x

Iklan

Erwin J Koto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Metamorfosis Ibu Kota Jakarta

Lima ratus tahun lalu Jakarta hanya sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung. Kini, kota bandar itu telah berkembang menjadi pusat jasa, dan pusat perdagangan internasional yang diperhitungkan. Bahkan telah menjadi kota tujuan investasi properti terb

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai kota investasi properti terbaik, Jakarta mencatatkan tonggak sejarah baru karena berhasil menyisihkan kota-kota tersohor seperti Shanghai, Singapura, Sydney, Kuala Lumpur, Bankok, Beijing dan banyak lagi kota besar lainnya. Posisi ini berdasarkan riset Pricewaterhouse Coopers dan Urban Land Institute yang mewawancarai lebih dari 400 orang ahli industri, investor, fund manager, developer, hingga konsultan properti.

Inilah pertama kalinya Jakarta menempati top ranking sebagai kota tujuan investasi properti terbaik. Padahal tahun 2012 lalu, Jakarta hanya bertengger di peringkat 11, dan Singapura yang menduduki peringkat pertama. Beruntunglah yang telah memiliki investasi properti apartemen, landed house, ataupun kondotel di kota ini karena capital gain properti di Jakarta akan terus melesat. Setiap tahun diprediksi nilai investasi properti di Jakarta bertumbuh di atas 25%.

Sebelum menjelma menjadi kota megapolitan seperti sekarang, catatan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan kota bernama Kalapa ini awalnya adalah bandar utama bagi kerajaan Hindu bernama Sunda.  Pusat kerajaan ini terletak sekitar 40 kilometer dari Kalapa, berdekatan dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Ketika kota ini dikuasai oleh Fatahillah, dia mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat bangsa Belanda menguasai kota ini, Gubernur Jenderal JP Coen mengganti namanya menjadi Batavia di tahun 1619. Belanda membangun kanal-kanal untuk melindungi kota ini dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Kota Batavia berkembang ke arah selatan, pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lingkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden.

Pembauran Budaya Menciptakan Etnis Betawi

Awal abad ke-17 wilayah kekuasaan antara Banten dan Batavia dibatasi dengan batasan geografis Kali Angke dan Cisadane yang kemudian menjadi tembok benteng kota Batavia. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong karena gerilya pasukan Banten dan prajurit Mataram yang tersisa. Lalu diadakan perjanjian antara Kompeni dengan Banten dan Mataram yang menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Kemudian pada akhir abad ke-17 barulah daerah Batavia mulai dihuni lagi. Para perantau Tionghua, Arab, Moor (India) mulai berdatangan bercampur dengan masyarakat suku Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Melayu dan lainnya yang sebelumnya telah lebih dulu menghuni Batavia. Dari sinilah metamorfosis pembauran kebudayaan dimulai.

Yasmine Zaki Shahab, seorang antropolog dari Universitas indonesia menaksir bahwa etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Etnis baru ini terbentuk dari pembauran beragam kebudayaan berbagai suku-bangsa. Perkiraan ini didasarkan dari studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Penelitian sejarah itu menyebutkan bahwa pemerintah kolonial Belanda selalu melakukan sensus penduduk sejak 1615 hingga 1815. Sensus dilakukan dengan mengkategorikan penduduk berdasarkan suku-bangsa atau golongan etnisnya.

Dalam data sensus penduduk di Batavia itu, tercatat penduduk dari berbagai golongan etnis, namun tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Kemudian pada hasil sensus tahun 1893 sejumlah etnis yang sebelumnya ada, seperti orang Jawa, Sunda, Arab, Moors, Bugis, Sumbawa dan Melayu, tidak tercatat. Kemungkinan telah terjadi pembauran sejak pertengahan abad ke 18. Barulah pada sensus penduduk tahun 1930 ditemukan adanya kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam sensus-sensus terdahulu. Tahun itu jumlah orang Betawi tercatat sebanyak 778.953 jiwa, jumlah itu menjadi jumlah mayoritas penduduk Batavia kala itu.

Sebenarnya, sebelum sensus tahun 1930 itu telah ada pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok. Pengakuan itu muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Sejak itulah segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan dan sebagai satuan sosial dan politik. Selain bukti dari sumber-sumber sejarah itu, bukti konkrit Bhineka Tunggal Ika yang teraplikasi dengan indah dalam etnis Betawi dapat dilihat dari ragam kesenian, kuliner dan adat-istiadat suku Betawi.

Ikuti tulisan menarik Erwin J Koto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler