x

Iklan

Pungkit Wjaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dangdut, Kampanye dan Rekayasa Digital

Rekayasa menyebabkan sesuatu yang asli dan palsu sungguh sulit dibedakan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau cinta

Sudah direkayasa

Dengan gaya

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Canggih luar biasa

Rindu buatan

Rindu sungguhan

Susah dibedakan

(Rekayasa Cinta)

 

Seorang teman berseloroh, musim kampanye calon presiden tahun ini, sebaiknya kau tidak banyak membuka dunia digital. Bisa-bisa matamu akan cepat rabun dan pikiranmu sudah tidak sehat lagi. Kenapa demikian? Ia menjelaskan bahwa dunia digital sudah sedemikian rupa dijadikan rekayasa kampanye negatif bagi capres, cawapres dan partai koalisinya. “Kalau kau memihak salahsatu calon presiden, seringlah menebar citra buruk kepada lawan politikmu,” katanya.

Saking tidak percaya dengan perkataan teman, saya mencoba seharian membuka media sosial Facebook dan Tweeter dan sejumlah media online. Ternyata, apa yang dikatakan teman ada benarnya juga,  dunia digital sudah selayaknya menjadi hutan informasi yang jika tidak kritis membacanya akan tersesat. Saya pun tersadar, karena ini tahun politik, banyak arus informasi yang menyeret kita untuk membaca profil dari kedua kubu capres: Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta.

Selain itu, dari perkataan teman, saya ingin menggaris bawahi kata rekayasa itu dalam moment kampanye calon presiden ini.  Kata rekayasa, saya mengenalnya pertama kali dari buku Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi, salahsatu tulisan termashur dari Jalaludin Rahmat. Tidak salah, jika buku itu menjadi populer dikalangan kaum cendekia Indonesia, sebab isinya yang menohok pada bentuk kesalahan pemikiran dalam menyikapi dunia sosial.

Namun, tidak hanya itu, saya pun teringat lirik lagu dangdut yang berjudul Rekayasa Cinta. Lagu ini dinyanyikan oleh Camelia Malik. Menurut wikipedia.org, pada 2002, album itu dirilis di bawah bendera Sony Music Indonesia. Menariknya, lagu utamanya adalah Rekayasa Cinta, sementara itu pencipta liriknya bernama Munik Karna.

Kemudian saya pun mendengarkannya di situs youtube. Keseluruhan liriknya, tidak gegabah jika ditelaah secara sosiologis, menyindir perilaku orang yang bercinta dapat direkayasa. Seakan-akan menyublimasi protes sosial dan hasrat bercinta. Bahwa ketikacinta sudah direkayasa diolak-alik semanis madu tapi berbisa dan beritanya kini sudah menjadi topik utama. Tentu saja nuansanya tak lagi melukiskan pesona indahnya kemesraan. Dapat pula dilihat jalinannya sudah tak menjajikan masa depan kebahagiaan. Rekayasa cinta adalah ketika cinta dalam kesadaran palsu: rindu sungguhan, rindu buatan sudah dibedakan.

Andrew N. Weintraub dalam buku Dangdut; Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia(2012) menyebutkan bahwa, “Teks-teks lagu dangdut bukan sekadar melankoli, dan joget bukan pula ruang bersenang-senang belaka,” katanya. “Lagu dangdut membuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran, dan bukan menutupnya. Dangdut tidak memberikan jawaban atas persoalan. Melainkan mendorong batas-batas dari apa yang diperbolehkan, demi membeberkan ekses-ekses kemungkinan.” (hlm 130-167).

Bagi saya, lirik itu menjadi penting jika kata cinta diganti dengan kata politik dan digital. Artinya, rekayasa menyebabkan sesuatu yang asli dan palsu (buatan) sungguh sulit dibedakan. Dalam nuansa yang berbeda, ternyata tidak hanya dunia cinta yang sudah direkayasa, ekonomi, politik dan digital teringkus sudah dengan ikhwal rekayasa ini.

 

Mesin kampanye

Selain televisi, media sosial di internet juga dapat dikategorikan menjadi mesin kampanye yang efektif. Pada pemilu presiden ini, dapat dicatat semua calon sudah memasang semacam informasi; Fans FageFacebookTweeterBlog, dan group komunitas relawan. Namun, ini pula yang diisratkan oleh seorang teman, bahwa rekayasa politik melalui digital sudah mulai menjadi topik utama, penyebabnya mulai terjadinya chaos terakit selubung kampanye hitam.

Coba lihat saja di media sosial; FacebookTweteer dan media online, berita politik tentang kedua capres sudah menjadi-jadi. Saling serang terkait dua calon presiden; Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto makin marak. Dari mulai pemuragan biografis hingga ke kata-kata ironi dan satire. Isinya bisa berbentuk rekayasa dalam desain komunikasi visual (gambar dan kata-kata) maupun pemugaran “luka lama”. Tujuanya, agar menanam semacam persepsi di benak si pembaca.

Menariknya, rekayasa digital terkait politik ini dijadikan alat propaganda yang empuk untuk saling menyerang, baik oleh si pendukung capres atau yang bersebrangan (tidak mendukung). Fenomena rekayasa digital ini bukan saja membuat rakyat menjadi galau, namun sudah mulai muak dengan banjirnya selubung kampanye hitam itu.

Apa yang harus dilakukan ketika rekayasa digital ini terjadi? Sebaiknya, publik sebagai konsumer informasi (information consumer)—terutama pengguna media sosial—dengan tumbuhnya kesadaran informasi (information awareness), perlu diberi saran agar mampu bersikap kritis terhadap informasi itu.

Dunia digital memang menciptakan sebuah realitas baru berupa tumpang tindihnya realitas dan rekayasa realitas (artificial realitas). Tidak salah pula, dimartirkan Jean Baudrillard—filsuf Prancis—sebagai kondisi dari hiperealitas. Dengan kata lain, realitas dapat disimulasi untuk menutupi, mengaburkan dan mendistrosi realitas dan kebenaran yang sesungguhnya.

Yasraf Amir Pilliang (2004: 265) “Sehingga ketimbang menyajikan informasi, hiperealitas justru menyuguhkan disinformasi, yakni informasi yang telah terdistorsi dan terkontaminasi. Cyberspase adalah ruang yang paling disarati oleh simulasi tersebut dan di dalamnya dapat dipalsukan, disimulasi, dan diciptakan model artifisialnya.”

Dunia digital memang memiliki realitasnya sendiri. Namun, saya pikir dalam dunia digital yang artifisial itu—ketika kampanye negatif mulai membludak, sepertinya sikap yang harus ditumbuhkan menurut pada dangdut: liriknya mengandung suara nestapa, tapi kita seakan-akan dipaksa berjoget. Tarik Mang!

Ikuti tulisan menarik Pungkit Wjaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler