x

Iklan

Ibn Ghifarie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Momentum Menahan Diri

Sejatinya, kehadiran puasa di bulan ramadhan ini harus menjadi kawah candradimuka (madrasah ruhaniyah) yang dapat melahirkan peradaban Islam Nusantara berbasis keimanan yang kukuh dan tidak menciderai kemanusiaan dengan tidak melakukan perbuatan tak terpu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang digelar tanggal 9 Juli 2014 telah selesai. Uniknya, hasil quick count (hitung cepat) menunjukkan kedua pasang calon Presiden ini mengklaim dirinya memenangkan atas pesta demokrasi 5 tahunan yang dikhawatiran dapat menimbulkan konflik horizontal antarpendukung dan simpatisannya.

Padahal sebagai (calon) pemimpin bangsa lima tahun kedepan harus menjunjung tinggi prinsip siap kalah dan menang dalam kompetisi ini, seperti yang disepakati dalam Deklarasi Pemilu Berintegritas dan Damai. Ini menjadi ikhtiar nyata atas usaha partai politik, calon Presiden untuk menghapus budaya politik uang dan kekerasan selama Pemilu.     

Rupanya seruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap semua elit dan pendukung kedua pasangan calon presiden untuk menahan diri perlu kita dukung dan kawal secara bersama-sama sampai penetapan suara tanggal 22 Juli 2014. Hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi penengah atas perbedaan  hasil hitung cepat yang menjadi rujukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Masyarakat diminta tidak merayakan klaim kemenangan yang berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apalagi perilaku tak terpuji yang dicontohkan oleh para penguasa ini dilakukan pada saat ramadhan tiba. Seharusnya kita bisa mengendalikan diri sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan dengan tidak menciderai aspek kemanusiaan. Ingat, segala bentuk kejahatan berawal dari hawa nafsu dan tempatnya berada dalam indra, pikiran, dan kecerdasan.

Pesan Puasa

Sejatinya, kehadiran puasa di bulan ramadhan ini harus menjadi kawah candradimuka (madrasah ruhaniyah) yang dapat melahirkan peradaban Islam Nusantara berbasis keimanan yang kukuh dan tidak menciderai kemanusiaan dengan tidak melakukan perbuatan tak terpuji, kotor, lalim dan berdosa.

Pasalnya, puasa tidak hanya bersifat ritual personal (hablu minallah) semata, tetapi memberikan dimensi kemanusiaan (hablu minnas), mulai dari peduli terhadap fakir, miskin, gerakan perubahan sosial, solidaritas sampai kesinambungan ajaran agama-agama.

Menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Guru Besar UIN SGD Bandung menjelaskan puasa itu intinya akan melatih kita mengendalikan angan-angan dan khayalan. Pengendalian ini sangat sangat tidak mudah karena ia sering aktif tanpa disengaja. Tidaklah sembarangan puasa mampu memberikan tempat seperti itu.

Puasa Ramadhan dan puasa pada umumnya, adalah “pelengkap”, “penyempurna” usaha-usaha pada maqom sebelumnya (syahadat, shalat, zakat). Tujuan besar yang hendak dicapai dengan melaksanakan puasa Ramadhan ialah agar kita benar-benar dapat mengandalikan diri. Ini sungguh penting dalam kehidupan ini. Banyak kejadian yang sangat merugikan kita gara-gara kita kurang mampu mengendalikan diri.

Sebenarnya orang yang sungguh-sungguh mampu mengandalikan diri adalah mereka yang telah mencapai tingkat tinggi dalam penyucian diri. Agar puasa itu dapat memberikan dampak kemampuan pengendalian diri, puasa itu mesti ditunaikan dengan penuh kesabaran. (Prof. Dr. Ahmad Tafsir, 2012: 71&73)

Umat Islam menyakini orang yang berpuasa tidak boleh mempunyai pikiran jahat. Orang berpuasa harus menjaga hati dari sifat dengki, hasud, benci tanpa alasan yang dibenarkan syari dan dendam; menatap mata dari pandangan yang dilarang oleh agama.

Seperti pertunjukan yang merangsang hawa nafsu;  menjaga lidah dari perbuatan yang jorok, gibah, tidak mengadu domba (namimah). Jadi pada hakikatnya puasa sebagimana tersirat dalam makna kata dasar ash-shiyam, pengendalian diri (self control).

Bagi Nurcholish Madjid menahan diri menjadi inti ajaran puasa, ternyata merupakan masalah mendasar dan klasik dalam problematik kemanusiaan secara umum, bahkan pada zaman modern sekalipun. Masalah ketidakmampuan menahan diri, sebagaimana diilustrasikan Al-Quran, juga menjadi titik permulaan terjadinya drama kosmis (kejatuhan manusia) dari surga ke bumi ini.

Dalam idiom Al-Quran disebut drama al-hubûth dan dalam bahasa Inggris disebut doctrine of fall. Nabi Adam dan Hawa, sebagai simbol nenek moyang manusia, terbukti tidak mampu menahan dan mengendalikan dirinya dari godaan setan sehingga akhirnya mereka digelincirkan ke dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt.

Sumber segala potensi yang mendorong manusia melakukan pelanggaran adalah godaan berupa makan, minum, dan seks. Ketiga masalah itu disimbolisasikan dalam ajaran berpuasa sebagai hal-hal yang harus ditahan atau dinyatakan dapat membatalkan puasa, sebagaimana sudah menjadi kesepakatan para ulama fiqih.

Pada kenyataannya hampir seluruh masalah kemanusiaan yang ada sekarang pun terjadi akibat ketidakmampuan manusia menahan diri dari ketiga godaan tersebut. Sumber lain, kalau kita mau telusuri, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat yang memerintahkan berpuasa, adalah ketidakmampuan manusia menahan diri dari dorongan dan godaan harta.

Itulah sebabnya, barangkali, masalah puasa dikatakan sebagai masalah, gerakan back to basic. Sebab ini menyangkut masalah menahan dan mengendalikan diri dari potensi-potensi yang akan dapat menggelincirkan manusia pada kejatuhan moral dan spiritual. (Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid III, 2006:2780-2781).

Sikap Bersama

Dalam konteks menunggu hasil penghitungan manual yang akan ditetapkan pada tanggal 22 Juli 2014 oleh KPU sebagai usaha mewujudkan proses demokrasi yang berkeadilan dan beradab ini. Sudah saatnya kita berusaha mengendalikan diri dan bersabar sambil menunggu ketetapan KPU ini.  

Sungguh seruan Tokoh Lintas Agama agar pemerintah SBY selaku penyelenggara pemilu bersikap netral dan para peserta berjiwa ksatria perlu kita dukung secara bersama-sama demi menciptakan pemimpin yang sejati di Indonesia ini.

Kiranya, petuah Rasulullah tentang pentingnya menjaga (mengendalikan, menahan) diri saat shaum yang bertepatan dengan penentuan hasil Pemilihan Presiden ini perlu kita renungkan. “Barang siapa tidak mampu meninggalkan dengki (perkataan kotor) dan mengerjakannya, maka sesungguhnya Allah Swt. tidak memiliki kepentingan baginya untuk meninggalkan makanan dan minumannya; “Banyak orang berpuasa, tetapi dari puasanya ia tidak mendapatkan sesuatu, kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Dengan demikian, momentum menahan diri ini menjadi penting guna melahirkan pemimpin Indonesia yang menjunjung tinggi keadilan, kedamaian, taat terhadap hukum, penetapan dan keputusan KPU, bukan malah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan ini. Apalagi hanya mempercayai hasil penghitung cepat semata. Bukankah pada dasarnya kemenangan pesta demokrasi ini milik rakyat, bukan pribadi peserta Pilpres 2014?

 

IBN GHIFARIE, Pengeloa Laboratorium Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Ibn Ghifarie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler