x

Aburizal Bakrie. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ical Bukanlah Guardiola

Sebagai juru mudi partai, ia harus jeli menempatkan siapa anak buah kapalnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siapa yang tak kenal Pep Guardiola, tukang racik strategi di lapangan hijau yang sudah seperti raja Midas saja. Bagaimana tidak, di Barcelona, ia bak Dewa. Bersama klub dari Catalan itu, sederet gelar ia persembahkan. Sentuhan tangannya, selalu berbuah 'emas' prestasi. Trofi demi trofi ia berikan. Piala dan sederet gelar, ia kasihkan, mulai dari juara liga, hingga trofi Champion Cup yang bergengsi itu. 

Kini, ia tak lagi di Barcelona, klub yang melambungkan nama besarnya. Kepergiannya ke Bayern Munchen, di lepas dengan air mata. Semua, merasa kehilangan. Ikon taka-tiki itu, telah memilih berpindah perahu. Di Jerman, ia coba peruntungan baru. Sentuhan pertamanya teramat manis. Bayern bahkan sudah ditasbihkan menjadi 'jawara Bundesliga', ketika kompetisi belum berakhir. Sungguh pencapaian spektakuler di masa awalnya menukangi klub berjuluk Hollywood FC. Awal pertama yang baik, untuk kembali menjadi raja Midas.

Lalu apa hubungannya Guardiola dengan Aburizal Bakrie atau Ical. Jelas tak ada hubungan. Ical bukanlah saudara atau kerabat si tukang racik 'titisan Raja Midas' tersebut. Guardiola juga, bukan ketua partai. Ia pelatih bola, tukang racik strategi dan penyusun pemain jempolan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi saya tergoda untuk memaksakan hubungan antara Ical dan Guardiola. Menghubungkannya lewat prestasi dan hasil kinerjanya masing-masing. Sebagai ketua umum partai, Ical ibarat tukang racik strategi bagi partainya. Di tangan dia, kinclong tidaknya prestasi politik Partai Golkar, sedikit banyak ditentukan.

Karena itu, sebagai juru mudi partai, ia harus jeli menempatkan siapa anak buah kapalnya. Salah menyusun formasi pengurus, bisa jadi bakal jadi hambatan bagi laju kapal yang dikemudikan. Tidak gampang memang. Meski berpengalaman, di dalam kapal 'beringin' banyak sekali faksi-faksi yang saling intip peluang.

Sementara ombak politik, kian tak mudah ditaklukan. Kompetisi kian keras. Kompetitor lainnya juga sedang menggeliat. Benar saja, riak mulai muncul. Kepemimpinan Ical di perahu beringin mulai dapat gugatan. Statusnya sebagai capres, dianggap terlalu dini. Mereka yang menggugat, menilai Ical mestinya mengurus tuntas dulu kondisi perahu. Tidak lantas langsung mengarahkan kapal menuju samudera pemilihan presiden.

Sementara lautan yang mesti dilalui pertama, adalah pemilihan legislatif. Ical pun dianggap salah pilih strategi. Para penumpang di perahu beringin pun mulai tak puas atas layanan politik yang diberikan sang nakhoda. Penempatan anak buah kapal pun menuai protes. Ical dianggap, terlalu mengistimewakan orang dekatnya, yang bahkan tak pernah berkeringat merawat perahu beringin.

Ya, Ical jauh-jauh hari sudah dinobatkan sebagai capres. Dan, sejak predikat capres sudah disandangnya, kapal beringin pun ia langsung arahkan menuju Istana. Jalur cepat pun ditempuhnya, lewat seabrek iklan di layar kaca. Sementara, jalur ke Senayan, seperti terlupakan. Logistik dan energi pun sebagian besar dikonsentrasikan untuk jalur Istana.

Masuknya Rizal Mallarangeng misalnya, banyak menuai kritikan dari internal beringin. Rizal yang sebelumnya, menjadi anggota tim sukses duet SBY-Boediono, dinilai 'orang luar' yang tiba-tiba saja langsung menyelonong masuk kandang beringin. Kedekatannya dengan Ical, memberi jalan bagi Rizal bisa bernaung di bawah naungan beringin, bahkan tepat di bawah batang pohonnya. Di beringin, 'pengasuh' Freedom Institute itu jadi Ketua Bidang Pemikiran dan Kajian Kebijakan.

Yorys Raweyai, adalah salah satu kader beringin  yang lantang mengkritik cara Ical, mengemudikan perahu beringin. Yorys mengkritik Ical, mengemudikan partai, seperti laiknya saudagar mengurus perusahaan. Tokoh beringin lainnya yang tak kalah lantang mengkritik Ical, adalah Akbar Tandjung. Ketua Dewan Pertimbangan Golkar itu, bahkan meminta beringin mengevaluasi pencapresan Ical. Kader beringin lainnya yang juga getol 'menggugat' Ical adalah Priyo Budi Santoso. Priyo, Wakil Ketua DPR asal Golkar. Tapi, seperti kafilah, Ical terus berlalu, tak pedulikan gonggongan yang nyaring di sekitarnya.

Mendekati 9 April, serangan udara diintensifkan. Iklan bertagline 'ARB' digenjot. ARB sendiri adalah singkatan Aburizal Bakrie, yang coba dijual lewat serangan udara. Berbagai tema iklan di sebar via layar kaca. Sampai kemudian tiba musim kampanye terbuka.

Di arena kampanye Ical kian semangat. Merasa tertinggal di bursa survei, Ical mencoba menjual 'kejayaan Orde Baru'. Sosok mendiang Soeharto, penguasa Orde Baru dihadirkan lewat panggung-panggung kampanye. Lewat romantisme masa lalu itu, Golkar di bawah Ical mencoba membangunkan kenangan manis kejayaan Orde Baru.

Namun apa daya, segala ikhtiar dan cara yang dilakukan, tak berhasil mengangkat beringin. Hasil hitung cepat yang dilansir lembaga survei, hanya menempatkan Golkar di urutan nomor dua klasemen perolehan suara. Beringin, berhasil diseruduk banteng. Partai beringin itu, hanya mampu menangguk 14 persenan suara, tertinggal oleh PDI-P, si banteng moncong putih yang berhasil meraup 19 persenan suara.

Daun beringin pun rontok. Permainan beringin yang banyak mengandalkan 'serangan udara' tak membuahkan hasil. Permainan tidak berkembang. Hasilnya, beringin hanya mampu bertengger  di posisi dua papan klasemen liga pemilu 2014. Maka, dengan raihan hanya 14 persen itu, Golkar mesti bekerja ekstra keras mencari kawan koalisi bila memang ingin bertanding di medan Pilpres. Syarat untuk bisa ikut berkompetisi, cukup berat, kontestan mesti bisa memenuhi syarat 25 persen suara atau 20 persen raihan kursi.

Sampai sejauh  ini, baru Hanura, yang sepertinya bakal bisa dirangkul. Partai pimpinan Wiranto itu, memang punya hubungan historis dengan Golkar. Wiranto, mantan Panglima TNI itu, adalah capres beringin pada Pilpres 2004, setelah menang dalam konvensi penjaringan capres yang digelar Partai Golkar. Sayang, berpasangan dengan Solahuddin Wahid, Wiranto gagal di Pilpres 2004. Pemenang Pilpres, adalah duet SBY-Jusuf Kalla. Kalla adalah kader beringin, yang memutuskan memilih bertarung bersama SBY melawan jagoan beringin.

Kini Ical menunggu nasib. Gugatan pencalonannya kembali digugat. Bahkan kian kencang. Perahu beringin pun gaduh riuh. Sepertinya, seluruh awak kapal tak satu suara. Kubu Ical, tetap ngotot berlayar. Sementara kubu lainnya, meminta perahu bersandar saja. Serta sang nakhoda diminta untuk mengkoreksi diri, tak memaksakan diri bertarung di medan Pilpres.

Mencermati apa yang terjadi di perahu beringin, saya teringat David Moyes, juru racik Manchester United. Si setan merah itu, tengah terpuruk di liga Inggris. Moyes pengganti sir Alex Ferguson, juru racik legenda Setan Merah, belum juga mampu mengangkat marwah Manchester United. Nama besar Manchester pun, jadi taruhan.  Klub yang selalu menakutkan tim lawan itu, kini harus tertatih-tatih di klasemen liga. Posisi Moyes pun mulai di goyang.

Sekali lagi, Ical bukanlah Pep Guardiola. Ical, gagal meracik beringin menjadi kontestan pemilu yang menarik minat pemilih. Target bertengger di posisi puncak klasemen perolehan suara, tak tercapai. Bahkan kini, posisi Ical terus digoyang. Bisa jadi, di medan Pilpres, Ical pun bakal gagal. Sebab, menurut teropongan berbagai lembaga survei, elektabilitas sang saudagar itu, tak kunjung kinclong. Ia masih kalah oleh Joko Widodo atau Jokowi dan Prabowo Subianto. Kegagalan menjadi juara pemilu, serta elektabilitas yang tetap seret itulah yang kini dipersoalkan kader beringin.

 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler