x

Seorang pekerja sedang mengaduk Dodol Betawi di kawasan Condet, Jakarta, (25/7). Menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri 1434 H pesanan Dodol Beatwi meningkat 100 persen. TEMPO/Subekti

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inovasi Kuliner dari Garut

Urang Garut mengembangkan kuliner mereka agar lebih diterima oleh masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah lama dodol menjadi ikon kota Garut. Pokoknya, ingat dodol, ingat Garut. Kudapan yang berasa manis dan kenyal ini selalu mengundang selera untuk disantap. Apa lagi bila dinikmati dengan secangkir teh tawar.

Seiring popularitas ‘kuliner’ yang kian menanjak dan meluas, ketika menyantap hidangan (makanan dan minuman) tumbuh menjadi gaya hidup, Garut pun beradaptasi terhadap perubahan. Kedekatan kota ini dengan Bandung membawa angin segar terhadap inovasi di bidang kuliner di Garut.

Upaya memadukan cokelat (chocolate) dan dodol Garut telah melahirkan apa yang dikenal sebagai ‘chocodot’ (urang Bandung dan sekitarnya memang suka membuat akronim biar mudah mengingatnya. Misalnya, gehu adalah akronim dari tauge dalam tahu. Cireng berarti aci atau tepung kanji digoreng. Batagor adalah akronim dari baso tahu goreng. Dan banyak lagi.).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dodol Garut maupun chocodot kini ditawarkan dalam kemasan yang kian menarik. Faktor desain dan warna kemasan kini diperhatikan betul oleh produsen dodol Garut. Bukan hanya cita rasa yang diolah dengan beragam pilihan. Pengemasan pun diperhitungkan agar menarik konsumen dari berbagai kalangan dan usia.

Kesadaran orang Garut akan potensi kuliner yang dimiliki kotanya, di samping potensi wisatanya, memang kian meningkat. Beras Garut pun dibangkitkan. Urang Garut ingin beras mereka sama terkenalnya dengan beras Cianjur.

Di zaman ketika keunggulan serba diukur dengan ketenaran seperti sekarang, kemashuran brand (merek) menjadi penting. Petani Garut bersama-sama tengah membangun merek ‘beras Garut’ agar ketika orang menyebut beras berkualitas itu berarti beras Garut. Dari sisi kemasan, beras Garut kini dijual dalam kemasan yang tampak higenis dengan kualitas beras yang dijaga.

Tapi, inovasi yang tak kalah menarik ialah beras yang diolah menjadi beragam produk instan, sepeti nasi liwet, nasi kuning, maupun nasi uduk. Semuanya instan laiknya mie instan yang dapat dimasak dengan cepat dan mudah. Ada yang orisinal, ada yang pedas, ada yang rasa ikan asin (orang Sunda menyukai ikan jambal), bahkan jika Anda suka makan jengkol tersedia nasi liwet instan rasa jengkol.  

Ukuran aneka nasi liwet dan uduk ini rata-rata 250 gram per kemasan, cukup mengenyangkan perut. Hasil inovasi yang dipelopoti Andris Wijaya ini berkontribusi dalam mengangkat kuliner Garut yang sebelumnya didominasi dodol.

Cireng juga mendapat sentuhan lain di kota ini. Lazimnya, cireng dijual sebagai makanan gorengan tak ubahnya gehu dan bala-bala. Di Garut, kini dapat ditemui cireng yang berukuran mirip dodol panjang ataupun mpek-mpek Palembang tapi dikemas dengan merek. Cireng panjang ini dipotong-potong dulu sebelum digoreng dan siap dinikmati bersama bandrek atau bajigur atau teh manis dan kopi – terserah kesukaan Anda.

Inovasi kuliner ini menambah keragaman makanan yang dihasilkan kawasan Garut yang selama ini sudah ada, seperti opak, es Goyobot, ladu (makanan mirip dodol yang terutama diproduksi di Malangbong, Garut), emplod yang terbuat dari singkong, burayot yang berasa manis dan gurih (mudah dijumpai di Leles, Kandungora), maupun dorokdok yang gurih dan renyah.

Urang Garut sudah menunjukkan bagaimana kuliner dapat terus berevolusi dalam bentuk, rasa, maupun kemasannya. Asal berani berpikir beda, akan ditemukan hasil kreasi yang tak kalah menarik dari sebelumnya. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler