Bukan sekali dua kali aku ditanya bagaimana cara menulis puisi. Meski telah mencorat-coret puisi dalam bilangan dasawarsa, namun aku membuatnya menuruti apa ‘kata hati’. Bahkan, cenderung seperti kesurupan roh penasaran. Tahu-tahu telah lahir satu judul puisi. Dengan kata lain: suka-suka, sembarangan, ngasal. Alhasil, sebutan Penyair Majenun melekat pada diri penulis.
Baru sekitar setahun ini aku memperhatikan aspek-aspek dalam puisi. Semakin aku mempelajarinya, semakin sadar bahwa aku belum apa-apa sebagai penyair. Sebagai seorang penulis yang masih belajar dan terus belajar, aku menemukan bahwa ciri yang melekat pada diri seorang penyair dapat dilihat pada preferensi bahasa, bakat, temperamen atau disposisi. Kita bisa mempelajari kapasitas seorang penyair yang mengimplementasikan preferensinya melalui perangkat dan teknik-teknik tertentu. Dengan kata lain, kita dapat mepelajari, belajar, dan mengajar melalui pengamatan terhadap karya-karya penyair lain..
Kekuatan apa yang terdapat dalam sebuah puisi? Oh, mau tahu?
Citra
Citra adalah istilah yang diberikan kepada unsur-unsur dalam sebuah puisi yang memicu indera. Meskipun "citra (image)" sinonim dengan "gambar", bukan berarti bahwa hanya yang berkaitan dengan indera penglihatan saja. Salah satu atau beberapa dari lima indera (penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, bau) terangsang oleh syair yang ada.
Ku tinggalkan kota yang menjadikanku makhluk pariah
Setiap sudut pesing, lorong amis, gang gelapnya tlah lunas ku jelajah
Taman mesum, pasar kumuh, komplek elit, dan rumah ibadah
Ku pudarkan dari ingatan tergundah
Wajah-wajah pemulas usus terlupakan sudah
Seluruh debumu yang melekat di nganga luka lampus musnah
(Beri Satu Alasan; The Geek Got The Girl; Ikhwanul Halim, p 23; Guepedia; 2016)
Aku mengharapkan hidung pembaca membaui amoniak yang menguar dari lorong-lorong gelap saat membaca bait puisi di atas.
Majas metafora sangat umum digunakan untuk menghadirkan citra.
Struktur
Dalam setahun ini (dan akan terus berlanjut) aku mempelajari berbagai struktur puisi. Baik pola tuang, jenis stanza, rima, irama, matra pada berbagai jenis puisi, terutama puisi dengan dengan bentuk terikat seperti pantun, gurindam, sonet, ode, dan genre tertentu lainnya
Puisi terdiri dari bagian-bagian. Jika ia sebuah drama, maka terdiri dari babak-babak dan adegan-adegan. Jika ia berupa mesin, maka terdiri dari roda dan pendulum yang bergerak dalam kolaborasi. Semuanya menjalankan tugas masing-masing.
Penting bagi penyair untuk membedakan elemen utama atau sekunder, dan menempatkankannya secara proporsional.
Diksi
Diksi puitis adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada gaya bahasa, kosa kata, dan metafora yang digunakan dalam penulisan puisi.
Atau dapat juga dikatakan diksi puitis adalah "ucapan yang membawa referensi sejarah penggunaannya." Ketika aku memilih kata, secara naluriah aku mengacu pada konteks ‘sejarah’ lahirnya puisi tersebut. Dalam berpuisi, makna ‘dilarang’ sangat berbeda dengan ‘tidak diijinkan’’. ‘Rakyat’ berbeda dari ‘rakyat’. ‘Adon’, ‘aduk’, ‘giling’ adalah beberapa pilihan yang akan aku gunakan tergantung pada rima. Pilihan rasa juga aku terapkan untuk ujar perpisahan tanpa ragu-ragu mengadopsi istilah asing: adios, adieu, sayonara, ciao, bye, misalnya. Kita bisa memilih kata-kata formal: ‘Anda’ daripada ‘kamu’, ‘saya’ keetimbang ‘aku’. Pilihan menentukan rasa.
Diksi adalah ‘dialog’ paling bernuansa dalam membentuk ‘tekstur’ puisi.
Suara
Suara adalah gaya penyair, kualitas yang menentukan keunikan suatu puisi, dan yang menyampaikan sikap, kepribadian, dan karakter penyair. Jika dalah fiksi, suara berupa ucapan dan pola karakter narator.
Gabungan dari berbagai unsur—idiom, ritme, sintaks, elemen bunyi, dan tentu saja diksi—suara adalah yang mengikat antara pembicara dan pendengar. Selalu dan selalu membaca puisi dengan suara keras mungkin membuat seorang penyair terdengar eksentrik, namun hanya dengan itu kita terlibat melakukan transmisi lisan, drama komunikasi yang berlangsung secara intim.
Hal ini tidak berlaku untuk karya puisi visual. Ha ha ha.
Kesan
Kesan adalah sesuatu yang tersirat, suatu yang dipahami tanpa diucapkan.
Penyair umumnya tidak akan menuliskan secara gamblang hal-hal yang dapat disampaikan secara samar. Tidak selalu sama bagaimana kesan pembaca terhadap suatu puisi, sangat tergantung pada pengalaman pribadi pembacanya. Dari sekian pembaca puisiku—katakanlah sepuluh orang, mungkin hanya 2-3 orang yang benar-benar memahami maksudku. Penyair tak boleh tersinggung jika ada yang memberikan penafsiran yang berbeda.
Jangan memberi catatan kaki yang tak perlu. Biarkan pembaca puisi Anda menciptakan kesannya sendiri..
Namun sebelum Anda menggelar tikar mengajakku beradu argumentasi dalam sebuah ‘polemik kesusasteraan’, pahamilah: bahwa untuk mempelajari apa yang dikatakan dan apa yang tak terkatakan, dan bagaimana mengatakannya, sungguh tidak penting.
Tulis saja puisimu dan tunjukkan padaku. Aku akan menikmatinya. Dengan caraku sendiri, tentunya.
Bandung, 5 Januari 2017
Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.