x

Para aktivis melakukan aksi damai memperingati Hari Toleransi Internasional di Jakarta, Sabtu (16/11). Mereka menyerukan kepada masyarakat untuk menghormati segala perbedaaan, menghindari tindak kekerasan dan menghapus segala bentuk kecurigaan dan ke

Iklan

Bayu Saktiono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca Ulang Wacana Toleransi

tulisan ini adalah esai. deskripsi terhadap kasus dan analisis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia adalah negara yang didalamnya terdapat sejumlah ajaran agama yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Ajaran agama tersebut menduduki daerah-daerah dalam skala besar, maupun dalam skala kecil di lingkup pedesaan. Di negara ini, Ajaran agama yang diakui oleh pemerintah diantaranya ialah agama Islam, Kristen, Hindu, Budha.

Dari beberapa ajaran agama ini kemudian terbentuklah kelompok sosial masyarakat Indonesia. dalam kesempatan ini, saya akan mengartikan kelompok sosial itu sebagai perkumpulan antar individu yang mempunyai kesamaan tujuan serta mempunyai seperangkat aturan yang dianut.

Indonesia sebagai negara yang berazaskan demokrasi, tidak “memaksakan” setiap masyarakatnya dalam memilih kelompok sosial masyarakat tersebut. Namun pada bagian tertentu negara memasukan tanganya pada peraturan perundang-undangan untuk melindungi hak dasar warga negara tersebut. masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya, dalam menentukan kelompok sosialnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika ditelisih lebih jauh, kelompok sosial ini mempunyai kontribusi besar sebagai dasar pijakan pemerintah menentukan kebijakan negara. misalnya saja, untuk menghindari perselisihan, negara mencantumkan kebijakan itu dalam pancasila ayat pertama “ketuhanan yang Maha Esa”. Dalam kontek ini, negara menginginkan kelompok sosial tersebut untuk memperkuat persatuan, dan terwujudnya kesetaraan satu sama lain.

Dalam bentuk yang lain, negara menjamin kebebasan beragama itu dalam undang-undang dasar pasal 29 ayat 2 yang berbunyi; “ negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.

Sayangnya, seperangkat aturan tersebut belum sepenuhnya dapat mewujudkan persatuan dan kesetaraan antar kelompok sosial agama. Pada kenyataanya, hidup rukun, aman dan damai tidak bisa semata-mata bisa di ciptakan dari aturan-aturan. Mari sama- sama kita melihat ketika kekuasaan Soeharto runtuh pada 1998. Kebebasan demokrasi mulai berhembus dimasyarakat Indonesia. angin itulah yang kemudian membuat masyarakat semakin berani bertindak, sehingga banyak mengakibatkan konflik dalam ranah keagamaan. Misalnya saja, konflik penistaan agama, pelanggaran rumah ibadah, ataupun pelarangan ajaran agama.

Dalam dua-tiga tahun belakangan ini saja kita terus disibukkan dengan kasus-kasus berbaju agama, semisal penyerangan di Sleman Yogyakarta, kasus Syiah, Penyerangan FPI (Front Pembelela Islam) di beberbagai wiyalah dan lain sebagainya.

Rentetan konflik ini mengakibatkan kerugian terhadap kelompok sosial keagamaan yang bertikai untuk membela ajaranya. Sementara aturan-aturan yang telah di ciptakan negara tidak mampu membendung keadaan tersebut. Seringkali pertikaian yang terjadi mengakibatkan kerusakan terhadap tempat-tempat ibadah, ataupun terhadap individu-individu dalam kelompok itu. Selain itu, pertikaian yang terjadi seolah mengisyaratkan bahwa persoalan tentang hak asasi manusia belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat.

Seiring berjalanya keruntuhan rezim soeharto, konflik antar agama ini dibarengi dengan sebuah wacana tentang toleransi. Wacana ini digulirkan kehadapan publik untuk memperkuat pemahaman tentang kesetaraan, serta ingin mengurangi konflik yang terjadi. Orang-orang yang memahami betul bagaimana hak asasi manusia harus dikedepankan, begitu “getol” menyuarakan hal ini.

Ide Toleransi secara umum dapat diartikan sebagai tatanan kehidupan sosial yang adem ayem, pada masyarakat yang pluralis, tanpa adanya kesalahpahaman yang mengakibatkan perselisihan dalam bentuk apapun. Nampaknya ide ini, ingin memperbaiki kondisi sosial masyarakat agar menghargai serta memberikan hak yang sama tingginya dalam masyarakat yang plural.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, masyarakat indonesia begitu yang tergabung dalam organisasi massa, ataupun LSM begitu giat menyuarakan wacana toleransi. Publik seolah ingin diajak untuk mendalami arti pentingnya toleransi. Tentu saja, ini menjadi alat yang cemerlang untuk mengurai pertikaian yang terjadi.

Wacana toleransi itu menjelma menjadi sebuah wajah dalam jargon-jargon seperti “indonesia bukan negara agama, anti kekerasan, no discriminasion, dll ”. namun, dari kondisi ini patut diajukan sebuah pertanyaan yang penting untuk dikaji. seberapa besar masyarakat mampu mengaplikasikan toleransi itu dalam kehidupan lingkunganya? Dan kenapa, ketika toleransi itu sudah didengar oleh masyarakat luas, belum mampu mengurangi konflik antar kelompok sosial keagamaan?

Tentu saja pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bisa di kesampingkan dan ditinggal pergi. barangkali kita akan merasa senang saat mendengar bahwa hidup rukun dan saling menghargai perbedaan itu indah. dan barangkali juga, kita akan merasa resah ketika tidak ada yang bisa menjamin –bahkan undang-undangpun- hidup yang adem ayem, tanpa ada pelanggaran hak.

Menurut data yang dihimpun oleh wahid Institut, “Selama januari sampai Desember 2013, sejumlah pelanggaran atau toleransi yang ditemukan di Indonesia masih tinggi berjumlah 245 kasus atau peristiwa dimana 106 peristiwa (43%) melibatkan aktor negara dan 139 peristiwa (57%) oleh aktor non negara. sementara total jumlah tindakan adalah 280 dimana 121 tindakan (43%0 dilakukan oleh aktor negara dan 159 tindakan (57%0 oleh aktor non negara”

Dari data yang dihimpun oleh Wahid institut tersebut, “dari sebaran wilayah pelanggaran atau intoleransi oleh aktor negara ada 17 wilayah dimana Jawa Barat masih menempati posisi paling tinggi sebagai wilayah paling banyak kasus yakni 40 kasus, diikuti jawa Timur 19 kasus, Jawa Tengah 10 kasus dan jakarta 8 kasus”.

Ikuti tulisan menarik Bayu Saktiono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB