x

Iklan

Syiqqil Arofat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

James C. Scott: Politik Pencitraan

Judul : Domination and The Arts of Resistance: Hidden Transcripts Penulis : James C. Scott Penerbit : Yale University Press, 1990

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam mengungkap relasi kuasa antara kelas penguasa dan kelas subordinat, melalui bukunya “Domination and The Arts of Resistane: Hidden Transcripts”, James Scott, guru besar Ilmu Politik dan Antropologi di Universitas Yale, mengemukakan dua konsep tentang pola interaksi yang berbeda: Public Transcripts dan Hidden Transcripts. Tulisan ini akan mengulas salah satu karya James Scott tersebut terkait pola pencitraan dalam relasi dominasi dan resistensi.

Public Transcripts adalah pola interaksi, sikap, perilaku dan pencitraan yang  diproduksi oleh kalangan penguasa (baca: elite politik). Di ruang publik, kelas penguasa berupaya membangun legitimasi kekuasaan bahwa merekalah yang layak memimpin dan mengendalikan pola kehidupan yang akan dijalani bersama. Sementara kelas subordinat nampak menunjukkan kepatuhan kepada aturan-aturan, norma-norma dan kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh kelas penguasa. Diskursus dalam ruang publik cenderung dikendalikan oleh kelas dominan. Dominasi politik pun terbentuk.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun demikian, sebenarnya kelas penguasa tidak sepenuhnya mengendalikan kelas subordinat. Sebab, terdapat pola interaksi informal yang dibangun kelas subordinat di luar pengawasan kelas penguasa dan melatari terbentuknya resistensi, yang disebut James Scott sebagai Hidden Transcripts. Tidak hanya terjadi di antara kelas subordinat, kelas penguasa pun memiliki Hidden Transcripts-nyatersendiri. Dengan kata lain, kalau Public Transcripts terbentuk melalui kontestasi pencitraan yang muncul di ruang publik dalam membangun legitimasi politik, Hidden Transcripts bersirkulasi secara tersembunyi hanya bagi orang-orang terdekat dan terpercaya.

Legitimasi melalui Pencitraan

Dominasi kelas penguasa tidak terbentuk secara serentak, namun terus-menerus diperkuat, dipelihara dan ditingkatkan. Berbagai peristiwa dirancang untuk membangun dominasi diskursus yang melegitimasi kekuasaan. Legitimasi superioritas kelas penguasa sering dilakukan dalam aktivitas sehari-hari secara terus-menerus, seperti pengawasan dan bimbingan terhadap kelas subordinat. Tanpa adanya kelemahan yang ditampakkan oleh kelas penguasa, kekuasaan mereka terus berlangsung tanpa tantangan. Bahkan, ketika kelemahan  dan kesalahan kelas penguasa mengemuka di ruang publik, berbagai alasan dan argumen pun dicari dan dibangun untuk memperbaiki citranya.

Tak dapat dipungkiri, kelas subordinat memiliki berbagai kebutuhan dan kepentingan yang tidak sepenuhnya mampu mereka penuhi sendiri. Berdasarkan kondisi inilah, dengan beragam argumentasi, kelas penguasa mengklaim bahwa merekalah yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelas subordinat. Karena alasan itu pula kelas subordinat menerima dominasi yang dibangun oleh kelas penguasa. Namun, kelas subordinat tetap menyimpan harapan-harapan yang memungkinkan mereka melakukan pemberontakan dalam kondisi tertentu.

Dengan demikian, berbagai pola pembenaran dominasi, melalui berbagai pencitraan, yang dibangun kelas penguasa juga dapat menjadi boomerang. Kelas penguasa harus selalu menampakkan wibawa di hadapan subordinat sesuai dengan statusnya. Setiap sikap dan perilakunya tidak boleh menunjukkan kelemahan, yang akhirnya menjeratnya. Jika kelas penguasa melenceng dari stigma-stigma yang dibentuknya sendiri, maka akan menerima ejekan dan karenanya kekuasaannya melemah atau mengalami delegitimasi politik.

Kontestasi Politik

Ruang publik sering menampakkan keharmonisan sosial dan hampir tanpa gejolak. Tampilan luar itu mengelabuhi banyak orang bahwa sebenarnya terjadi konflik terselubung kelas subordinat yang tidak menyetujui dominasi kelas penguasa. Cara paling aman untuk menghancurkan dominasi adalah penyebaran citra buruk bagi elite politik tertentu. Dalam proses inilah resistensi subordinat dimulai dari pembentukan diskursus yang bertentangan dengan diskursus dominan. Diskursus terselubung ini disebut Scott sebagai infrapolitik kelas subordinat.

Dalam interaksi formal, kelas subordinat nampak lebih memilih kepatuhan terhadap aturan-aturan yang diterapkan oleh kelas dominan. Menurut Scott, kecenderungan patuh kelas subordinat pada dominasi kelas elite hanya dapat dipahami berdasarkan kondisi eksternal yang mengitari kehidupannya. Melalui berbagai pertimbangan dalam pengalamannya, kelas subordinat memilih patuh dan menghindari berbagai risiko yang dapat menimpanya. Namun, meski memilih patuh, kelas subordinat tetap mencari cara untuk menyalurkan kepentingan-kepentingannya, bahkan dengan memanfaatkan aturan-aturan atau janji-janji yang dibangun oleh kelas penguasa.

Selain itu, kelas penguasa selalu berupaya mencegah adanya resistensi dan terus memperbaharui pola dominasi. Pengawasan terhadap kelas subordinat terus ditingkatkan. Misalnya, kegiatan-kegiatan formal bersama para subordinat terus digalakkan untuk mengukuhkan pola hirarki, sementara relasi informal antarsubordinat dicegah untuk menghambat terjadinya resistensi. Keefektivan sistem dominasi itulah yang melemahkan resistensi subordinat dan seolah memaksa untuk patuh.

Dalam Public Transcripts, kelas subordinat memiliki pertimbangan dan alasannya tersendiri dalam menunjukkan kepatuhan terhadap kelas penguasa. Begitu pula kelas penguasa membutuhkan beragam bentuk pembenaran dan pencitraan untuk melegitimasi kekuasaanya sehingga dapat diterima oleh kalangan subordinat. Karenanya, melalui infrapolitik, selalu ada kemungkinan dan kontradiksi yang terjadi dalam intervensi Hidden Transcripts (relasi informal) terhadap Public Transcripts (relasi formal).

Konteks Indonesia: Pilpres 2014

Perebutan kursi kepresidenan antara dua kubu, Prabowo-Hatta vs Jokowi-JK, diwarnai oleh berbagai kemelut politis. Masing-masing kubu sama-sama mengklaim bahwa pihak merekalah yang pantas menahkodai perjalanan Indonesia ke depan. Kubu Prabowo-Hatta membangun citranya melalui misi persatuan dan kesatuan menuju Indonesia yang kuat dan berwibawa, selain banyak program lainnya. Begitu pula kubu Jokowi-JK menguatkan citranya melalui komitmen kerakyatan dan penyerapan aspirasi berbagai kalangan, selain banyak program lainnya.

Berbagai pencitraan tersebut memang wajar dilakukan para elite politik untuk merebut hati rakyat dan melegitimasi bahwa merekalah yang paling layak menjadi pemimpin bangsa. Dalam kondisi ini, kontestasi politik tidak hanya terjadi antara kelas penguasa dan kelas subordinat seperti yang diungkapkan James Scott, namun juga terjadi di antara para penguasa atau elite politik. Mereka berlomba-lomba membangun citra baik bagi kubunya sendiri dan melancarkan pencitraan buruk terhadap kubu pesaingnya. Kontestasi politik ini tidak hanya terjadi dalam Public Transcripts atau relasi formal seperti Debat Capres atau pemberitaan media massa, namun juga terjadi dalam Hidden Transcripts atau relasi informal seperti Black Campaign atau desas-desus yang dilancarkan oleh masing-masing kubu.

Sementara itu, sebagai kelas subordinat, rakyat memiliki posisi tawar untuk memberikan dukungan melalui hak suara mereka. Rakyat dituntut untuk menentukan pilihan dengan berbagai pertimbangan yang dimilikinya. Namun, seperti halnya kelas penguasa, rakyat bukanlah kelompok homogen; rakyat terdiri dari beragam aktor dengan identitas, latar dan kondisi yang berbeda. Setiap aktor cenderung memilih kubu yang dianggap mampu memenuhi kepentingannya. Kontestasi politik pun menjadi semakin ruwet.

Meski gencarnya legitimasi janji-janji politik oleh capres-cawapres, terpenuhinya kepentingan rakyat belum tentu terjamin. Sistem pemerintahan dengan hirarki struktural yang berlipat-lipat sangat mungkin hanya menguntungkan aktor-aktor yang dekat dengan kekuasaan. Mereka yang berada di lapisan bawah dalam kelas subordinat cenderung tidak akan mengalami perubahan signifikan dalam kehidupannya. Namun, apa boleh buat, pilihan kelas subordinat memang sangat terbatas; mereka terpaksa harus patuh pada sistem yang dilegitimasi oleh kelas dominan. Pencitraan akhirnya hanya menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan seraya menyembunyikan kelemahan dan keterbatasan untuk sepenuhnya berpihak pada rakyat miskin.

Ikuti tulisan menarik Syiqqil Arofat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB