x

Nadine Gordimer, penerima Nobel Sastra 1991. Guillermo Arias/AP

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dan Nadine Gordimer pun Berpulang

Nobelis Sastra Afrika Selatan, Nadine Gordimer, wafat dan mewariskan pikiran-pikiran anti-Apartheidnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Andaikan Nadine Gordimer tidak berkulit putih, mungkin ia tidak bisa leluasa menulis tentang negerinya, Afrika Selatan—meski sensor sempat pula menjeratnya. Andaikan Gordimer berkulit hitam, belum tentu ia akan menyuarakan dengan lantang nasib buruk yang dialami bangsanya. Nadine tidak pernah merasa sebagai orang berkulit putih yang menumpang lahir dan hidup di Bumi Afrika—orangtuanya Yahudi imigran, tapi sepanjang hidup ia merasa dirinya orang Afrika yang (tanpa bisa memilih) terlahir berkulit putih.

Tak berkehendak jadi penulis, Nadine memperoleh penghargaan Nobel (1991) untuk karya-karyanya: “Saya adalah apa yang disebut sebagai penulis alamiah. Saya tidak membuat keputusan apapun untuk menjadi penulis. Saya tidak, pada mulanya, berharap untuk mencari penghidupan dari dibaca. Saya menulis sebagai seorang anak yang menikmati kehidupan melalui seluruh indera saya—yang terlihat, tercium, dan terasa; dan mengalirlah emosi-emosi yang membingungkan saya atau membangkitkan amarah dan kemudian mengambil bentuknya, mendapatkan semacam pencerahan, penghiburan dan kesenangan, dalam tulisan.”

Dan di hari Minggu lalu (13 Juli 2014), penulis alamiah itu berpulang di usia hampir 91 tahun—meninggalkan setumpuk novel dan naskah tentang kritik sosial dan esai sastra. Come Again Tomorrow adalah tulisan pertamanya (ketika itu Nadine berusia 15 tahun) dan dimuat di majalah Forum yang terbit di Johannesburg. Sebelas tahun kemudian, terbit kumpulan cerita pendeknya yang pertama, Face to Face. Pada mulanya, Nadine muda tidak memilih isu Apartheid sebagai subyek tulisannya, tapi akhirnya ia tidak bisa menghindar--penindasan itu berlangsung di depan matanya; ia juga tak mungkin menutup telinganya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nadine hidup di tengah bangsa yang ditindas oleh ideologi Apartheid--sebuah ideologi yang sesungguhnya sudah kadaluwarsa dan mengingkari kenyataan bahwa menjadi putih atau menjadi hitam bukanlah soal pilihan. Di tangannya, ketika menginjak dewasa, ketidakadilan dan kekejaman dari kebijakan pemisahan ras menjadi tema yang sukar ia tinggalkan. “Tapi saya bukan orang politik secara alamiah,” ujarnya bertahun-tahun kemudian. Dengan penanya, ia menyuarakan jeritan saudaranya yang berkulit hitam. “Seorang penulis harus terus menggunakan hak untuk berbicara perihal kesukaran,” ujarnya. Dan Nadine menuliskannya dengan, seperti kata William Peden, “mata yang jeli, telinga yang peka, dan penciuman yang tajam.”

Begitupun, seperti ia katakan dalam wawancara dengan Michiko Kakutani untuk The New York Times (1986), Nadine Gordimer ragu apakah penulis seperti dirinya memiliki pengaruh terhadap pemerintah. “Tapi saya pikir para penulis Afrika Selatan telah membantu memunculkan dan membangkitkan kesadaran dunia luar terhadap efek jangka panjang kehidupan di negeri kami,” kata Nadine. “Sederhananya, koran mencatat apa yang terjadi, tapi penulis naskah sandiwara, novelis, penyair, penulis cerita pendek yang membukakan gagasan tentang mengapa itu terjadi.”

Menjadi penulis bukanlah pilihan yang mudah ketika sebuah pemerintahan yang menindas merasa terganggu, atau bahkan terancam oleh teks. “Beberapa dari kita pernah melihat buku tergeletak bertahun-tahun tak terbaca di negeri sendiri, dilarang, dan kita harus terus menulis,” tulis Nadine dalam Writing and Being. Banyak penulis dipenjara. Di tanah Afrika, Nadine tak mengalami penyiksaan dan pengapnya penjara seperti dialami Wole Soyinka, Jeremy Cronin, maupun Chinua Achebe. Mereka masuk penjara karena terus menggunakan hak “untuk berbicara perihal kesukaran”.

Sensor sempat menghinggapi Nadine. Novel kedua Nadine, A World of Strangres, yang terbit pada tahun 1958 dilarang beredar selama 12 tahun. Novelnya yang lain, The Late Bourgeois World (terbit 1966) dilarang selama 10 tahun. Burger’s Daughter (terbit 1979) menjadi novel ketiga yang dilarang pemerintah Apartheid. Dalam simpatinya, Nadine mengisahkan ketegangan antara kulit putih dan non-putih yang hidup di bawah sistem itu.

Lewat teks yang ia tuliskan, Nadine berada dalam barisan yang membebaskan Afrika Selatan dari perbudakan rasial. Mungkin ia menulis bukan karena kebahagiaan, melainkan karena kewajiban—kewajiban kepada tanah yang telah memberinya hidup (kenyataannya, tidak selalu mudah mengakurkan tugas dan kebahagiaan). Namun Nadine berujar: “Sebelum setiap hukum yang memisahkan saya dari orang-orang kulit hitam dihilangkan, sebelum kami semua dilahirkan dan menjalani hidup kami di manapun dengan hak yang sama, dan dipimpin oleh kehendak bebas dari semua rakyat, tempat tinggal saya tidak akan mengenali saya.”

Tapi Nadine Gordimer niscaya bahagia bisa berpulang ketika negerinya telah terbebas dari Apartheid. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler