x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pergerakan Kebangsaan dalam Silang Sejarah

Sejarah bukan soal nama-nama besar atau tindakan heroik perjuangan. Sejarah adalah kesadaran berbangsa, untuk merenung masa silam, menyikapi kekinian dan merajut gemilang masa depan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang

Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang

Lahir seorang besar, dan tenggelam beratus ribu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semuanya harus dicatat, semuanya dapat tempat

(Catetan ’46, Chairil Anwar)

 

Selintas Pandangan tentang Sejarah Indonesia

Sudah umum diketahui, dan juga disebutkan dalam berbagai diskusi maupun literatur, bahwa sejarah disusun oleh para pemenang, baik dalam artian penguasa, maupun mereka yang berhasil meraih pencapaian tertinggi sehingga merasa sah dan legal guna menuliskan kisahnya sebagai sejarah. Sayang sekali memang, sebagai akibat dari kukuhnya dominasi wacana (serta pula tindak represi lainnya) dari pemerintah, terutama di masa Orde Baru, kita hanya mengetahui sebagian dari sekian peristiwa di masa silam. Itu pun yang diketengahkan ke publik tak lain adalah beberapa peristiwa yang dikonstruksi sebagai kenyataan historis nan ansih dan tidak perlu diragukan kebenarannya, semata demi menampilkan kesan atas para tokoh, entah itu Soekarno, Hatta, Sjahrir, Soeharto, Tan Malaka juga sosok-sosok lain. Amat memprihatinkan pula, bahwa dari konstruksi atas citra tersebut pula, kita harus kehilangan para tokoh yang sebenarnya berperan penting bagi pembentukan bangsa dan negara Indonesia. Beberapa nama, bahkan mungkin beratus atau beribu banyaknya, terpaksa tidak tercatat, semata demi mengukuhkan keabsahan sejarah atas satu – dua nama saja.

Alam reformasi yang dinamis memberikan arah lain bagi negeri ini, termasuk dalam hal memperjuangkan sejarah kebangsaan yang lebih demokratis. Kita mulai menjumpai aneka literatur yang menghadirkan tafsir ulang sejarah, termasuk tandingan historis yang ditunjang beragam data dan fakta yang selama ini terpendam di masyarakat. Hal paling menarik dari fenomena ini, ialah betapa kecenderungan kelokalan ternyata kian menguat, di mana ditemukan keinginan serta upaya berbagai daerah guna hadir dengan kontruksi historisnya masing-masing. Sebabnya barangkali tak lain lantaran kegelisahannya pada globalitas yang terus menderas, mendorong tiap entitas daerah guna mempertahankan apa yang disebut sebagai ciri khas darinya, baik dalam kebudayaan, historis maupun unsur-unsur lain yang bersifat otentik lagi orisinal. Lebih-lebih dalam konteks nasionalitas, seluruh daerah sejatinya berniat diakui secara terbuka, dengan beragam catatan-catatan atas peristiwa, nama dan kenyataan, yang membuktikan sumbangsihnya bagi perjalanan peradaban bangsa ini.

Sejarah Lokal vs Sejarah Nasional?

Perdebatan yang berkepanjangan selalu terjadi, terutama menyangkut dari mana titik tolak sejarah nasional bangsa Indonesia harus ditulis. Pertanyaan ini juga berkembang ke hal lainnya, peristiwa-peristiwa mana saja yang dapat disertakan di dalamnya, yang setidak-tidaknya dapat pula mencerminkan dinamika kehidupan berbangsa. Seringkali pula ini terbentur dengan kenyataan, bahwa negeri ini didiami berbagai suku dan etnis, membentuk wilayah-wilayah regional yang telah ada bahkan sebelum bangsa ini merdeka. Daerah-daerah tersebut dikelola oleh kerajaan-kerajaan yang beberapa masih berdiri hingga sekarang dan membentuk entitas tradisi di kawasannya masing-masing. Mereka berhasil tumbuh dan mempertahankan keberadaannya di tengah sekian tantangan dan cobaan eksistensi. Mereka juga mampu hadir oleh kesadaran masyarakat setempat akan pentingnya menjaga kekayaan dan keluhuran warisan leluhur. Namun bila berhadapan dengan entitasnya yang lebih besar, yakni nasionalitas, mereka bagaikan sebuah koma di antara tulisan catatan historis negeri ini.

Definisi atas apa yang disebut sebagai sejarah nasional dan sejarah lokal memang telah dibuat sebagai batasan-batasan yang membantu proses merangkum perjalanan historis Indonesia. Limitasi tersebut antara lain mencakup, sejauh mana pengaruh peristiwa-peristiwa sejarah lokal tersebut dalam perkembangan sejarah nasional. Hal ini pun amat ambigu sifatnya. Bukankah semenjak era kemerdekaan, kejadian-kejadian sejarah sedemikian berpusat di pulau Jawa semata, dan hampir sedikit berlatar di Ambon, Kupang, ataupun Papua. Hampir mustahil rasanya untuk menulis sejarah bila batasan yang digunakan hanyalah sampai di sana saja. Apakah tidak ada peristiwa-peristiwa di daerah-daerah timur Indonesia, atau kawasan nun jauh dari pusat kekuasaan di Jawa, yang sebenarnya merefleksikan pula semangat mereka tentang ke-Indonesia-an.

Lantas, mengapa hal ini tidak terangkum dalam catatan sejarah kita? Apakah semata karena informasi yang ada sedemikian luas cakupannya, ataukah karena dalih bahwa sejarah yang ditulis oleh penguasa (atau pemerintah berbagai Orde) hanya ingin menekankan kemajuan, keberhasilan serta kejadian-kejadian penting yang terjadi seputar dirinya? Atau barangkali, karena para sejarawan kita kini tidak lagi punya tema-tema yang menarik untuk diangkat?

Pergerakan Kebangsaan

Tentu membutuhkan ulasan dan telaah yang mendalam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sejarah, bagaimanapun juga, berada dalam ruang yang bersifat ambigu, antara keabsahan fakta dengan kemungkinan distorsi atas realita. Demikian pula halnya ketika kita mencoba menarik pertalian historis mengenai tahapan pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia, di mana peran para tokoh yang terlibat seringkali dibesar atau dikecilkan, dengan maksud-maksud yang kerap bersifat politis. Akibatnya, sejarah yang kita kenal sekarang lebih ke urutan peristiwa secara kronologis, tinimbang analisa terkait gagasan maupun perdebatan kebangsaan di masa silam, yang sejatinya penting untuk diuraikan demi tumbuhnya rasa nasionalisme keindonesiaan nan utuh bagi upaya-upaya mengisi kemerdekaan di masa kini maupun nanti.

Menilik pergerakan kebangsaan yang terjadi di Indonesia, kita tidak bisa melepaskan pandangan dari dinamika pergolakan pada akhir abad ke19 dan paruh awal abad ke20, di mana kondisi luar negeri mengalami titik balik yang mengejutkan, serta berimplikasi bagi perkembangan gagasan di negeri ini. Benih-benih nasionalisme mulai mengemuka dengan sebab-sebab yang bersifat internal maupun eksternal.

Benedict Anderson, dalam bukunya yang tersohor Imagine Community (1991) menyebutkan bahwa nasionalisme bermula dari sebentuk imajinasi dari sekelompok kalangan tertentu yang merasa senasib dan sepenanggungan, mendorong mereka untuk berdaulat dalam satu entitas komunitas yang sama. Pandangan ini kurang lebih serupa juga dengan pemikiran Anthony Smith, yang menyatakan nation muncul oleh karena gerakan-gerakan ideologis yang mengarah pada cita-cita pendirian bangsa yang otonom dan bersatu berdasar atas tanah air serta jalan sejarah yang serupa. Hal-hal inilah yang juga terjadi dalam pergerakan kebangsaan Indonesia, yang merumuskan kemerdekaan berikut kebangsaannya, didorong oleh berbagai faktor seperti mayoritas agama Islam (hingga 90%), penggunaan bahasa Melayu pasar dalam berbagai forum maupun media massa, keberadaan volksraad dengan anggota dari berbagai entitas kesukuan, hingga pendidikan yang merupakan bagian dari kebijakan politik etis.

Menarik untuk mengulas pandangan Wertheim dan Giap (1962) menyebutkan betapa politik etis yang utamanya diterapkan di Jawa pada awal tahun 1900 membawa dampak signifikan bagi kehidupan sosial masyarakat setempat. Kebijakan yang diterapkan atas dorongan publik Belanda mengenai nilai-nilai humanisasi di tanah jajahan ternyata hanya berimplikasi bagi penghalusan sistem eksploitasi kapital di negeri Hindia Belanda, tidak secara komprehensif bertujuan meningkatkan hak serta kesejahteraan rakyat di seluruh Nusantara. Misalnya, kebijakan atas kewajiban komoditi tanaman masih berlaku sebagaimana regulasi sebelumnya, di mana ragam vegetasi yang menghasilkan keuntungan sedemikian rupa dipertahankan demi kepentingan ekonomi Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu hal yang diubah adalah mekanisme struktural antara Pemerintah dengan rakyat, dilakukan melalui perantara wedana dan asisten wedana, mendorong terciptanya stratifikasi sosial yang lebih berjenjang dan kompleks. Hal ini memunculkan polarisasi dalam masyarakat, yang mengklasifikasikan rakyat ke dalam kelas-kelas sosial dengan legitimasi yang lebih jelas lagi nyata. Bahkan, kelas-kelas sosial yang terjadi terbilang begitu rigid, selain kelas antara golongan pribumi, juga terjadi pemilahan kelas antara kulit berwarna, yakni antara Belanda, Cina, dan kaum bumiputera.

Mekanisme kelas ini terang juga berdampak pada kemungkinan akses pendidikan serta kesejahteraan yang kurang berpihak pada rakyat kelas bawah. Sebagaimana diketahui, pada dekade tersebut hanya kalangan kelas menengah atas yang mendapat peluang menempuh edukasi di sekolah-sekolah bentukan politik etis. Artinya, meskipun terdapat kesempatan pendidikan bagi pribumi, ternyata politik etis tidak sepenuhnya bermaksud membuka edukasi bagi semua kalangan.

Hal ini pula yang menjadi fokus perhatian dari pergerakan kebangsaan pada masa-masa awalnya. Boedi Oetomo misalnya, secara khusus menitikberatkan programnya pada bidang pendidikan dan kebudayaan, dengan tujuan mendorong edukasi bagi masyarakat bawah. Gagasan ini juga dikemukakan oleh organisasi lainnya, seperti Sarikat Dagang Islam pada mula pergerakannya, Indische Partij yang berikutnya dilanjutkan oleh Ki Hajar Dewantara lewat sekolah Taman Siswanya. Masing-masing organisasi tentu pula mengalami pasang surutnya, dengan berbagai sebab baik bersifat internal maupun eksternal, entah berujung pada represi dari pemerintah Hindia-Belanda, perpecahan atau bahkan pembubaran. Kendati demikian, benih-benih nasionalisme, kesadaran kebangsaan dan kehendak berdulat merdeka ini terus bertumbuh melalui ideologi serta caranya tersendiri, yang di luar dugaan, justru dimotori oleh kaum muda berpendidikan dari kalangan menengah atas. Artinya, pemilahan-pemilahan kelas yang dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda justru membawa titik balik bagi perkembangan gagasan atas kesetaraan peran dan penyamaan hak bagi segenap rakyat, tidak sepenuhnya membawa polarisasi sebagaimana yang diharapkan Belanda.

Sedangkan faktor-faktor eksternal (luar negeri) atas munculnya benih-benih pergerakan dan nasionalisme lebih bersifat historis, seperti dinamika politik di Turki, kemenangan Jepang atas sebagian wilayah Rusia pada akhir abad ke-19 serta pergerakan nasionalisme China yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen. Hal tersebut tak pelak menimbulkan optimisme atas berdaulatnya ras Asia, untuk mampu hadir secara setara dengan golongan Eropa dan kulit putih lainnya, memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak kebangsaannya. Gagasan ini dikembangkan dan dijadikan momentum besar bagi arah jalan pergerakan bangsa Indonesia, sebagaimana yang dikedepankan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka serta tokoh-tokoh lain yang berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia.

Soekarno dan Hatta: Dwitunggal Tak Lekang Zaman

Dua tokoh Bapak Bangsa, Soekarno dan Hatta, dikenal bukan hanya sebagai proklamator kemerdekaan, melainkan pula inspirator bagi pergerakan kebangsaan negeri ini. Masing-masing mulanya memiliki cita-cita yang sama, menuju dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia, meskipun kemudian mengalami simpang jalan pandangan yang berujung pada perpisahan: Soekarno menjadi Presiden RI dan Panglima Besar Revolusi yang lebih cenderung dikultuskan, sedangkan Hatta yang bersetia dengan gagasan demokrasinya melangkah di jalan lain, jauh dari sorot perhatian publik, dan pada Orde Baru hanya terdepankan sebagai Bapak Koperasi saja.

Saya ingin mengulas beberapa pokok-pokok gagasan yang diperjuangkan oleh Soekarno maupun Hatta, terutama konsep-konsep keindonesiaan yang coba dihadirkannya. Pada Soekarno misalnya, sejak muda ia dengan tegas menolak apa yang disebut sebagai pemilahan tingkatan struktur sosial, sebagaimana dicerminkannya pada suatu pertemuan Jong Java di tahun 1921, di mana ia menolak penggunaan bahasa Jawa Kromo, dan lebih memilih bahasa Jawa ngoko (rendahan), dengan maksud untuk menghilangkan kedudukan elitisnya dan sekaligus elitism secara luas. Pemikiran ini sama menariknya dengan gagasan Soekarno lain, seperti anti imperealisme dan anti kolonialisme, setidak-tidaknya dipengaruhi oleh beberapa tokoh seperti P.J. Troelstra (pendiri partai sosialis Belanda), H. Roland Holst (pengarang wanita yang imajinatif), H.H. van Kol (anggota parlemen Belanda yang pernah berkunjung ke Hindia-Belanda), termasuk tentunya gagasan dari Marxis, Otto Bauer asal Austria, dan H.N. Brailsford dari sayap kiri partai buruh Inggris. Dua tokoh lain yang rupanya cocok dengan Soekarno antara lain Karl Kautsky (Jerman) dan Jean Jaurès asal Perancis (Onghokham, 1977).

Keindonesiaan bagi Soekarno merupakan cerminan kebangsaan yang terbuka, menaungi berbagai khalayak dan kepentingan. Hal ini dituangkan pada bukunya tahun 1926, Indonesia Muda: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”, mencoba meyakinkan golongan-golongan Islam untuk tidak phobia terhadap Marxisme melalui pernyataan yang bersejarah, “Saya bukan orang komunis, saya tidak memihak! Saya hanya menghendaki kesatuan, kesatuan Indonesia dan persaudaraan di antara berbagai gerakan.” Kalimatnya ini sebenarnya tidak kontradiksi dengan konsep Nasakom yang dikemukakannya pada hampir 30 tahun berikutnya, malahan boleh dikata menjadi ciri persatuan yang hendak dikedepankannya, yakni persatuan Indonesia melalui persatuan ideologi-ideologi. Menurut R. Mc-Vey (1969), pandangan ini muncul oleh karena Soekarno tidak mengganggap masyarakat terbagi dalam berbagai struktur kelas ataupun kelompok yang berbeda-beda. Hanya isme-isme atau ideologi sajalah yang membuat rakyat seakan terkotak-kotak, dan itu sebabnya persatuan yang hendak dicapainya lebih berdasar pada penyatuan kesepahaman kebangsaan keindonesiaan di antara para pemimpin-pemimpinnya.

Gagasan tentang keindonesiaan yang merdeka dan berdaulat juga dikembangkan oleh Hatta. Pokok-pokok pikirannya kurang lebih hampir serupa dengan Soekarno, terutama dalam perjuangan persamaan hak dan egalitarianisme bagi seluruh lapis masyarakat. Hatta dengan kultur Bukitinggi-Sumatera Barat, sangat lekat dengan rasa keislaman, sekaligus terbuka dengan segala bentuk pemikiran ideologis. Kendati demikian, Hatta terbilang secara konsisten menggagas terwujudnya sistem politik parlementarinisme, sebagaimana yang coba diadaptasinya dari sistem demokrasi Barat. Keindonesiaan, menurut Hatta, harus ditemukan wujudnya, bukan hanya berdasar pada persatuan atas perbedaan suku bangsa, namun dikelola secara terstruktur dan sistematis dalam sebuah pola politik sekaligus pemerintahan yang menjamin hak-hak hidup kemerdekaan seluruh lapisan masyarakat. Rakyat, tambah Hatta—sebagaimana dikutip dalam tulisannya Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional (di) Indonesia)—harus diberikan kesempatan untuk membuka suara, menunjukan kesadaran atas hak dan kewajibannya dalam rapat-rapat, perkumpulan atau kongres. Artinya, keindonesiaan menurut Hatta sekaligus juga merupakan proses negoisasi dan interaksi antara berbagai kepentingan, guna merumuskan pilihan jalan yang tepat bagi segenap rakyat.

Konsep demokrasi semacam ini barangkali yang kemudian mendorong dwitunggal ini bersimpang jalan. Soekarno kemudian lebih memilih untuk menampilkan wajah revolusi Indonesia dalam pucuk kepemimpinan karismatik yang nyaris tunggal, bertentangan dengan nilai-nilai permusyawaratan yang diperjuangkan Hatta.

Sejarah sebagai Simbolis Keindonesiaan

Perlu perjuangan panjang untuk merawat kesadaran kebangsaan. Negeri ini kaya oleh berbagai suku, dengan tinggalan budaya yang masih lestari hingga kini. Tiap-tiap entitas tersebut memegang teguh nilai-nilai lokalnya, yang sesungguhnya bila dipadankan dengan local wisdom di daerah lainnya, sejatinya sama dan luhur maknanya. Namun perbedaan tetap saja terjadi, dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi serta tingkat kesejahteraan yang terus berjarak antara satu dan lainnya, kian memperuncing persoalan-persoalan yang kerap pula menimbulkan benturan. Samuel Huntington pernah juga memperkirakan, bahwa dalam suatu peradaban, oleh karena berbagai faktor yang melatarinya, akan sampai pada clash of civilization, atau kerenggangan dan ketegangan peradaban, yang lantas menimbulkan perpecahan. Kesenjangan standar ekonomi, kurang tolerannya masyarakat, tingkat kependudukan yang meningkat, serta lemahnya penerapan nilai demokrasi dan kemanusiaan adalah sebab-sebabnya, yang sedikit banyak juga perlahan mendekat pada kehidupan di Indonesia kita.

Selama ini kita merawat kebangsaan dengan manipulasi simbolis yang diterapkan Orde Baru. Perbedaan harus temukan nilai kesamaannya, yang secara sistematis mengarah pada keseragaman. Di luar konstruksi itu, maka seseorang atau masyarakat dianggap devian, yang terpinggirkan dan terasingkan. Semboyan bahwa Indonesia dibangun oleh rasa senasib dan sepenanggungan dari kolonialisme penjajahan pun merupakan kata-kata hampa semata. Belakangan terbuka juga, tentang siapa atau daerah mana yang harus menanggung kesenjangan, hingga dirinya terabaikan kesejahteraan hidupnya. Inilah ‘kotak pandora’ bangsa ini, yang bila tidak disikapi secara arif, akan menimbulkan serangkaian persoalan dan tantangan.

Rasa senasib dan sepenanggungan itu harus dikontruksi kembali lewat sejarah. Mesti dibuktikan, bahwa semua wilayah negeri ini sejatinya berperan juga dalam upaya merebut dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia, termasuk juga pada masa-masa pembangunannya. Perlu dikumpulkan, dicatat, dan disebarluaskan, betapa Papua dan Indonesia Timur yang lebih intens menggunakan bahasa Indonesia dibanding kawasan lainnya, ternyata dengan caranya sendiri turut mengambil andil bagi pembentukan rasa nasionalisme. Bagaimana pula Jong Celebes, Jong Sumatranen, dan Jong di daerah lainnya, dengan berbesar hati, dilandasi cita-cita kemerdekaan dan kesetaraan, bersedia melepas kelolakan daerahnya dan mempersatukan diri dalam ikar kenusantaraan dalam Sumpah Pemuda 1928. Bagaimana pula orang-orang di Nusa Tenggara hadir dalam sejarahnya sendiri-sendiri, melawan bentuk-bentuk penjajahan Portugis, dan menemukan pula kesadaran kebangsaannya.

Pertentangan atas tafsir sejarah tentu akan senantiasa terjadi, termasuk dalam menemukan relevansi hadirnya sejarah lokal dengan kepentingan historis nasional. Namun era keterbukaan ini, suka atau tidak suka, memberikan peluang bagi tiap-tiap sumber sejarah untuk tampil dan berani menyuarakan kenyataan di wilayahnya masing-masing. Suara-suara ini mestilah diperdengarkan, agar siapapun memiliki kepedulian terhadap alur perkembangan bangsa ini, tidak secara mudah melupakan peran dan pengaruh penting para tokoh maupun peristiwa-peristiwa penting di masa lalu.

Masyarakat kita terlanjur memahami, bahwa sejarah juga adalah soal-soal nama besar maupun tindakan-tindakan penuh perjuangan. Di luar itu, dipandang kisah-kisah kecil disebalik peristiwa senyatanya. Kini bukan waktunya bagi sejarawan kita untuk mengeluhkan kurangnya data yang dimiliki untuk membangun sejarah Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mendorong kesadaran dokumentasi masyarakat agar peristiwa-peristiwa dan artefak historisnya tidak memudar, lantaran saksi-saksinya tiada oleh usia, termasuk dalam hal penyusunan dan pemasyarakatan sejarah. Sejarah adalah ilmu yang kritis, harus senantiasa bergerak cepat, untuk tanpa henti menggali dan mencari informasi. Sebab tidak semua orang mengetahui rahasia masa lalu. Sebab yang peristiwa silam itu tidak akan terulang kembali.***

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler