x

Goyangan seksi penyanyi dangdut menghibur sejumlah simpatisan partai Gerindra di Gelora Bung Karno, Jakarta (23/03) Dengan kaos partai dan membawa bendera puluhan ribu kader dan simpatisan Partai Gerindra terlihat memadati stadion untuk merayakan

Iklan

Lucius Karus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilpres Dalam Genggaman Koalisi

Pilpres tak lama lagi digelar. Hasil pileg yang baru lalu menunjukkan tak adanya parpol pemenang mayoritas yang berhak mengusung capres sendirian. Lalu capres harus diserahkan pada hasil kesepakatan antar partai dalam format koalisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bangsa Indonesia baru saja menyelenggarakan  pemilu untuk memilih anggota legislatif pada 9 April lalu. Sambil menunggu pengumuman resmi KPU mengenai perolehan suara partai politik dan calon legislatif, perhatian publik saat ini sudah terarah pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang jadwalnya terlaksana pada 9 Juli mendatang.

Hasil Quick Count (hitung cepat) sejumlah lembaga survei terhadap perolehan suara parpol peserta pileg lalu menunjukkan bahwa tak ada satu parpol pun yang menjadi mayoritas mutlak dengan raihan suara melampau 25% suara. Catatan tersebut serentak memberitahukan keharusan bagi semua partai politik untuk membangun ‘koalisi’ dengan partai lain agar dapat mencalonkan pasangan capres-cawapres.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wacana “koalisi” ini langsung menyergap ruang-ruang diskusi pasca pileg. Partai-partai sibuk membuka forum lobby dengan parpol lain untuk mengusung capres-cawapres. Lobby menjadi tidak mudah karena posisi tawar partai yang nyaris seimbang. Di antara hiruk-pikuk lobby tersebut, kita kembali melihat betapa kekuasaan menjadi wahana yang sangat pragmatis dan dangkal.

Kesulitan utama penjajakan koalisi parpol di Indonesia terletak pada ketakjelasan ideologi partai-partai yang ada. Sebutan partai nasionalis dan religius hanya sekedar identitas pencitraan demi memudahkan partai tertentu menjual dirinya ke pemilih. Dalam prakteknya, identitas nasionalis dan religius partai-partai itu nyaris tak menajamkan perbedaan satu dan lainnya.

Kesulitan lain adalah  kecenderungan transaksional yang mengisi narasi panjang koalisi yang dibangun era reformasi. Lobby koalisi yang dilakukan saat ini pun menjadi bertele-tele karena alasan kesepakatan “bagi-bagi jatah” yang hampir pasti menjadi isu utama dalam pembicaraan koalisi antar partai. Isu transaksional ini merupakan satu ruang gelap yang tak pernah tegas dinyatakan ke publik. Dengan seolah-olah transparan, partai-partai mengumumkan bahwa penjajakan yang dilakukan fokus pada penyesuaian platform bersama. Padahal platform masing-masing partai juga setali tiga uang dengan masalah ideologi yang sama kaburnya.

Kondisi jelang capres sebagaimana digambarkan di atas mau tidak mau akan dihadapi Bangsa Indonesia saat ini. Partai Politik  akan menjauhi substansi politik yakni memperjuangkan bonum communae. Mereka masih mempertahankan langgam politik lama, menikmati kekuasaan di antara mereka saja. Oleh karena itu, perlu kiranya digagas sebuah design kampanye yang mengupayakan transparansi dan akuntabilitas, baik terkait parpol pengusung capres-cawapres, maupun pasangan capres-cawapres. Dan pada saatnya nanti di masa kampanye, akuntabilitas dan transparansi tersebut harus didorong pada kelompok Tim Kampanye pasangan calon.

Akuntabilitas merupakan paham yang mengingatkan pemimpin atau kelompok penguasa politik agar mempertanggung-jawabkan kekuasaannya pada pemberi kuasa yakni warga negara. Jabatan penguasa dalam rejim demokrasi merupakan jabatan atas dasar kepercayaan kepada seseorang atau sekelompok orang. Karena alasan kepercayaan itu, seorang penguasa harus membuka diri untuk dimintai tanggung jawab dan menyediakan diri untuk terus bertanggung jawab kepada rakyatnya.

Dengan demikian gagasan akuntabilitas capres-cawapres penting untuk diingatkan dan diejawantahkan sejak awal pencalonan. Kesibukan menjalin koalisi dengan kecenderungan transaksional sebagai muatan utama koalisi menjadi modal awal pilpres yang memprihatinkan. Ketika pembicaraan tentang kekuasaan di antara parpol dilandasi oleh semangat pembagian kekuasaan dan jatah, maka praktek kampanye yang akan muncul hanyalah sandiwara yang “menipu” rakyat.

Ikuti tulisan menarik Lucius Karus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler