x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mereka yang Menulis Sendiri Obituarinya

Sejumlah penulis memilih mengakhiri sendiri hidupnya, dengan beragam cara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah kilas balik menuju enam tahun yang silam—sebuah berita memecah kesunyian: “Postmodern Writer Is Found Dead at Home.” David Foster Wallace, yang novel-novel ironis dan gelapnya, juga esei dan cerita pendeknya, menjadikan dirinya salah satu penulis paling berpengaruh di AS dari generasinya, ditemukan tewas menggantung diri di rumahnya. Wallace mengakhiri karier di usia 46 dan dikenang sebagai profesor hebat yang mempedulikan mahasiswanya.

Ketika memasuki arena literer pada 1990an, ia mengusung gaya yang kerap dilukiskan sebagai pyrotechnic—meminjam istilah sains pemanfaatan material tertentu yang mampu menciptakan reaksi sendiri, menghasilkan panas, asap, kerlap-kerlip cahaya, gas, dan suara letupan berbarengan.

Karya David kerap dibandingkan dengan karya Thomas Pynchon–yang dikenal dengan fiksinya yang padat dan kompleks (Gravity’s Rainbow-nya banyak dipuji). Pembandingan ini mungkin mengusik betul dirinya—Pynchon ia anggap seorang patriark yang terus membayangi dirinya.

Karya penting Wallace, Infinite Jest (1996), menggambarkan masa depan yang dekat, suatu zaman yang disebut “The Year of the Depend Adult Undergarment.” Novel ini penuh rujukan, dan memuat lebih dari 100 halaman catatan kaki—yang menjadi ‘merek dagang’ Wallace. Namun, yang lebih mengundang, karya ini memadukan humor, fobia, kegelisahan, dan mania.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada apa dengan Wallace? Apakah ia telah meramalkan kematiannya sendiri?

Di antara penulis fiksi sezamannya, Wallace menyuarakan dengan lebih keras kegelisahaan dan sikap generasinya. Ia sejenis figur literer yang kariernya menjadi pertanda bagi zamannya. Ia banyak dibaca, dan diikuti. Kematiannya, karena itu, menggoda orang untuk menarik benang merah antara kehidupan Wallace dan karyanya: apakah cerita “Death Is Not the End,” “Suicide as a Sort of Present,” dan “The Depressed Person” tak cukup dibaca sebagai fiksi belaka, terputus dari kontinuum hidup kesehariannya?

Sepeninggal Wallace, ayahnya bertutur bahwa Wallace menderita depresi selama 20 tahun.

Orang menduga-duga, di balik kemashuran yang ia raih, ia berjuang keras untuk menepis pengaruh mereka yang ia sebut patriark itu. “Jika aku memiliki musuh,” ujarnya suatu ketika di awal 1990an, “mereka adalah patriark yang harus aku bunuh, dia mungkin (John) Barth dan Coover dan Burroughs, bahkan Nabokov dan Pynchon.” Sejauh itu, Wallace berhasil menempatkan dirinya berbeda di antara para patriark itu.

Sebagian orang mungkin membaca cerita-cerita dan perkataan-perkataan itu sebagai isyarat, tapi isyarat yang tak selalu dipahami kecuali sesudah sang pengarang menjemput maut. Seperti ajalnya Wallace, kematian penyair Silvia Plath, dalam bunuh diri pada 11 Februari 1963, membuat orang kemudian tergoda untuk menyusuri puisi-puisinya, sebab orang percaya bahwa puisi Plath adalah juga perasaan dan pikirannya. Bukan yang terputus, bukan yang terpisah.

“Hari yang sangat menekan. Aku tak bisa menulis apapun…,” tulis Plath dalam catatan hariannya tertanggal 3 Oktober 1959. Upaya bunuh dirinya yang pertama, dengan minum pil tidur melebihi dosis, tak berhasil mencabut nyawanya.

Sebuah jejak, faktual, juga yang tersirat dalam puisinya—yang disebut oleh psikolog Steven Gould Axelrod ‘puisi pengakuan’, dan puisi pengakuan adalah otobiografi krisis yang menyingkapkan depresi internal maupun tekanan sosial yang ia rasakan. Lima puisi Plath dalam The Collected Poems, tulis Jennifer Yaros, memperkuat indikasi upaya bunuh diri—yang secara kronologis semakin kuat dan bertambah kuat: “Elm,” “Lady Lazarus,”, “Words,” “Contusion” dan “Edge.”

Ernest Hemingway, yang menembak dirinya sendiri, menjumpai peristiwa kematian yang membuatnya terguncang saat berada di medan perang di Italia dalam Perang Dunia I—yang mengilhaminya untuk menulis cerpen A Natural History of the Dead. Di musim semi 1961, peraih Nobel ini berusaha bunuh diri, gagal. Ia baru berhasil ketika menembak diri tiga pekan menjelang ulang tahunnya ke-62. Secara literer, ia telah diakui lewat The Old Man and the Sea, dan dinobatkan lewat Nobel. Tidak cukupkah bagi lelaki ini?

Sebagian orang mencari penjelasan dari jejak genetik Hemingway yang mengesankan: ayahnya, Clarence Hemingway, saudara kandungnya Ursula dan Leicester, dan cucunya Margaux Hemingway memilih jalan bunuh diri untuk mengakhiri hidup mereka. Sebagian orang yakin, anggota keluarga Hemingway dari garis ayah mengidap penyakit haemochromatosis —konsentrasi zat besi yang berlebih dalam darah menyebabkan kerusakan pada pankreas dan menyebabkan depresi atau ketidakstabilan dalam serebrum (otak besar).

Pun begitu, kematian jadi tema yang menarik perhatian Hemingway untuk cerita-ceritanya. Hemingway mengeksplorasi metafisika pertarungan melawan banteng dalam Death in the Afternoon—pertarungan yang diritualkan di Spanyol. Dalam pertarungan itu ia menemukan watak elementer kehidupan dan kematian. Drama kematian dalam Death in the Afternoon dan cerpen A Natural History of the Dead mungkin terus membayanginya.

Kegelisahan yang sangat juga menghinggapi Virginia Woolf, penulis Mrs. Dalloway. Kematian tiba-tiba ibunya (1895), ketika ia berusia 13, dan kematian saudara tirinya Stella dua tahun kemudian, membawa Virgnia Woolf pada nervous breakdown. Kematian ayahnya, tak lama kemudian, membuat penulis ini makin terguncang. Dan kegelisahan itu sepertinya tak menemukan jalan keluar.

Setelah menyelesaikan manuskrip novel terakhirnya (yang terbit sesudah kematiannya), Between the Acts, Woolf mengalami depresi. Ia mengaku mendengar suara-suara—mungkin seperti yang dirasakan matematikawan John Nash dengan halusinasi pendengarannya yang beraroma skizofrenia. “Aku merasa pasti bahwa aku menjadi gila lagi. Aku merasa kita tak bisa melewati saat-saat yang menakutkan itu… Aku mulai mendengar suara-suara, dan aku tak bisa berkonsentrasi…,” Woolf sempat menulis surat terakhir untuk suaminya.

Ada banyak jalan menuju kematian, dan Woolf memilih jalannya sendiri. Pada 28 Maret 1941, Woolf mengenakan mantelnya, mengisi sakunya dengan bebatuan yang cukup berat, lalu berjalan menuju River Ouse di dekat rumahnya. Ia melompat ke arus yang deras dan menenggelamkan diri, seolah mengukur kedalaman sungai. Tubuh penulis ini baru ditemukan 18 April. Suaminya menguburkan Virginia di bawah sebatang pohon di taman rumah mereka di Rodmell, Sussex.

Wallace, Woolf, Plath, dan Hemingway telah menulis sendiri obituari mereka, bahkan ketika ajal belum lagi menjemput. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu