x

Iklan

Anton Muhajir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Generasi Baru Demonstran di Bali

Bedanya, dulu, media itu berupa pamflet yang dicetak lembar demi lembar kemudian disebar malam-malam. Sekarang, media itu bernama media sosial semacam Twitter dan Facebook. Para penggerak aliansi menggunaan media sosial itu untuk menyebarkan ide-ide perla

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merinding melihat jumlah peserta aksi massa di Denpasar, Bali pertengahan Juni lalu.
 
Lebih dari seribu orang itu berbaris rapi. Tangan kiri mengepal. Berteriak menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Tangan kanan menggenggam ponsel. Mereka aktif memperbarui (update) informasi di media sosial. 
 
Wajah-wajah mereka masih muda, umur 20-an tahun. Tak sedikit yang malah masih anak baru gede (ABG). Pakaian mereka senada. Kaos bertuliskan Bali Tolak Reklamasi atau Outsider. Celana pendek. Bersepatu. Lebih mirip anak gaul daripada demonstran.
 
Tapi ya mereka inilah yang kini turun di jalanan berdemo menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka bergabung bersama para aktivis tua yang saya kenal dan hari ini ikut turun gunung.
 
Inilah sisi lain yang menurut saya menarik dari perlawanan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali). Selama sekitar setahun ini, ForBali terus menerus melawan rencana reklamasi Teluk Benoa di Badung.
 
Reklamasi tersebut akan dilakukan PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI). Perusahaan milik Tomy Winata ini akan membangun berbagai fasilitas pariwisata termasuk hotel, mal, lapangan golf, dan lain-lain. Masalahnya, lokasi yang mereka incar adalah wilayah konservasi di Teluk Benoa.
 
Begitu rencana itu muncul ke publik, perlawanan demi perlawanan berjalan. Salah satu yang gencar adalah ForBali.
 
Menariknya karena aliansi ini tak hanya merangkul kelompok yang sudah telanjur identik dengan perlawanan, misalnya aktivis organisasi non-pemerintah (ornop) atau mahasiswa. Di dalam barisan ini juga ada kalangan musisi. Salah satu ikonnya adalah Jerink, pentolan Superman is Dead.
 
Tentu saja kita bisa berdebat berbusa-busa tentang ikonisasi, patronisasi, dan bla-bla semacamnya. Tapi, bagi saya sosok JRX memang menarik karena dia bisa menggunakan “pengaruh”-nya untuk melibatkan anak-anak muda lebih luas dalam gerakan menolak reklamasi.
 
Tentu saja dia tak sendiri. Ada misalnya Nosstress Bali dengan personel imut-imutnya yang terlibat aktif di ForBali. Banyak lagi musisi dan profil lain yang menggunakan pengaruhnya untuk mengajak anak-anak muda bergabung dalam aksi penolakan ini.
 
Pola gerakan ini sebenarnya sama dengan gerakan zaman bahuela. Mereka menggunakan media untuk menyebar suara perlawanan sambil mengajak anak-anak muda lain masuk dalam barisan. Aksi massa menjadi salah satu media untuk menuntut sekaligus unjuk kekuatan.
 
Bedanya, dulu, media itu berupa pamflet yang dicetak lembar demi lembar kemudian disebar malam-malam. Sekarang, media itu bernama media sosial semacam Twitter dan Facebook. Para penggerak aliansi menggunaan media sosial itu untuk menyebarkan ide-ide perlawanan mereka.
 
Silakan sekali lagi berdebat tentang click activism atau malah slick activism. Dalam kasus ForBali, terbukti bahwa media sosial ini sangat efektif untuk mengumpulkan massa.
 
Melalui media sosial seperti Twitter dan Facebook, ajakan untuk turun aksi juga disebarkan. Begitu pula untuk aksi kali ini. 
 
Hasilnya? Ribuan peserta aksi massa berkumpul sejak pukul 9 pagi di Renon, Denpasar. Mereka mau masuk dalam barisan, berbaris rapi, berjalan dalam satu komando, bernyanyi, berteriak, dan tentu saja update di media sosial. 
 
Bulu kuduk saya ketika aku berada di antara mereka. Sudah lama tidak ada aksi massa sebesar ini di Bali. Kini mereka bergabung dalam satu barisan untuk menuntut agar alam Bali tidak terus dieksploitasi.
 
Selamat datang generasi baru demonstran Bali.
 

Ikuti tulisan menarik Anton Muhajir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler