x

Iklan

Syiqqil Arofat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rimba Kuasa: Pray for Gaza

Fiksi tentang pertempuran di Gaza. Kelanjutan dari fiksi sebelumnya Rimba Kuasa: Petualangan Kancil

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah melakukan perjalanan panjang, Kancil berteduh di bawah pohon rindang seraya merenungi pembicaraannya kemarin dengan Rusa dan Zebra (baca kisah sebelumnya: ). Memang perbedaan pendapat tidak dapat dihindari. Setiap penghuni rimba memiliki cara pandang yang berbeda sesuai pengalaman dan keyakinannya masing-masing. Entah, bagaimana keyakinan itu muncul dan menguat masih menjadi pertanyaan besar: mungkinkah hanya berdasarkan informasi yang diterima atau ada unsur-unsur lain yang membuatnya lebih memercayai informasi tertentu?

Di sela-sela perenungan itu, tiba-tiba muncul segerombolan Kijang yang berlari tergesa-gesa. Kedatangan kawanan Kijang itu mengusik ketenangan Kancil. Namun, Kancil penasaran apa yang membuat mereka tergesa-gesa. Kancil pun beranjak dan menghadang mereka. "Stop, stop, hendak ke mana kalian? Kenapa terburu-buru?" teriak Kancil.

Kawanan Kijang berhenti, lalu Pemimpin Kijang menghampiri Kancil. "Ada kejadian heboh di rimba sebelah, tidakkah kau mendengar pengeboman Gaza yang menggugurkan banyak saudara kita di sana. Kami sedang menggalang dukungan, sebaiknya kau ikut kami ke puncak Gunung Keprihatinan," ungkap Pemimpin Kijang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Ya, aku mendengar kabar itu dari dedaunan meski hanya sekilas. Itu kejadian mengerikan. Namun aku penasaran untuk mengetahuinya lebih jauh. Baiklah aku akan ikut bersamamu," kata Kancil kepada Pemimpin Kijang.

Mereka pun bersama-sama berangkat menuju Gunung Keprihatinan. Setibanya di puncak gunung, Kancil melihat beragam penghuni rimba berkumpul di sana, seperti domba, serigala, kera, unta, dan banyak lagi penghuni yang tak kelihatan di kejauhan. Ternyata, kejadian ini benar-benar menggugah keprihatinan banyak penghuni rimba. Bahkan, terdengar bisikan dedaunan: sebagian penghuni bersiap menuju Rimba Palestin untuk membantu peperangan.

Menyadari banyaknya korban yang berjatuhan, tak heran dukungan untuk menghentikan perang mengalir dari berbagai kalangan. Namun, Kancil justru menjadi bingung dan berujar dalam hatinya: bagaimana mungkin dengan besarnya dukungan itu pertempuran tetap berlangsung? Apakah para pengebom itu tidak memiliki hati nurani sehingga tak peduli pada korban-korban yang bertebaran? Merasa lelah berdiri, Kancil keluar dari kerumunan dan mencari tempat berteduh.

Asumsi Mengerikan

Saat berteduh di bawah pohon, Kancil mendengar ranting di atasnya berderik. Tanpa disadarinya, ternyata Burung Elang bersengger di atasnya. "Hai Elang, apa yang kau lakukan di atas sana?" tanya Kancil.

"Seperti biasa, aku selalu memerhatikan peristiwa-peristiwa penting. Kau tahu kan reputasiku sebagai pemikir sosial dan politik!" ujar Elang sambil tersenyum.

"Maksudmu, reputasi yang kau klaim sendiri! Sini, buktikan kalau kau memang pemikir hebat, bagaimana kau memahami pertempuran di Gaza?" tantang Kancil.

"Oke, siapa takut! Apa yang ingin kau ketahui?" ujar Elang sambil turun mendekat di samping Kancil.

"Jelaskan padaku, kenapa pertempuran di rimba Gaza tidak dapat dihentikan?" tanya Kancil.

"Karena kedua pihak memang tidak mau menghentikan perang. Baik Israel maupun Palestina lebih memilih berperang daripada berdamai. Sudah jelas bukan!" jawab Elang dengan santai.

"Maksudku, apa alasan mereka tidak mau menghentikan perang? Apakah mereka tidak memiliki hati nurani sehingga tak peduli pada korban-korban yang berjatuhan?" tanya Kancil agak kesal.

"Yah, kau tahu kan, keduanya memiliki identitas yang berbeda baik dalam kepenghunian (baca: kewarganegaraan) atau pun keyakinan (baca: agama). Saat salah satu penghuni disakiti, maka penghuni lainnya akan marah dan menyerang kelompok penghuni yang dianggap telah menyakiti kawannya," ungkap Elang.

"Lalu, kenapa mereka tidak secara adil menghukum penghuni yang menyakiti, bukan malah membabi buta menyerang kelompoknya?" tanya Kancil tambah penasaran.

"Karena kelompok penghuni rimba juga melindungi anggotanya. Israel melindungi penghuninya. Begitu pula Palestina berupaya melindungi penghuninya. Itulah yang dimaksud dengan 'Gengsi Identitas'," ujar Elang sedikit memberikan penekanan pada ungkapan "Gengsi Identitas".

"Jadi, menurutmu, pertempuran ini termasuk konflik identitas, bukan perebutan wilayah?" tanya kancil.

"Apa bedanya? Toh perebutan wilayah Gaza juga didasarkan pada ego para pemimpin untuk menunjukkan siapa yang paling berhak, paling unggul, paling berkuasa dalam memberikan kedaulatan pada penghuninya, dengan menyingkirkan penghuni rimba lain. Ingat, identitas bukan hanya dalam keyakinan, tapi juga identitas kepenghunian. Kedua bentuk identitas itu telah melebur dalam propaganda politik, yang mengental dalam sejarah panjang konflik kedua rimba, sehingga tak dapat dibedakan lagi," Elang menjelaskan dengan panjang lebar.

"Lalu, bagaimana cara menyelesaikan konflik berkepanjangan ini?" tanya Kancil.

"Dengan cara diplomasi. Para pemimpin kedua pihak harus mampu meredam egonya dan duduk bersama untuk mencari jalan terbaik menyelesaikan konflik ini," ungkap Elang nampak optimis.

Namun, tiba-tiba terdengar suara Burung Gagak yang terbang mendekat, "Hahaha, kau hanya berilusi, Elang. Cara itu sudah lama dilakukan, tapi selalu gagal. Pertempuran itu akan terus berlangsung sampai semua pemimpinnya mati." Ternyata Gagak itu mendengar pembicaraan mereka dari pohon sebelah. "Aku punya pemahaman yang lebih canggih ketimbang punyamu," lanjut Gagak berlagak sombong.

"Kau tidak punya pengalaman luas sepertiku. Paling kau hanya akan mengemukakan khayalanmu," ujar Gagal dengan jengkel karena diejek.

"Oke, tenang! kita tidak sedang beradu argumen. Kita sedang berbagi pendapat. Kalau kau, Gagak, punya pemikiran berbeda, silahkan ungkapkan pada kami tanpa harus menyalahkan Elang!" ungkap Kancil berupaya menenangkan suasana.

"Baiklah, pernahkah kalian belajar teori konflik, tentang bagaimana permusuhan dijadikan alat untuk membangun kekuatan dan persatuan kelompok? Itulah yang terjadi di Gaza. Para pemimpin kedua pihak, baik Israel maupun Palestin, memang tidak menginginkan perdamaian, karena satu-satunya cara efektif untuk membangun kekuatan adalah melalui propaganda permusuhan. Omong kosong, kalau mereka dianggap bisa berdamai. Gugurnya anggota rimba memang justru dinggap positif dan efektif untuk membangun persatuan identitas kelompok secara emosional. Persatuan dan kekuatan itulah tujuan mereka," jelas Gagak dengan getir.

"Kau hanya berspekulasi tanpa bukti," ungkap Elang.

"Mungkin, tapi pemahaman itu sudah tidak asing bagi ahli strategi politik. Ingatkah kalian bagaimana raja pertama rimba ini mendengungkan "gayang rimba Malaysia" untuk memperkuat persatuan internal, atau akhir-akhir ini kerap terjadi black campaign yang menggunakan permusuhan identitas  untuk membangun militansi dukungaan. Itulah kenapa konflik ini menjadi sangat ruwet, tidak sesederhana yang Elang pikirkan," jelas Gagak coba meyakinkan.

"Kalau begitu, bagaimana cara menyelesaikannya?" tanya Kancil.

"Emmh, solusinya hanya satu: para pemimpin kedua pihak harus mampus semua. Namun, selalu ada kemungkinan digantikan pemimpin baru yang juga berpandangan sama, bahwa persatuan lebih utama daripada korban-korban yang dianggap pejuang keyakinan itu," ujar Gagak sangat pesimis.

"Ah, kau hanya berasumsi. Sebaiknya aku melanjutkan perjalanan ketimbang mendengar ocehanmu," kata Elang dengan sinis sambil terbang meninggalkan tempat itu.

Setelah Elang menjauh, Gagak melanjutkan penjelasannya, "Memang, apa yang aku kemukakan tadi nampak hanya sebagai asumsi, tapi tetap saja mengandung kemungkinan terjadi atau tidak. Apa lagi coba yang bisa menjelaskan kenapa upaya perdamaian selalu gagal?"

"Itu juga yang membuatku bingung. Kenapa selalu penghuni-penghuni lemah yang menjadi korban?" ungkap Kancil prihatin. "Hari sudah semakin gelap, sebaiknya kita kembali ke tempat hunian sebelum tiba waktu berbuka puasa," lanjut Kancil menutup pembahasan mereka tentang pertempuran Gaza.

"Hah, kau masih menjalankan ritual aneh itu, menyiksa diri untuk tidak makan dan minum!? Ternyata kau masih kolot," ujar Gagak dengan nada mengejek.

"Eh, kuperingatkan kamu ya! Jalan hidup itu pilihan. Setiap penghuni berhak menentukan cara hidupnya masing-masing. Aku punya pertimbangan dan kepercayaan sendiri dalam menjalani kehidupanku. Jangan sekali-kali kau mengejek pilihan yang berbeda, karena kau bisa menjadi pemicu konflik," ungkap Kancil agak kesal.

"Oke-oke, kita tak perlu ribut soal itu. Ayo, kita bubar!" Gagak pun terbang pergi.

Kemudian, Kancil beranjak pergi menuruni Gunung Keprihatinan. Dalam perjalanan, dia merenungi pembicaraannya dengan Elang dan Gagak. Dia tidak tahu pemikiran mana yang benar dan salah. Di satu sisi, asumsi-asumsi itu hanya berupa anggapan sementara. Tapi di sisi lain, asumsi-asumsi itu juga masuk akal. Atau mungkinkah ada pandangan lain yang mampu menjelaskan kenapa dan bagaimana pertempuran terjadi di Gaza. Yah, aneh memang, hidup itu nampak lucu sekaligus mengerikan.

Ramadhan: Membasmi Keegoisan

Dalam perjalanan, Kancil merasakan perutnya keroncongan. Ah, tinggal satu jam lagi waktu berbuka puasa. Mayoritas penghuni rimba ini juga menjalankan ritual yang sama. Yah, ini termasuk bulan istimewa bagi penghuni muslim. Anjuran untuk mengusir rasa kebencian dan permusuhan semakin gencar diserukan. Namun, masih tidak ada jaminan kalau permusuhan dapat dihilangkan di bulan ini.

Kancil teringat, sebentar lagi akan diselenggarakan pengumuman tentang raja rimba mendatang. Di masa kampanye sebelumnya, permusuhan antara kedua kubu memuncak. Keduanya berambisi memenangkan persaingan menjadi pemimpin rimba; tidak ada yang mau mengalah. Diprediksi pula, pengumuman nanti akan diwarnai kericuhan yang dilandasi oleh ego pengikut masing-masing kubu.

Entah, apa yang akan terjadi, semoga Ramadhan mampu meredam keegoisan penghuni rimba ini: yang kalah mengakui dan menerima kekalahannya, sementara yang menang tidak memanas-manasi atau menyombongkan diri. Semoga keegoisan mampu dibasmi baik di rimba ini maupun di rimba-rimba lainnya.

 

Bersambung..

Ikuti tulisan menarik Syiqqil Arofat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler