x

Iklan

Anton Muhajir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tantangan Klasik Petani Rumput Laut Nusa Penida

Karena tergantung pada tengkulak, maka harga penjualan pun dikendalikan sepenuhnya oleh tengkulak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panas matahari menjadi berkah bagi petani rumput laut di Banjar Pengaud, Desa Suana, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung. Suhu matahari yang tinggi membuat penjemuran rumput laut mereka bisa dilakukan lebih cepat. Hanya dua hari. Padahal jika tak terlalu panas, penjemuran perlu waktu tiga sampai empat hari. “Makin cepat kering, makin cepat bisa dijual,” kata Made Sami, salah satu petani rumput laut.
 
Menghadap ke arah Selat Lombok, pantai timur Nusa Penida memang tempat subur bagi rumput laut. Nyaris semua warga desa-desa di sepanjang pantai ini menggantungkan hidup dari budi daya rumput laut. Desa-desa pusat produksi rumput laut di Nusa Penida tersebut antara lain Desa Suana, Desa Batununggul, Desa Kutampi Kaler, Desa Ped, dan Desa Toyapakeh. Adapun desa lain yang termasuk Kecamatan Nusa Penida tapi di Pulau Nusa Lembongan adalah Desa Jungut Batu dan Desa Lembongan.
 
Dari desa-desa ini, Nusa Penida menghasilkan dua jenis rumput laut untuk konsumsi dunia yaitu catony dan spinosum. Made Sami salah satu petani produsen rumput laut tersebut. Dia memiliki lahan seluas 1,5 are dengan sekitar 4.500 bibit rumput laut yang diikat dengan tali. Luas lahan milik Sami ini termasuk kecil karena rata-rata petani punya 1,5 hingga 15 are.Dengan rata-rata luas lahan petani 10-15 are, berdasarkan data Coral Triangle Centre (CTC), total hasil panen rumput laut di Nusa Penida sekitar 40-50 ton tiap kali panen antara 25 hingga 35 hari. Pulau ini menyumbang sekitar 65 persen rumput laut untuk seluruh hasil rumput laut di Bali. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, total produksi rumput laut Bali pada tahun 2013 sebanyak 145.597 ton, atau naik hanya 1 persen dibandingkan dengan 2012, 144.000 ton. Bali merupakan satu dari sembilan provinsi penghasil komoditas rumput laut di Indonesia.
 
Dengan lokasi menghadap laut terbuka, Nusa Penida menjadi penyumbang komoditas rumput laut bagi Bali. Komoditas ini menjadi bahan baku aneka produk penting seperti pangan dan kosmetik. Dari pulau yang terpisah dari Bali daratan ini, rumput laut kemudian diekspor lewat Surabaya ke beberapa negara seperti Jepang, China, Taiwan, Korea, dan lain-lain.
 
Namun, di balik potensi tersebut, petani rumput laut di Nusa Penida terus menghadapi tantangan klise, masalah penanganan pascapanen. Menurut Made Sami, hampir semua petani masih menjemur rumput laut secara tradisional. Seperti dia, semua petani hanya menjemur rumput laut tersebut di atas terpal plastik. 
 
Cara penjemuran ini tidak terlalu bagus karena membuat rumput laut bisa tercemar bahan-bahan lain, seperti sampah dan kerikil. “Penjemuran yang bagus sebaiknya menggunakan para-para,” kata Sami, petani perempuan ini. Selain penjemuran yang masih secara tradisional, petani juga menghadapi pemasaran komoditas yang tidak pasti. Nyoman Candra, petani rumput laut di Banjar Semaya yang berjarak sekitar 3 km dari Banjar Pengaut mengatakan hal serupa. Menurutnya, penjualan rumput laut kering sangat tergantung pada tengkulak. Petani tak bisa menjual langsung kepada eksportir ataupun pengolah rumput laut karena kapasitas produksi tiap petani yang terbatas sedangkan eksportir butuh dalam jumlah besar.Petani juga tak bisa menjual melalui pemasaran bersama karena mereka tidak bergabung dalam kelompok. “Dulu pernah ada kelompok tapi sekarang sudah bubar karena tidak ada kegiatan,” ujar petani laki-laki ini.
 
Karena tergantung pada tengkulak, maka harga penjualan pun dikendalikan sepenuhnya oleh tengkulak. Petani tak bisa melakukan tawar menawar harga dengan mereka. “Berapa mereka mau beli, segitu kami akan jual,” tambah Candra. Harga rumput laut kering ini berbeda tergantung jenisnya. Rumput laut jenis spinosum yang oleh warga setempat disebut bulung biasa seharga Rp 5.000 per kg kering dua hari. Adapun jenis catony yang disebut bulung gondrong bisa sampai Rp 15.000 per kg. “Bulung gondrong memang lebih mahal tapi pembelinya jarang,” kata Candra.
 
Menurut Ketua Yayasan Nusa Penida Wayan Sukadana kondisi petani rumput laut di Pengaud dan Semaya bisa menggambarkan kondisi petani rumput laut di Nusa Penida secara umum. Apalagi kedua tempat tersebut memang pusat produksi rumput laut. “Masalah terbesar yang dihadapi petani rumput laut di sini memang penanganan pascapanen,” kata Sukadana.
 
Untuk itu, menurut Sukadana, ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendukung petani rumput laut di Nusa Penida. Pertama dengan membantu penanganan pascapanen. Selama ini petani rumput laut di sana tidak pernah mendapat pelatihan penanganan pascapanen. Akibatnya petani masih menjemur secara tradisional. Petani juga tak bisa membuat para-para untuk menjemur karena tidak punya cukup modal.
 
Kedua, Sukadana melanjutkan, pemerintah sebaiknya membangun pabrik pengolahan rumput laut di Nusa Penida. “Jika ada pabrik pengolahan rumput laut di sana, maka petani tak perlu menjual ke Surabaya lewat tengkulak. Saya yakin harga juga akan lebih tinggi,” tambah mantan fasilitator pemberdayaan masyarakat ini.
 
Ketiga, Sukadana menambahkan, perlu komitmen pemerintah agar petani di Nusa Penida tidak tergusur oleh pariwisata. Menurutnya, pariwisata menjadi salah satu ancaman bagi keberadaan petani rumput laut di Nusa Penida. Hal ini sudah terjadi di Nusa Lembongan. Akibat pembangunan hotel, vila, atau fasilitas pariwisata lain, petani rumput laut di Nusa Lembongan pun tergusur. “Selain karena lahan dipakai membangun fasilitas pariwisata, rumput laut mereka pun bisa tercemar oleh limbah pariwisata sehingga rusak. Jangan sampai hal serupa juga terjadi di Nusa Penida,” ujar Sukadana. 

Ikuti tulisan menarik Anton Muhajir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler