x

Kuota BBM Bersubsidi Diprediksi Tak Mencukupi

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

"Esih penak jamanku to?"

Wacana kebijakan pemerintah untuk BBM bersubsidi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masihkah ingat dengan jargon diatas?

Biasanya jargon tersebut akan berada dalam satu frame dengan foto alm.Soeharto yang sedang tersenyum.Sudah beberapa waktu marak sekali jargon tersebut beredar lagi di masyarakat,entah di medsos maupun di masyarakat kebanyakan. Sudah seperti kacang goreng gratis di mana-mana.Mungkin jargon tersebut memang sebuah bentuk kerinduan terhadap "kenyamanan" yang tercipta di era pemerintahan Soeharto. Toh nyatanya Indo barometer sendiri mengakui, hasil survei mereka terhadap responden yang diambil secara random sampling di tahun 2011. Untuk presiden yang paling disukai,nama Soeharto muncul di urutan pertama dengan angka 36,54% dan hanya 14,76% responden yang menyatakan abstain.

Tidak bisa dipungkiri,sebelum krisis 1998,harga barang yang beredar di masyarakat sangatlah mudah terjangkau di bawah kendali Soeharto.Seperti bensin contohnya, di tahun 1997 bensin hanya dibanderol dengan harga Rp.1000,- per liternya,sedangkan sekarang dibanderol dengan harga Rp.6.500,- per liternya. Lonjakan yang sangat drastis dalam jangka waktu kurang dari 20 tahun. Ironis sekali. Mengingat sejak tahun 1998 depresi rupiah terhadap dollar semakin tak terkendali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk kasus BBM ini, saya agak kebingungan dan tidak habis pikir dengan pemerintah yang terus-terusan memilih mengekspor minyak mentah dan mengimpornya kembali dalam wujud minyak jadi dengan harga yang gila-gilaan. Apakah demikian sulitnya bagi pemerintah kita untuk menginvestasikan dana untuk membangun sebuah stasiun pengolahan minyak bumi sendiri? SDM kita mumpuni kok. Lokasi banyak tersebar pula. Apa begitu sulit untuk membangun sebuah stasiun pengolahan minyak mentah? Mosok kita kalah dengan Iran yang anteng saja membangun panel nuklirnya dan berhasil.

Kadangkala otak kecil saya memang tak mampu berfikir,bagaimana pemerintah terus-menerus memilih bergantung pada negara lain di saat kita sebenarnya mampu melakukannya sendiri. Sama halnya saat ada statemen bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan pasti baik buat rakyatnya dan sudah dipikir sebaik-baiknya,tapi apakah kita tidak boleh punya kontrol terhadap pemerintah? Toh nyatanya mereka memang mengemban amanat kita. Dan kadangkala kebijakan yang diambil memang agak kurang sesuai dengan apa yang kita perlukan.

Ah sudahlah,kembali ke masalah BBM yang terus-terusan mengalami pembengkakan subsidi tiap tahunnya. Kita memang patut merasa miris melihat angka subsidi pemerintah untuk BBM yang tahun ini saja sudah menembus di kisaran angka 210-an triliun rupiah. Dan saat ini pemerintah sedang jungkir balik mencari solusi bagaimana menghemat anggaran subsidi BBM. Hingga munculah wacana tidak adanya penjualan BBM bersubsidi di akhir pekan. Dengan langkah ini pemerintah menghitung bisa memangkas subsidi BBM hingga angka 1,52 triliun rupiah.Benarkah langkah ini langkah yang paling tepat sementara menaikan harga BBM sudah bukanlah sebuah solusi?

Pemerintah menganggap kebijakan tersebut tidak akan terlalu mengganggu pelaku bisnis karena diberlakukan di akhir pekan,tapi benarkah? Pemerintah menganggap,bahwa di akhir pekan masyarakat lebih banyak melakukan perjalanan wisata dan kalau yang namanya wisata selalu berkaitan dengan gaya hidup jadi mereka sudah menyisihkan dana dengan perhitungan sendiri.

Dan pemerintah alpa memperhitungkan kepentiangan kaum marginal. Contoh konkrit yang paling mudah adalah para penjual jasa transportasi umum. Apa kabarnya dengan kesulitan mereka membagi antara setoran dan harga BBM yang bakal naik sekian kali lipat dari harga normal? Apa mereka juga perlu libur bekerja? Padahal seringkali justru di akhir pekanlah mereka mempunyai pendapatan lebih. Haruskah mereka akan memberlakukan tarif berbeda di akhir pekan? Bagaimana dengan nelayan? Para pelaku bisnis lain seperti sembako? Apakah harganya akan melonjak dan dibebankan kepada si pembeli, khusus untuk pengiriman akhir pekan? Kenapa pemerintah memilih untuk memukul rata semua pengguna BBM bersubsidi,bukannya mengatur jalannya subsidi BBM agar lebih rapi dan tepat sasaran?

Misalnya menyediakan stasiun BBM khusus bagi angkutan kota dan truk-truk pengantar barang.Toh nyatanya pemerintah sudah melakukan hal tersebut untuk kendaraan-kendaraan yang dipergunakan TNI dan POLRI,juga stasiun khusus BBM bagi para nelayan.Jadi saya rasa bukan hal sulit jika pemerintah mengaplikasi juga untuk angkutan kota dan para pengguna transportasi yang memang membutuhkan BBM bersubsidi. Kalau pemerintah mau tegas,sebenarnya pemerintah bisa saja melakukan restruksturisasi di bidang tersebut dan mencabut subsidi untuk semua kendaraan pribadi.

Biarlah subsidi tersebut dipergunakan untuk membenahi pendidikan, infrastruktur dan kesehatan. Agar tidak ada lagi kalimat jangan sakit kalau tidak punya duit,tidak ada lagi kalimat jembatan kayu ini putus diterjang banjir, atau yang paling sering juga terdengar, tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah. 

Akankah pemerintah mampu tegas dan tidak tebang pilih dalam kebijakan?

Entahlah,yang jelas didepan saya foto Soeharto masih tampak tersenyum manis dan berkata:

"Esih penak jamanku to?"

 

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler