x

Iklan

anton susilo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Telepon Pintar

Prosa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rasanya aku akan makin gemuk saja.

Dua hari sudah aku duduk tanpa kerja, kecuali memandangi jejaring sosial melalui laptop, atau menyeruput teh manis hangat sedikit-sedikit bersama dengan beberapa keping biskuit cokelat yang sebenarnya tinggi kalori. Dokter memang bilang aku harus banyak istirahat. Tapi berdiam diri begini, membuat diriku terasa begitu penat.

Sesekali aku melirik ke telepon pintar yang setia mendampingiku. Ia baru kubeli sebulan lalu. Musik band Inggris tahun 1990an, Radiohead, sudah lama aku matikan karena terlanjur bosan. Begitu juga dengan kiriman-kiriman email tentang pekerjaan, sedapat mungkin aku tunda dan diamkan. Bukan karena alasan apapun, tetapi lantaran aku sedang menunggu datangnya pesan dari seorang yang begitu aku harapkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia adalah seorang gadis yang amat aku dambakan, secara diam-diam dan rahasia. Apakah baik bila aku sebutkan namanya di cerita ini? Anda semua tidak berkeberatan mengetahuinya? Baiklah jika demikian. Aku akan simpan saja namanya, tidak perlu dituliskan dalam bagian ini.

Aku menunggu pesan darinya, sebab dua hari kemarin—tepat saat aku lemas dan payah, dilarikan teman-teman kerjaku ke rumah sakit, mendapat perawatan segera dari para dokter, dan akhirnya diopname sampai sekarang—aku mengirimkannya sebuah surat cinta. Cemas dan kalut lantaran merasa bahwa aku tidak akan hidup lama—barangkali itu hanya perasaan melodrama—membuatku memberanikan diri mengirimkan surat cinta yang sudah berminggu-minggu aku tulis namun tanpa mampu aku layangkan. Jujur saja, sewaktu tanganku diinfus di ruang ICU, aku betul-betul menduga, bahwa hidupku tak akan lama lagi, dan karenanya mesti aku utarakan perasaan yang telah lama aku rawat ini.

Maka, beberapa menit setelah dokter dan perawat memberikan penanganan yang dibutuhkan—ternyata hanya selang infus saja, tidak ada alat pacu jantung, pembantu oksigen dan lain sebagainya yang mencerminkan betapa gawatnya kondisiku, yang memungkinkan siapa saja harus prihatin kepadaku—aku membuka telepon pintar, mencari file surat cinta itu, dan mengirimkan melalui email padanya. Sent. Dan begitulah. Aku pun jatuh tertidur.

Perlu beberapa lama bagiku untuk benar-benar tersadar bahwa aku sedang berada di sebuah ruang rawat inap di rumah sakit. Kepala pening, tentu saja, karena terlalu lama aku berbaring di ranjang. Infus masih terpasang pada tangan kiriku. Di sebelah kasur ada meja tinggi kecil penuh buah-buahan dan roti tawar. Mencium bau obat-obatan, yang amisnya mengambang di udara, aku lamat-lamat mengetahui pula, bahwa aku sekarang berada di sebuah sal rumah sakit, untuk sebab yang tidak aku ketahui.

Tidak ada saudara sanak famili yang menemani, kecuali adik perempuanku yang kuliah satu kota denganku. Itu pun dia sudah sibuk betul dengan aktivitasnya, dan tidak pernah datang menengokku. Kedua kakakku berada di luar kota, untuk urusan kerjanya masing-masing. Jangankan teman atau sahabat dekat, si Manis, kucing kesayanganku di rumah, yang saban pagi selalu aku belai dan kuberi makanan lezat, pun pasti tidak tahu di mana gerangan tuannya, apalagi ada di sini menjengukku. Alangkah nelangsanya hidup ini. tinggal di kota besar, tanpa siapapun yang mendampingi.

Ah, aku tiba-tiba teringat pada gadis itu. Apakah ia sudah membalas pesanku? Ternyata belum. Aku pastikan berkali-kali, bahwa email itu benar alamatnya, dan juga provider selularku tidak sedang gangguan sehingga pesanku batal terkirim. Tidak. Semuanya baik-baik saja. Email itu delivered. Segalanya berjalan lancar, kecuali rasa gelisahku yang mengalir kembali ke seluruh pembuluh darahku, meresap ke sekujur syaraf yang peka, menimbulkan kecemasan dan halusinasi yang mulai tidak tertahankan. Tentang bibirnya yang mungil. Mata sipit sayu yang seringkali tertutupi poni. Suara ketawanya yang mendenyar jauh ke degup jantungku. Atau sentuhan jemarinya yang sengaja aku cari-cari. Amboi. Fantasi itu, begitu tak tertahankan.

Seseorang memasuki ruang rawat inapku. Rupa-rupanya perawat yang sedang melakukan pemeriksaan rutin.

“Bagaimana keadaan saya?” aku bertanya, sekedar basa-basi untuk menutupi kikuk akibat imajinasi akan tubuh gadis yang aku sukai itu.

“Anda baik-baik saja tampaknya. Suhu badan normal. Cuma tensinya masih rendah. Nafsu makannya sudah lebih bagus?”

“Kelihatannya begitu.”

“Sudah sempat ke belakang?”

Aku menggeleng. “Mungkin sebentar lagi. Kepala sudah tidak pening, kan?”

“Iya, sudah lebih mendingan dibanding kemarin.”

“Baguslah. Kalau begitu saya kurangi dosis obatnya. Dokter juga berpesan, kalau telah merasa baikan, asupan obat bisa diturunkan. Nanti saya akan kembali untuk memasang cairan infus baru.”

Setelah ia pergi, aku berpikir-pikir juga. Bila merasa lebih baik, obat bisa dikurangi. Apa ini artinya, obat yang aku gunakan bukan merupakan kebutuhan penting, tapi bisa dihentikan bila aku merasa lebih sehat?

Baru saja aku menduga-duga, seseorang memasuki kamarku. Segera aku palingkan wajah, mengira bahwa perawat itu sudah kembali. Tapi aku rupanya keliru.

Anda percaya? Gadis yang aku tunggu-tunggu itu datang menjenguk!

Coba lihat, betapa indahnya dia. Gaun terusannya bermotif kembang merah muda, diberi aksen syal hijau cerah. Rambutnya lebih panjang dari bahu, digerai begitu menawan. Dan ia membawa sebuah bungkusan, yang kutahu pasti berupa buah-buahan segar, tanda perhatiannya yang tergerak tentu oleh surat cinta yang aku kirimkan.

Ya, pasti karena surat itu. Perhatikanlah, betapa ia kikuk berdua bersamaku begini dalam satu ruangan rumah sakit. Dia berdiri agak dekat jendela yang tetutup, tak menampilkan lanskap pemandangan apapun. Sementara aku berbaring begini lemas, dengan infus yang hampir habis. Apalagi wajahku tentu terkesan pias, mengundang rasa haru dan cemas. Tanpa sadar, aku mendesah pelan sekali, seolah-olah ingin mengesankan betapa aku begitu tersiksa oleh rasa sakit yang bikin nelangsa.

Betul saja! Ia menoleh sedikit, dan mendekatiku. Tangannya ragu-ragu, hanya menyentuh bagian ranjang yang kosong di sampingku. Hampir-hampir bersentuhan dengan jari-jariku. Aku tahu, sedikit gerak saja, pasti ramping jemarinya bisa kugenggam. Namun sengaja aku tahankan, agar tidak terbaca rasa senang hatiku. Mana ada, orang yang sedang sakit, lemah tak berdaya seketika bersemangat dan bergairah pada perempuan? Kalau aku bertindak demikian, jangan-jangan dia akan mengira bahwa sakitku ini jadi-jadian saja.

Tapi aku sengaja aku tatap matanya. Kendati pandangannya sedang berpaling ke lain arah, aku betul-betul tahu persis, bahwa ia sebenarnya merasa sedang dipandangi olehku, seorang yang pasti paling disukainya di tempat kerja. Ayo, balaslah menatapku, sentuh jemari dan lenganku, yang sedemikian keras kulatih di gymnasium supaya terbentuk bisep yang mantap. Atau carilah dalih, untuk meraba dadaku yang bidang, juga perutku yang bagus dan rata. Semua ini aku lakukan demi engkau…

“Adikmu…sedang kemana?” ia akhirnya bertanya.

Ah, tentu itu cuma pertanyaan basa-basi saja, guna mengetahui bahwa apakah aku sedang sendirian saja kali ini. Tentu saja kujawab ia sedang tidak ada. “Mungkin kuliah, atau ada aktivitas lain di luar,” jawabku.

“Oh…” ia kemudian terlihat lebih ringan dan santai, mengambil kursi dan duduk dengan nyamannya. Nona, batinku, aku paham betul arti senyumanmu itu. Tapi dasar tinggi diri, aku belum juga menampakan rasa gembiraku, dan melamurkannya dengan pertanyaan yang seolah sederhana saja.

“Kenapa kamu menanyakan dia?”

Dia melirikku sebentar lalu tersenyum penuh arti.

“Kukira dia lesbian. Sebab dua hari lalu dia kirimkan surat cinta padaku.”

Aku terpana. Tak bisa berkata apa-apa. Telepon pintar di sebelah kuraih, dan kuperiksa alamat email yang terintegrasi di sana. Baru aku ingat, beberapa saat sebelum dilarikan ke rumah sakit, adikku meminjamnya untuk mengirim pesan. Aku lupa keluar dari kotak masuknya. Untuk pertama kalinya, aku merasa begitu dungu dipermainkan perangkat canggih itu.

Aduh. Teringat pada pengalaman di rumah sakit itu, kini aku pandangi telepon pintarku. Aku matikan saja, tak jadi aku menunggu pesan darinya. Rasanya aku malu. Kikuk.

Ikuti tulisan menarik anton susilo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler