x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Al Faruq, yang Tegas Memilah

Figur pemimpin pilihan. Catatan kecil tentang sosok adil sebagai pengingat, sebagai gambaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sang pemimpin berkeliling rumah ke rumah sejauh yang bisa dicapainya, pada suatu masa paceklik panjang, memastikan rakyat cukup makan. Pada tempat jauh tak terjangkau langkahnya, diutus pemimpin-pemimpin wilayah melakukan hal sama agar tak satupun bangsanya mati kelaparan. Pada pagi dan siang, ketika orang-orang terjaga, mungkin diambil persediaan makanan di gudang dari zakat masyarakat yang memang menjadi satu-satunya sumber pengelolaan negara. Saat gelap, waktu kebanyakan warga lelap, sang pemimpin akan mengambil dari rumahnya sendiri jika ia temui orang-orang lapar. Sendiri saja ia berjubah menutup kepala agar tak dikenali demi tanggung jawab terlaksana lekas, dengan kantong-kantong makanan dipanggul, dipikul, bertumpu di tubuhnya.

 

Sangat sederhana, jika ukuran sekarang menjadi acuan, adalah pilihan hidup Sang Pemimpin. Sumber-sumber sejarah menggambarkan pakaiannya tidak lebih dari sepuluh lembar. Hasilnya mengusahakan kehidupan, sebagian besar disalurkan pada amirul zakat atau badan pengelola keuangan negara. Negara Sang Pemimpin memang menganut sistem zakat yaitu pembiayaan negara bersumber dari pengumpulan dana masyarakat baik terhitung wajib, disebut zakat, maupun hibah dan sedekah yang suka rela. Sistem ini memungkinkan orang-perorangan menyumbang berapapun kesanggupannya, serela hatinya, demi negara, setelah beberapa kewajiban (zakat) dibayarkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Teladan Sang Pemimpin menyerahkan sebagian besar hartanya setelah menyisakan sedikit untuk kebutuhan pribadi dan keluarga yang menjadi tanggungan, sekedar cukup, bukan lebih, apalagi mewah. Ukuran ‘cukup’ kehidupan Sang Pemimpin merujuk pada kekuatan masyarakat terlemah dalam tanggung jawab kepemimpinannya. Artinya, Sang Pemimpin meneladankan kesanggupan sepenanggungan dengan rakyat terlemah. Setelah jelas diamalkan, Sang Pemimpin menyerukan ini ke sekitar, terutama pada wakil-wakilnya, para pemimpin wilayah. 

 

Suatu ketika pemerintah menyelenggarakan pengelolaan dana negara demi kesejahteraan masyarakat, Sang Pemimpin mencegah keluarganya menerima. Tegas ia tekankan pada putra-putrinya untuk mengutamakan seluruh masyarakat menikmati layanan dari negara, tapi tidak keluarganya sendiri. Mereka harus paling akhir, dari seluruh masyarakat, dari seluruh wilayah negara, merasakan kemudahan, itupun bukan harus, hanya jika tersedia, dan lebih baik tidak.

 

Sesaat sebelum akhir masa memimpin, pesannya pada pemerintahan adalah untuk tidak memilih maupun melibatkan keluarga atau anak keturunannya menggantikan kepemimpinan. Demi pertanggungjawaban pada Tuhan, Sang Pemimpin memilih menjaga kerabat dari keterjerumusan. Sang Pemimpin khawatir anak keturunannya dinobatkan menjadi pemimpin lebih karena kenangan massa pada dirinya ketimbang kemampuan adil bijaksana, yang mungkin dimiliki, yang wajib ditegakkan seorang pimpinan.

 

Memimpin adalah tanggung jawab besar mengusahakan kesejahteraan seluruh yang dipimpinnya, jiwa dan raga. Bagi Sang Pemimpin, bukan saja pemenuhan lahir, lebih utama dari itu ialah memastikan akhlak-akhak mulia, jiwa-jiwa luhur rakyatnya, sesuai tuntunan kebaikan dan nilai-nilai benar. Sang Pemimpin sungguh-sungguh mengusahakan karena keyakinannya kepemimpinan adalah pertanggungjawaban besar nanti di hadapan Tuhan. Di bawah kepemimpinannya terbukti hukum tegak tanpa kecuali. Pada anak-anaknya, Sang Pemimpin justru menimpakan tuntutan lebih saat hukum dilanggar, karena ada tanggung jawab besar mereka emban, memberi teladan baik dan benar pada masyarakat.

 

Selama memimpin, terus dididik bangsanya agar dekat pada Tuhan dengan mengingatkan tanggung jawab masing-masing, nanti, pada mahkamah Maha Adil di masa datang. Saat menemukan cela seseorang, maka mengingat kemudian memperbaiki diri lebih utama, ‘memusuhi’ nafsu sendiri jauh lebih penting dibanding bermusuhan sesama manusia karena mengendalikan diri adalah keharusan tiap pribadi yang akan sampai masa pertanggungjawaban pada Tuhan, adalah beberapa keluhuran yang terus diajarkan Sang Pemimpin membangun kepribadian bangsa.

 

Salah satu julukan untuk pemimpin ini adalah Al Faruq berarti yang tegas memilah, maknanya ia figur yang sanggup membedakan benar-salah, kewajiban-hak, kepentingan negara-keperluan pribadi, kemudian tegas mengutamakan tanggung jawab-tanggung jawabnya. Memimpin sejak 23 Agustus 633 hingga digantikan pada 2 November 644, dunia mengenal Al Faruq sebagai Umar Bin Khattab, Sang Singa Padang Pasir.

 

Umar Bin Khatab adalah pemimpin negara sekaligus pemimpin umat Islam ketiga setelah Muhammad Rasulullah dan Abu Bakar. Beliau dikenal tegas dan pemberani oleh sahabat juga orang-orang yang berseberangan pendapat dengannya, bahkan sebelum karunia keinsyafan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal. Setelah hidayah (petunjuk dari Tuhan) itu, segala anugerah Tuhan pada dirinya, ia persembahkan demi menegakkan kebenaran, keadilan, keluhuran, dan segala tuntunan baik sesuai ajaran Tuhan. Umar Bin Khatab figur teladan, mungkin bisa menjadi contoh calon-calon pemimpin Indonesia dalam berlaku dan bersikap sekaligus gambaran baik sosok pilihan. Sekedar catatan kecil sebuah pengingat.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler