x

Ilustrasi ibadah puasa. ANTARA/Fanny Octavianus

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cerita Ramadan dalam Keluarga Kami

Terlahir dalam keluarga campuran membuat kami terbiasa dengan perbedaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 Ramadhan hampir berakhir,tinggal sekian hari lagi usai sudah bulan yang selalu identik dengan julukan bulan penuh berkah ini.Dan diakhiri dengan momentum kemenangan di hari raya Idul Fitri.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ramadhan,ah yaa..mungkin bagi sebagian orang,ramadhan hanyalah sebuah siklus tahunan tahun hijriyah yang sudah terbiasa dan biasa dilewati dan dijalani.Tapi bagi saya,ramadhan adalah sesuatu.Sesuatu yang membuat saya banyak belajar sebagai seorang penganut Katolik.Ya,saya banyak belajar untuk menjadi seorang Katolik di bulan ramadhan.

 

Mungkin agak terdengar aneh ditelinga saat saya mengatakan saya banyak belajar menjadi seorang Katolik di bulan ramadhan.Tapi mungkin jika saya sedikit bercerita tentang keluarga saya,para sahabat akan mampu memahami mengapa saya berkata demikian.

 

Saya lahir di keluarga campuran,yaitu papah almarhum seorang penganut Konghucu sementara mamah seoranng muslim.Dan ini menjadikan kami terbiasa dengan perbedaan kepercayaan sejak kami kecil.Almarhum papah tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk menjadi seorang Konghucu seperti beliau pun muslim seperti mamah,papah membebaskan kami memilih kelak di kemudian hari,dan lebih memilih mengajari kami tentang makna kehidupan tanpa embel-embel agama apapun.Akan tetapi,papah tidak pernah melarang kami untuk mengikuti mamah menjadi seorang muslim,

" itu hak kalian sebagai manusia,kami orangtua hanya mampu menuntun,tapi jika kalian sudah bisa berjalan dengan kaki sendiri,kami hanya mampu mengawasi,karna itu hak kalian dengan yang meniupkan nafas kepada kalian,sesuatu yg diluar kuasa kami sebagai orangtua."

 

Itulah mungkin kenapa kami tidak pernah merasa terbebani dengan pilihan kami sekarang,karna memang sejak awal,kami diberikan hak untuk sesuatu yang sangat personal jauh dari area publik.Dan,karena kebebasan memilih itulah yang menyebabkan penghuni rumah kami memiliki jalan keyakinan sendiri-sendiri,mamah dan kedua saudara saya yang muslim,2 adik saya Kristen,sedang saya dan 3 saudara lainnya Katolik.Sedangkan kami sendiri masih cucu dalam bagi sebuah tze (marga) dari almarhum papah.Jadi bisa dibayangkan betapa ribetnya kami saat berhadapan dengan Imlek,Cheng Beng,Idul Fitri,Idul Adha,Paskah dan Natal.

 

Dan,ramadhan kemudian pun menjadi istimewa bagi kami,karena mamah dan kedua kakak saya adalah muslim,sementara sebagian besar dari kami adalah non muslim.Kami belajar bersabar lebih banyak lagi dan menahan ego kami justru di saat bulan ramadhan.Saat mamah sebagai kepala rumah tangga setelah papah almarhum,sedang menjalankan ibadah puasa.

 

Rumah menjadi lebih tenang karena masing-masing dari kami menghormati yang sedang menjalankan puasa,dan yang pastinya,makanan menjadi sesuatu yang sangat istimewa bagi kami selama ramadhan.Mamah yang biasanya bertindak sebagai master chef,sementara pensiun dari istananya,sebagai gantinya,anak-anaknya yang tidak berpuasa bergantian menguasai dapur.Ya,kami sudah terbiasa dengan dapur sejak kecil,dan tidak terbatas pada yang perempuan saja,mungkin karena memang sudah ada dalam darah kami sebagai keturunan Cina yang selalu identik dengan makan dan makanan kapanpun dimanapun hahahahahaha.

 

Dan,karena moment ramadhan inilah pada akhirnya kami yang tidak terbiasa masak,mau tidak mau turun ke dapur untuk memasak.Banyak cerita lucu pastinya,karna biar bagaimanapun yang namanya makanan tetap saja balik ke selera lidah masing-masing.Kami jadi tahu,jika engkoh kami yang paling tua yg masak,makanan cenderung terlalu matang dan agak manis rasanya.Sedang jika engkoh yang num 2 masak,rasa maskan cenderung tasty,kaya akan bumbu dan pastinya merica dan cabe nendang dimulut dan diperut,bisa dipastikan,mamah yang tidak terlalu menyukai pedas bakal marah-marah setelah sakit perut hahahahahaha.Dan begitulah pada akhirnya,masakan selalu kembali ke selera lidah si pemasak,jadi kami menikmati hasil dan rasa serta warna masakan yang berbeda tiap harinya,terkadang agak keasinan,terkadang bahkan hambar sama sekali,terkadang semua serba sayur,terkadang tanpa sayuran sama sekali.Dan hanya di bulan ramadhan inilah mamah membebaskan anak-anaknya berkreasi di dapur dengan kewajiban tidak boleh ada yang mengeluhkan makanan yang ada,semua harus ikut makan dan tidak boleh ada makanan yang terbuang.

 

Ketika kami kemudian besar dan mulai meninggalkan rumah untuk berkeluarga dan tinggal di kota yang berbeda,selalu saja ada rasa haru dan rindu dengan moment ramadhan yang sama yang tak mungkin kami ulang lagi.Bahwa ramadhan selalu mengingatkan saya arti sebuah keluarga dan berbagi,berbagi dengan konsep yang tidak terlalu muluk-muluk,cukup dengan keluarga dekat saja terlebih dahulu.Berbagi waktu,sejenak meluangkan waktu ekstra untuk keluarga tercinta,terutama mamah.Dan selalu mengingatkan saya,bahwa akan selalu ada ramdhan-ramadhan berikutnya dengan moment yang berbeda,entah dengan kesan seperti apa.

 

Ya,ramadhan memang hampir berakhir dengan hitungan hari,tapi cerita tentang ramadhan dan kesannya tak pernah beranjak dari hati kami.

 

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB