positif dengan bergabungnya Gede Pasek Cs dengan Hanura, kemampuaanya  dengan para sahabat sudah tahan banting dalam berpolitik. Jaringan PPI yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi modal Pasek untuk diperhitungkan di Partai Hanura.

Oesaman tidak mungkin terlalu bergantung dengan kekuatan politik yang ada di Hanura, menambah amunisi dengan mengandeng Pasek-Oesman membutuhkan kekuatan baru untuk membangun organisasi yang utuh dan percaya dengan kepemimpinannya. Pasek baginya pilihan tepat, jejaringnya sebagai anggota DPD menunjukan Pasek "masih tetap hidup" secara politik, meskipun sudah dibunuh beberapa kali di Partai Demokrat.

Singkat kata, terpilihnya Oesman sebagai pengganti Wiranto-regenarasi Partai Hanura cukup cepat dibandingkan yang lain, seperti Nasdem, PDI-P yang tetap mensentralkan Surya Paloh dan Megawati sebagai ketua umum. Hanura telah mulai mempersiapkan tokoh masa depan partainya tanpa harus bergantung dengan ketokohan pendiri.

Rekam jejak Partai Hanura dan Wiranto tidak diragukan lagi di negara ini, sebagai partai yang dilahirkan kader Golkar-sama halnya-Nasdem, PKPI, Gerindra dan lain-lain.  Seharusnya lompatan popularitas Hanura lebih cepat, Gerindra yang berada di peringkat ketiga di suara parlemen-keluarnya Prabowo Subianto dari Partai Golkar-dengan mendirikan Partai Gerindra tidak berujung sia-sia.

Biasanya partai-partai yang bergantung dengan ketokohan tertentu tidak siap menghadapi perubahan. Partai Demokrat, misalnya, terlalu banyak bergantung dengan SBY, tidak bisa dipungkiri Anas "korban" dari proses politik yang tidak memberkan kesempatan kepada pemimpin muda. Akhirnya, Partai Demokrat mulai menapaki massa dari bawah bahwa selama ini mereka kehilangan mendukung setelah Anas Cs disingkirkan.

Sesuatu yang sama juga terjadi apabila Megawati Soekarnoputeri tidak lagi nanti memimpin PDI-P, atau ia menarik diri dari partai yang membesarkanya demi pensiun dalam dunia politik. Saya yakin kubu-kubu yang berada di dalam akan bergejolak untuk merebut kepemimpinan partai. Sayangnya, Puan Maharani belum setangkuh Ibunya (Mengawati) dan Ayahnya (Taufik Kemas) berpolitik.

Partai Hanura harus belajar tentang fenomena yang terjadi di partai lain, baik partai yang bergantung dengan dinasti atau pun tidak memberikan kesempatan kepada tokoh muda. Partai Hanura telah memulainya dengan menyerahkan kepemimpinan kepada Oesman, berikan ia kepercayaan dan dukung sepenuh "hati nurani" demi kemenangan pada pileg dan pilpres tahun 2019.

[*]

Ikuti tulisan menarik Arifki chaniago lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB