x

Iklan

Emanuel S Leuape Blonda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merayakan Ke(Bebas)an Pers dan Media Massa

Pers seharusnya bebas dari intervensi kepentingan yang tidak pro-masyarakat dan humanistis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 1898 koran-koran Amerika Serikat berhasil menciptakan opini publik yang positif ketika pecah perang dengan Spayol, berhasilnya propaganda Goebbels (pemimpin Departemen Propaganda pada zaman Nazi Hitler) Deutsch Uber Alles pada periode Perang Dunia II melalui media massa, efek instabilitas sosial warga Amerika Serikat atas pemberitaan kaleidoskop stasiun radio CBS di Amerika berjudul The Invansion From Mars pada tahun 1950-an, hadir sebagai serangakaian bukti betapa dahsyatnya kekuatan media terhadap khalayak publik. Bahkan kasus yang terakhir di atas menjadi background kelahiran  The Bullets Theory of Communication (Teori Peluru) oleh Wilbur Schramm yang secara gamblang menggambarkan kehebatan media massa dalam kapasitasnya mempengaruhi publik. Belakangan wacana kehebatan media ini ditolak dengan dalil sejumlah hasil penelitian yang dilakukan teoritis komunikasi lain, di antaranya Carl Hovland dengan konsep limited effect, Raymond Bauer dengan gagasan stubborn audience, dan lainya. Intinya, media massa tidak sehebat yang dibayangkan Schramm (belakangan ia sendiri menarik gagasannya tersebut) karena khalayak media massa merupakan individu atau kelompok yang aktif mencerna isi pesan media massa itu sendiri. Sehingga munculnya one step flow model of communication (model komunikasi satu tahap), two step flow model of communication (model komunikasi dua tahap), dan multi step flow model (model komunikasi tahap ganda) yang pada pokoknya mengklaim bagaimana pesan media massa secara tidak langsung dan bertahap mempengaruhi khalayaknya baik melalui proses psikis (perhatian dan persepsi selektif) ataupun fisiologis-interaksional berupa penyampaian pesan dari individu ke individu lainnya secara berjenjang.

Ketika terdapat sejumlah klaim negatif terhadap power media massa, tetapi dewasa ini kita tidak dapat menampik bahwa media massa masih menjadi satu institusi sosial andalan yang dimanfaatkan secara individual maupun organisasional dalam mempengaruhi khalayak publik. Keterandalan itu terwujud dalam efektivitas media massa yang dapat menjangkau sejumlah besar khalayak publik dalam konteks komunikasi massa. Media massa menyiarkan informasi, ide, gagasan, sikap, perilaku dan tindakan sebagai pesan kepada khalayak sasarannya yang beragam/heterogen, jumlah yang banyak, dan tersebar di pelbagai tempat. Karakteristik media massa yang publisitas dan perioditas ini tentu menjadikan pesan media menjangkau banyaknya khalayak umum dan mempengaruhinya secara berkesinambungan. Kendati sebelum dan sesudah banyak penelitian membuktikan limited effect media massa, toh media massa tetap menduduki posisinya yang integral sebagai sarana utama dalam komunikasi massa. Selama perang dunia II, media massa dimanfaatkan oleh masing-masing pihak partisipan perang dalam melancarkan propaganda perangnya. Adolf Hitler selaku pimpinan nazi juga memanfaatkan media massa berupa surat kabar, seperti V?lkischer Beobacther dan Der St?mer. Amerika Serikat pun tak ketinggalan dan bahkan dengan  membentuk secara khusus organisasi media massa untuk kepentingan perangnya, yaitu Office of War Information (OWI) dan Radio Voice of America (VOA), di samping pelbagai surat kabarnya. Tingginya intesitas pemanfaatan media massa selama masa perang dunia II juga nampak dalam penggunaan poster dan selebaran. Amerika populer dengan poster Paman Sam dengan tulisan “I Want You for US Army”, Jerman dengan poster bergambarkan Adolf Hitler dengan semboyan “Ein Volk, Ein Reich, Ein Fuhrer!”, Rusia pun menyebarkan posternya yang menggambarkan sosok seorang wanita baya Rusia, Poster tentara Jepang dengan tulisan “Rise of Asia” oleh Jepang, dan lainnya. Di Indonesia sendiri terutama pada era kebangkitan nasional sampai kepada puncak kemerdekaannya, kehadiran media massa berupa koran dan radio lebih pada orientasi politis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Koran era pemerintahan Hindia Belanda (sekarang Indonesia) Bataviaasch Niewsblad (1885-1957) berdiri sebagai corong kritik masyarakat Indonesia dan kalangan Indo-Belanda dalam menyoroti sistem pemerintahan Hindia Belanda kala itu. Selain itu, terdapat juga Soematra Courant, Makassarcsch Handelsbland, De Semarangsche Courant, dan sebagainya sebagai koran-koran lokal di zaman jajahan Belanda. Tahun 1944, kantor Berita Antara dikuasi Jepang dan digunakan sebagai sarana penyebarluasan propaganda Jepang (Nippon) melalui surat kabar Tjahaja. Kita juga melihat bagaimana media massa surat kabar dan radio di awal kemerdekaan Indonesia sangat berperan dalam publikasi proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta hingga ke pelosok-pelosok daerah. Lazimnya dari waktu ke waktu media massa moderen yang kian canggih berakibat kepada semakin efektivitasnya dampak keserempakan, keserentakan, dan keluasan ruang lingkup jangkauan aktivitas transmisi pesan-pesannya terlepas seberapa besar tingkat signifikannya dalam mempengaruhi khalayak. Efektivitas media massa ini sebagaimana dikatakan oleh Mashall Mc Luhan bahwa media is the extension of man (media adalah eksistensi manusia). Dengan kata lain, media adalah perpanjangan dan perluasan dari kemampuan jasmani dan rohani manusia.

Merujuk pada tingkat fungsional media massa dalam pertumbuhan dan perkembangannya maka wacana keberpihakan media massa pada satu bentuk kepentingan tertentu berlangsung dengan sangat potensial. Sebelum tulisan ini dibuat dan dipublikasikan, sudah terdapat begitu banyak artikel/tulisan maupu diskusi, dialog, dan seminar yang diselanggarakan dengan agenda pokok keberpihakan media. Tentunya, hal yang dikritisi adalah bagaimana media massa menjalankan tugas dan fungsinya sejalan dengan ideologi yang dianutinya dan berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan secara sahih. Perlu diingat bahwa, corak media massa sejalan dengan ideologi dan sistem pemerintahnya. John C. Merill dan Ralp L. Lowenstein dalam studinya menyatakan bahwa media massa pada umumnya tunduk kepada sistem pers yang berlaku, sementara sistem pers itu sendiri mengikuti sistem politik yang ada. Sehingga karakteristik atau pola aktivitas yang dijalankan oleh media massa sesungguhnya mencerminkan sistem politik pemerintah negaranya. Fred Siebert, Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson dalam karya Four Theories of The Press (1963) mengemukakan setidaknya ada empat kelompok besar Teori Sistem Pers, yaitu: sistem pers otoriter (authoritarian), sistem pers liberal (libertarian), sistem pers komunis (marxist), dan sistem pers tanggungjawab sosial (social responsibility). Berada di dua awal periode pemerintahan  Indonesia, sistem pers kita dibayang-bayangi oleh sistem pers otoriter yang nampak dalam ketatnya sistem kontrol terhadap pers yang menjalankan tugas dan fungsinya. Maklum tatanan politik yang dibentuk selama periode-periode pemerintahan itu adalah keseimbangan, harmoni, dan keserasian. Sehingga pers dan media massa sebagai agen yang sangat berpotensi membawa satu bentuk perubahan sosial atau bahkan distabilitas roda pemerintahan seintensif mungkin dikontrol dan malahan cenderung diagendakan demi kepentingan  politis individu atau golongan tertentu. Hal ini nampak ironis, karena sejatinya bangsa dan negara Indonesia yang berideologi Pancasila dan berpedoman UUD 1945 justruh sangat kontadiksi  dengan sikap dan tindakan nyata pemerintah masa itu. Pencabutan SIUPP dan pemberendelan media massa menjadi satu kultus yang telah dilegitimasi pemerintah. Pasca era reformasi, sistem pers kita kembali in rule sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945, yaitu sistem pers tanggungjawab sosial. Artinya, pers dan media massa punya kebebasan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sejauh demi kepentingan sosial masyarakat Indonesia, baik ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dalam konsep ini, keberpihakan media semestinya pada orientasi kepentingan publik masyarakat Indonesia dan karena tidak diperdebatakan karena realitas ideal tersebut merupakan konsensus dan cita-cita bersama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara garis besar sistem pers Indonesia dapat dikategorikan dalam 3 era jika merunut pada aspek perannya. Pertama, pers dan media massanya sebagai wadah perjuangan kemerdekaan Indonesia atau disebut pers perjuangan. Semenjak berdirinya pemerintahan Hindia Belanda, era Kebangkitan Nasional, sampai pada masa kemerdekaan Indonesia, media massa menjadi corong perjuangan para pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia. Media massa dimanfaatkan membangkitkan kesadaran kolektif  guna membangun rasa kebersamaan dan persatuan melawan penjajah. Oleh karena publisitas media massa yang cukup tinggi sehingga tak heran jika media massa menjadi satu institusi strategis yang diincar oleh pihak penjajah. Sistem pers “Babak Putih” (1744-1854) yang mana surat kabar mutlak dimiliki orang-orang Nederland yang menggunakan bahasa Belanda dan dibaca oleh pembaca yang mampu berbahasa Belanda. Era “Politik Etis” yang berlangsung antara tahun 1854 sampai era Kebangkitan Nasional yang mana kemenangan kaum Liberal di Belanda berdampak pada kelonggaran sistem pers di Indonesia kala itu. Selanjutnya, mulailah bermunculan pelbagai surat kabar yang diprakarsai oleh orang Indonesia atau kaum Indo-Belanda/Indo-Tionghoa yang lebih berorientasi politis pada kebangkitan kesadaran nasional dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Demikian pun pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1944, kantor Berita Antara segera dikuasi dan dijadikan media propaganda Nippon. Hingga pada akhirnya media massa itu pula yang menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pada era inilah kredibilitas dan profesionalismenya diakui dan dipercaya oleh masyarakat Indonesia karena perannya yang sangat intens dan sudah seharusnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga kini. Kedua, pers dan media massanya sebagai alat pihak pemerintah atau disebut era “keburaman media”. Ini berlangsung sepanjang periode pemerintahan Orde Lama-Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru-Otoriter. Jelas di sini tatanan politik dalam periode-periode pemerintahan saat itu sangat mempengaruhi tugas dan fungsi media. Ketakutan akan dampak media massa yang dapat menimbulkan perubahan sosial atau distabilitas nasional pemerintahan, maka sistem pers sudah semesti dikontrol dan bahkan diarahkan demi kepentingan pihak pemerintah. Dalam artian media massa tidak seharusnya mengekspos kebenaran-kebenaran yang dapat mengguncang sendi-sendi kekuasaan pemerintah. Multipartai merupakan salah satu tatanan politik pemerintah Orde Lama yang mana jumlah partai politik yang dibentuk dan berdiri sangat signifikan. Sejak tahun 1950, partai-partai politik tersebut bahkan memiliki surat kabar masing-masing. Masjumi mempunyai Harian Abadi, PNI memiliki Suluh Indonesia, NU diwakili oleh Duta Masyarakat, PKI dengan Harian Rakyatnya, dan PSI membentuk Harian Pedoman. Sayangnya, media-media tersebut dimanfaatkan sebagai senjata untuk saling menyerang lawan politik. Antara tahun 1955-1958, pemerintahan Soekarno mulai mengambil langkah pengontrolan terhadap kebebasan pers dan media massanya dengan memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT). Puncaknya segera setelah Dekrit Presiden tangal 5 Juli 1959, maka dibuat pelbagai macam aturan yang pada intinya sangat mengekang kebebasan pers dan media massa. Roda pemerintahan Indonesia pun bergulir dari Orde Lama ke Orde Baru pimpinan Soeharto dan hal itu turut berdampak pada kebebasan sistem pers Indonesia. Pers Indonesia kembali menikmati kebebasannya, tetapi bukan kebebasan dalam ukuran kebebasan pers Liberal, melainkan bebas bertanggungjawab personal, sosial, dan nasional. Semula relasi pers dan pemerintahan Orde Baru berlangsung alot karena Soeharto memberikan keluasan terhadap pers terutama kepada pers yang antikomunis dan Soekarno. Hubungan ini baru mulai renggang di era tahun 1970-an yang mencapai puncaknya pada Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974. Setelah pristiwa itu, wajah asli pemerintahan Orde Baru terlihat jelas yang ditandai dengan upaya pengontrolan secara ketak terhadap pers dan media massanya, di antaranya: diberlakukannya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tahun 1984 dan pembekuan terhadap SIUPP 3 media besar, yaitu: Tempo, Editor, dan Detik. Boleh dikatakan intensitas dan frekuensi pembungkaman pers era Orde Baru lebih tinggi ketimbang era Orde Lama sendiri. Namun, setidaknya ada pola yang sama dalam realitas kebebasan pers di kedua era pemerintahan ini, yakni “Kebebasan Pers Ala Gelang Karet”-meminjam istilah Nurudin dalam menggambarkan fenomena kebebasan pers Orde Baru dalam Artikelnya di Wawasan, 8 Februari 1995. Kalau diinterpretasi secara lebih jauh berarti kebebasan pers dan media massanya wajib sejalan dengan kepentingan pemerintah sekalipun kepentingan tersebut tidak pro-rakyat. Kebebasannya tersebut sejauh pers dan media massa mendukung kemauan dan kehendak pemerintah. Pada tahapan ini, masyarakat kita sungguh menyayangkan realitas demikian karena bagaimana pun juga media massa adalah ranah publik dan menjadi milik publik sehingga sudah semestinya terbebas dari belenggu kontrol ataupun intervensi pihak luar. Karena hal demikian tentunya dapat mendistorsi tugas dan tanggungjawab media massa dalam menghadirkan potret realitas yang benar adanya. Dalam hal ini, problemasitas kebebasan pers dan media massa bersumber pada intervensi pihak luar, yakni pemerintah berkuasa dengan kekuatan legitimasi dan hegemoni kekuasaannya. Ketiga, pers dan media massa dalam kapasitasnya yang sangat liberalis dan pragmatis. Ini menjadi ciri khas pers dan media massa kita dewasa ini yang satu sisi tumbuh dan berkembang pesat terutama pada aspek teknis medianya, tetapi di lain sisi justruh dikeluhkan oleh kalangan masyarakat luas sebab kualitas pesan media massa itu sendiri yang cenderung tidak mendidik dan berdampak destruktif. Memang benar pers dan media massa seharusnya independen dan bahkan sangat pragmatis dalam artian difungsikan untuk maksud dan tujuan tertentu. Tetapi persoalannya adalah tidak ada jaminan paten bahwa pers dan media massa dapat sunguh-sungguh berjalan di dalam rel ideologi dan pedomannya.

Era reformasi merupakan titik kulminasi kebebasan pers dan media massanya. Yang terjadi selanjutnya bahwa kebebasan pers dan media massa pasca kejatuhan Orde Baru mengarah kepada trial by the press. Dalam beberapa kasus, pemberitaan yang berkisar pada Soeharto dan kroni-kroninya pernah masuk dalam kategori ini. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kebebasan media sebelumnya yang dibungkam kemudian mengalami transformasi ke arah kebebasan penuh dan di saat-saat itulah pers dan media massa mengekspresikan kebebasan secara total. Boleh dikatakan pers dan media massanya ibarat “kuda lepas dari kandangnya”. Tatanan politik yang masih labil kala itu menyita perhatian para penyelenggara negara untuk fokus mengontrol kebebasan pers dan media massanya. Baru setelah badai revolusi itu pun berlalu, maka upaya menata kembali kebebasan pers dan media massa kembali dilakukan pemerintah.

Pada era Habibie (pasca 21 Mei 1998), pemerintah menganggap SIUPP bukanlah zamannya lagi dan sangat “memperkosa HAM”. Maka SIUPP pun dicabut pemerintah. Ini juga bagian dari upaya dilakukan oleh kalangan pers sendiri. Kemudian Depertemen Penerangan (Deppen) dihapus pada era pemerintahan Gus Dur dan ini menjadi langka positif pemerintah untuk mulai menganulir kebebasan pers dan media massa. Melalui Kepres No.153/1999 dibentuk Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) yang juga kembali menuai kontroversi karena dinilai sebagai “Deppen Gaya Baru”. Akhirnya, pada era Megawati Soekarnoputri, DPR mengesahkan RUU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 (untuk mengganti UU No. 24 Tahun 1997) maka mulai berdiri Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI dan Dewan Pers hadir sebagai regulator pers dan media massa di Indonesia yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Kendati ada regulatornya, pers dan media massa lebih banyak menikmati kebebasannya daripada masa-masa sebelumnya. Jika pada masa-masa kemarin pers dan media massa senantiasa dibayang-bayangi intervensi pemerintah, maka kini tatanan sistem informasi dan komunikasi Indonesia dikondisikan lebih longgar. Kehadiran regulator tidak lebih hanya sebagai koordinator dan pengawas agar pers dan media massanya berjalan in rule  seturut ideologi dan pedoman yang dilekatkan kepadanya bahwa sistem pers Indonesia menganut ideologi sistem pers Pancasila dan berpedoman pada UUD 1945 yang notabene berorientasi pada kepentingan masyarakat Indonesia karenanya mengandung makna tanggungjawab sosial.

Pasang surut independensi pers dan media massa tidak lagi menjadi satu isu sosial tetapi telah mengarah pada satu masalah sosial yang gencar diperdebatkan, terutama oleh para intelektual dan kritikus pers dan media massa. Bahkan negara maju sekelas Amerika Serikat pun tak luput dari problem independensi pers dan media massanya. Entah apa motifnya yang jelas pers dan media massa dalam nuansa kebebasannya secara mandiri menentukan pola tugas dan tanggungjawab.Tak dapat pula disangkal sebagian besar pers dan media massa kini telah diresapi semacam logika kapitalisme yang mengkondisikan pers dan media massa masuk dalam proses industrialisasi. Ketika pers dan media massa terjerembab dalam proses industrialisasi maka ada dua kepentingan yang mau tak mau harus dikejar, yaitu: 1) Kepentingan ekonomis. Bukan rahasia lagi bahwa biaya yang dianggarkan untuk menyelenggarakan kegiatan pers bernilai cukup mahal. Di era kebebasan pers, semakin banyak media massa tumbuh dan berkembang. Kondisi ini tentu melahirkan persaingan yang cukup ketat antarmedia massa dan orientasinya jelas mengarah kepada profit/laba perusahaan. Realitas ini terutama nampak pada media massa swasta yang dana operasionalnya sangat bergantung kepada kegiatan publisitasnya, yakni rating dan iklan. Di Indonesia, setidaknya ada 12 kelompok besar kepemilikan media, yaitu: MC/MNC milik Harry Tanoesoedibjo, Jawa Pos milik Dahlan Iskan, Kompas Gramedia milik Jacob Oetama, Mahaka Media  milik Erik Thobis, Elang Mahkota Teknologi milik keluarga Sariaatmadja, CT Group milik Chaerul Tanjung, Visi Media Asia milik kelompok Bakrie, Media Group milik Surya Paloh, MRA Media milik keluarga Soentowo, Femina milik Pia Alisjahbana, Tempo Inti Media milik Yayasan Tempo, dan Berita Satu Media Holding milik Lippo Group. Sayangnya, obsesi mengejar keuntungan kemudian mengalahkan urgensi profesionalitas ideal media massa itu sendiri. Ini terutama menjadi gambaran utama media penyiaran Televisi nasional kita. Karena teknologi jangakaunnya yang luas makan TV lebih publitas ketimbang media massa cetak yang teritorial sifatnya. Sebutkan saja, Trans Tv, FTV, dan Global TV  yang terus-menerus mendapat rapor merah dari KPI  oleh karena tayangannya yang tidak edukatif. Bahkan bentuk pelanggaran yang berulang kali terjadi menjadi semacam rekor khusus untuk media massa tertentu yang hanya semata mengejar rating dan profit. Tidak hanya sinetron, talk show, reality show, atau lain sebagainya, tetapi juga iklan-iklan/sponsor yang juga menjadi sumber pendapatan utama media massa tidak lebih hanya merupakan kontrusksi citra sensasional belaka. Pada bagian ini, aspek sensional menjadi aspek kunci dalam mengarahkan attention selective  khalayak. Masyarakat Indonesia berada di bawah kukungan nilai dan norma kesopanan, keramah-tamahan, solidaritas, dan sebagainya akan sangat peka bahkan berpotensi meniru sensasi seksisme, erotisme, kevulgaran, kekerasan, kriminalitas, dan sadisme yang ditampilkan media. Dalam soal prioritas rating tayangan, maka yang hanya difokuskan oleh media massa adalah cukup perhatian selektif khalayak untuk tidak berpindah ke chanel lain, tetapi sekaligus mengabaikan dampak lanjutan berupa efek behaviorial dari sensasi seksisme dan kekerasan yang ditampilkan. Tingginya angka perilaku seksual pada anak dan remaja, bentuk-bentuk pelecahan seksual di lingkungan publik, pemerkosaan, dan tindakan kriminalitas seksual lainnya tidak kurang adalah dampak tayangan media massa. Tahun 2012, siswa SDN Cinere, Depok, Jawa Barat harus merenggang nyawa ditangan teman sebayanya yang motifnya diketahui merupakan bentuk peniruan tayangan kekerasan TV (Tempo.com, 5/5/2012). Komnas HAM Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan tindak kekerasan anak selama tahun 2014 (Januari-April) sebanyak 8 kasus belum termasuk kasus tewasnya Renggo Khadafi (11), siswa kelas V SDN di Jakarta Timur yang tewas setelah dianiaya oleh kakak kelasnya (Tempo.com, 30/7/2014). Penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM dari tahun 2006 hingga akhir 2009, terungkap sebanyak 68% tayangan di 13 stasiun TV mengandung kekerasan (BeritaSATU.com, 15/4/2012). Ini tentu menjadi persoalan bangsa dan terus berlangsung secara signifikan jika media massa tidak dapat memproyeksi dan mengantisipasinya. Jika media menampik media massa bukan menjadi faktor tunggal dalam mempengaruhi khalayak, maka boleh dikatakan tetap saja media massa lebih menimbulkan efek domino secara meluas kendati tidak mendalam. Bahkan ciri khas media massa yang menampilkan terpaan pesan yang berulang-ulang (Multiplier of Message) maka tidak juga menutup kemungkinan efeknya menembus dasar perilaku khalayak. Tetapi menjadi dilematis ketika media massa harus bersaing satu sama lain ketika mereka diharapkan mengurangi rekayasa aspek sensional pesan. Demikian pun soal iklan/sponsor yang menjadi sumber laba utama perusahaan-perusahaan media massa. Tak jauh berbeda, iklan/sponsor pun tetap menghadirkan aspek sensasional sebagai daya pikat. Iklan-iklan yang menampilkan segi sensasional negatif, di antaranya: iklan AXE versi Angel, iklan Segar Sari Susu versi Jupe, Iklan On Clinic, yang masif menghadirkan dimensi seksisme dan erotisme yang dapat digolongkan pornografi dan pornoaksi. Iklan sebagai hasil konstruksi realitas semu tentang konsep dan makna ideal hidup, perlahan menjerumuskan khalayak dalam tingkat konsumerisme hidup yang tinggi. Bahwa konsumsi tidak dijalankan berdasarkan tingkat kebutuhan, tetapi lebih pada konsumsi berlandaskan keinginan guna mencapai kepuasan simbolis semata. Pelbagai wujud aspek sensasional yang cenderung negatif dan destruktif ini buntutnya bermuara pada proses kultivasi dan pembelajaran sosial. Ketika khalayak diterpa oleh pesan siaran secara berulang kali (multiplier of message) maka ada tingkat kepercayaan khalayak atas realitas semu yang ditampilkan media massa sebagai satu realitas riil dan karenanya diikuti adanya proses peneladanan oleh khalayak. Sekalipun demikian, hal ini tetap menjadi persoalan dilematis karena merupakan bagian usaha media massa untuk tetap mengejar in put perusahaan ditengah-tengah persaingannya yang ketat dengan banyaknya kehadiran perusahaan media yang lain. Malahan mereka akan bangkrut jika tidak memberi ruang lebih pada sponsor untuk menghadirkan iklan-iklan yang kendati menyimpang dari idealnya pesan media massa. Baik media massa maupun sponsor iklan sama-sama melakukan persaingan sengit terhadap sesamanya lewat sensasi pesan yang dipublikasikan terlepas dari apakah menyimpang atau tidak, toh mereka lebih memprioritaskan profit demi kelangsungan hidupnya masing-masing. Ada simbiosis mutualisme ketika mereka bekerja sama demi mendapatkan keuntungannya masing-masing apapun bentuk kemasan pesannya dan efeknya. Aturan kompetisi secara sehat menjadi terpatahkan oleh obsesi keuntungan ekonomis. Inilah logika kapitalisme yang merasuki media-media massa kita sehingga profesionalitas mereka luntur seketika dan kenyataan mengkondisikan media massa sangat liberalis. Singkat kata, apapun caranya media massa tetap mengutamakan keuntungan ekonomis demi kelangsungan dan perkembangan perusahaannya sendiri. Sangat wajar sekali karena rating dan iklan/sponsor menjadi bahan bakar perusahaan media massa, tetapi juga kurang ajar mereka harus mengorbankan khalayak. 2) Kepentingan Politis.Wacana kepentingan politik dalam media massa kita telah menjadi satu kultus dewasa ini. Kita tahu sendiri bahwa sedemikian kompleks dan rumitnya kepentingan media dalam politik atau sebaliknya kepentingan politik terhadap media itu sendiri. Pilpres Indonesia 2014 mungkin menjadi contoh paling nyata bagaimana media punya keterkaitan dengan kepentingan politik. Pertanyaannya kepentingan politik yang mana? Jelas untuk kepentingan publik Indonesia untuk perihal mengetahui kehidupan politik negaranya. Hanya saja yang dipersoalkan adalah bagaimana media itu berproses dalam pemberitaannya. Masalah proses itu terkait bagaimana bentuk cover both side dan objektivitas/relevansitas media. Dalam masa kampaye Pilpres Indonesia 2014, keberpihakan media massa menjadi sangat lumrah dan menjadi isu sosial yang diperguncingkan oleh tiap kalangan masyarakat. Demikian lumrah juga kita tahu bahwa latarbelakang keberpihakan media secara tidak langsug mencerminkan keberpihakan politik para pemiliknya atau memang sudah dibayar sedemikian mahalnya sebagai corong propaganda kepentingan politik dan ini menjadi realitas media yang terang dibaca masyarakat yang tahu dan paham duduk persoalannya. Ketika pers dan media massa kita hanya berperan sebagai saluran komunikasi politik, maka hal yang ditakutkan adalah tidak adanya proses gatekeeping terhadap pesan-pesan politik yang disampaikan oleh karena tawaran keuntungan ekonomis yang sangat besar oleh individu atau kelompok sumber informasi pesan. Sebaliknya, jika pers dan media massa berperan sebagai agen komunikasi politik maka ada proses agenda setting function oleh karena tekanan otoritas struktural dalam kepemilikan media massa.   

Di luar realitas media dan politik jelang Pilpres Indonesia 2014, patut juga kita mengkaji lebih jauh bahwa keberpihakan media juga merupakan satu bentuk oposisi biner. Ketika kelompok media tertentu tetap mempertahankan objektivitas pemberitaan politik, maka sekelompok yang lain dengan alasan politik atau ekonomi melakukan pengenceran (dumbing down) realitas politik dalam publisitasnya. Maka jelas, ada dua kutup yang oleh khalayak dianggap sebagai bentuk keberpihakan. Ini terutama bagi publik yang memang menjadikan media sebagai standar kebenaran utama dalam membentuk persepsi, sikap, perilaku/tindakan politiknya karena mereka sulit membedakan objektivitas pemberitaan jikalau tidak ada kesatuan dalam pemberitaan. Ini sangat berkaitan dengan prinsip profesionalisme media dalam hal objektivitas kebenarann yang disampaikan kepada publik. Sehingga, terlalu prematur kita mengadili keberpihakan media tanpa betul-betul tahu realitas riil kebenaran yang disampaikan. Mungkin ini juga yang terjadi pada media massa kita yang dinilai tidak independen. Prinsip objektivitas lantas menjadi tolok ukur bahwa ini memang pantas diberitakan dan yang lainnya tidak karena hasil rekayasa. Tetapi kiranya kita semua sepakat bahwa pembacaan ini terlalu idealis dan berlebihan dalam membaca realitas keberpihakan media kita karena relevansi yang sangat minim. Dalam masa kampaye dan pasca Pilpres Indonesia 2014 pun perihal pencitraan positif pada figur tertentu guna menggiring opini khalayak terjadi secara jelas dan nyata. Objektivitas media mencakup positif maupun negatif sehingga prioritas pada salah satu aspek saja maka itu merupakan bentuk keberpihakan baik dalam kepentingan mendukung ataupun menjatuhkan. Kehadiran figur Prabowo-Hatta yang didukung media-media massa di bawah MC/MNC dan Visi Media Asia. Sebaliknya, figur Jokowi-JK yang diidolakan media-media massa yang bernaung di bawah Media Group. Penonjolan sisi positif entah riil atau rekayasa tetap diwacanakan secara dominan guna mendulang simpati masyarakat. Ini bisa dilihat mulai dari proses penggunaan simbol/bahasa politik, proses pengemasan pesan (framing) sampai kepada penentuan dan pelaksanaan agenda setting function. Dampaknya adalah masyarakat mengambil sikap dan tindakan politik tidak hanya berdasarkan informasi yang tidak objektif, tetapi juga hanya secara parsial kendati objektif sekalipun.

Jika dikatakan pers dan media massa sangat pragmatis dan fungsional maka itu jadi klaim yang sudah sewajarnya karena dalam peranannya sebagai alat/sarana. Yang menentukan adalah alat itu dimanfaatkan dalam konteks apa dan untuk kepentingan siapa. Pers dan media massa dalam sistem pemerintahan komunis tentu berbeda dalam konteks pemeritahan demokrasi. Pers dan media massa setidaknya punya dua nuansa kepentingan, yaitu: 1) Pers Katarsis ditandai ketika pers dan media massa berperan sebagai sumber informasi bagi masyarakat. Itu artinya juga kandungan pesannya pun sudah seharusnya diarahkan demi kepentingan masyarakatnya dalam fungsi informatif, edukatif, persuasif, dan hiburan. Tetapi tentu ada batasan-batasannya yang intinya bersifat membangun dan meningkatan humanitas atau sisi kemanusiaan khalayak dan bukan untuk menghancurkannya. 2) Pers Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai alat pemerintah dalam konteks komunikasi politik pemerintah-masyarakat. Itu pun berkaitan betul dengan kepentingan masyarakat luas dan bukan hanya individu atau kelompok tertentu. Seturut ideologi Pancasila dan UUD 1945, maka pers dan media massa kita mengambil bagian secara seimbang antara kepentingan komunikasi politik pemerintah dan kepentingan pembangunan humanitas masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah ada pers dan media massa kita menistakan kedua kepentingan ini sama sekali hanya karena ada kepentingan ekonomis kepemilikan media massa itu sendiri dan kepentingan politik personal pemilik media. Bersinggungan dengan perihal kepentingan ekonomis maka kita juga tidak sering menyatakan kekesalan dan keprihatian kita pada bentuk publisitas media yang negatif dan destruktif, tetapi di satu sisi menjadi sumber pendapatan bagi mereka. Jika mengharapkan independensi media dari nilai kapitalisme, maka sejauh mana juga kita memberikan solusi agar mereka tetap bertahan dalam persaingan ketat dengan media lainnya. Di samping faktor orientasi ekonomis pada keberpihakan dalam kegiatan politik, banyak kalangan juga menyayangkan keberpihakan media sebagai dampak tidak langsung dari keberpihakan pemiliknya. Proses pemberlakuan aturan dan sanksi juga terkesan “malu-malu kucing” karena sengaja membutakan perhatian bahwa realitas keberpihakan media massa bukan menjadi kesalahan awak medianya tetapi struktur organisasi yang mengkondisikan kekuasaan mutlak ada ditangan pemiliknya. Shock theraphy sanksi yang diberikan juga dinilai gagal total karena toh kesalahan yang sama tetap berulang dan berkesinambungan dilakonkan media massa. Pihak regulator juga tidak diberi wewenangan secara komprehensif sehingga juga terkesan tidak tegas dan totalitas dalam meregulasikan sistem komunikasi dan menjatuhkan sanksi pelanggaran. Yang terjadi selama ini adalah sanksi diberikan secara parsial dan temporal yang mana mungkin efek jera dan kesadaran yang diharapkan dapat timbul dengan tidak mengulangi kesalahan lagi. Idealnya dalam pers dan media massa itu sendiri ada self cencorship yang sangat erat hubungan dengan prinsip objektivitas dan cover both side. Tapi itu menjadi niscaya karena pelbagai kepentingan di dalamnya. Bahkan kontrol regulasi pun tak berdaya dihadapan kebebasan pers dan media kita.

  Sebagai masyarakat Indonesia, kita semua punya kepedulian terhadap independensi media dan memperjuangkannya. Jika sedari dulu media kita dimanfaatkan untuk perjuangan dan diintervensi demi kepentingan politik pemerintah berkuasa, maka fenomena media massa kini adalah mereka bergerak dalam kebebasannya secara mandiri untuk tetap sesuka hati menentukan apa yang menjadi pola pemberitaannya demi keuntungan ekonomis dan kepemilikannya. Pers dan media massa merayakan kebebasannya dalam jaring hukum dan aturan yang tumpul karena ada serangkaian kepentingan. Satu sisi tatanan politik dapat mempengaruhi pers dan media massa, tetapi di saat tertentu ada hegemoni yang sedemikian kuat bagaimana pers dan media massa berproses dalam menimbulkan perubahan iklim politik dan tatanan politik yang ada. Boleh jadi, relasi kausal demikian dipakai sebagai peluang untuk saling menjaga dan melegitimasi kepentingan masing-masingnya. Bahkan media massa dibentuk hanya untuk kepentingan politis oleh individu atau kelompok tertentu. Ini pernah menjadi lembaran sejarah pers dan media massa kita awal kemerdekaan, tetapi dalam konteks kebebasan yang cenderung liberalis dewasa ini, maka pola sejarah yang sama muncul secara signifikan secara kuantitas maupun kualitas kentalnya kepentingannya. Inilah satu keniscayaan harapan masyarakat bebasnya pers dari kepentingan-kepentingan tertentu. Sesungguhnya ini merupakan satu pekerjaan besar agar media betul-betul independen dalam tugas dan tanggungjawabnya. Dikatakan pekerjaan besar karena persoalan utama tidak dapat disolusikan semata-mata pada pers dan media massa, tetapi juga ada persoalan lainnya yang mengikutinya. Pers dan media massa tidak berjalan dalam satu subsistem mandiri, tetapi ia terkoneksi dengan subsistem lainnya sebagai satu sistem hingga proses saling mempengaruhi sangat kental dalam kerja fungsional sistem tersebut. Hal ini sejalan dengan inti dialetika Hegel dalam buku “Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme” (1999) oleh Frans Magnis Suseno, menegaskan bahwa tidak ada bidang-bidang realitas atau pengetahuan yang berdiri secara sendiri-sendiri, tetapi berkaitan satu sama lainnya dalam kepentingan pembenaran atau penyangkalan. Sehingga sesuatu dikatakan benar jika dilihat sebagai satu kesatuan yang integral. Realitas de facto sistem pemerintahan kita masih jauh harapan idealnya. Mengubah satu subsistem memang akan mempengaruhi subsistem lainnya, tetapi pola kerja manusia sebagai motor penggerak subsistem itu akan selalu berupaya mencari celah bagaimana menyesuaikan diri sehingga pola sistem lama tetap dapat berfungsi dan dipertahankan. Inilah sebenarnya gambaran umum bagaimana pers dan media massa kita selalu merayakan kebebasannya mandiri di tengah harapan masyarakat bahwa pers seharusnya bebas dari intervensi kepentingan yang tidak pro-masyarakat dan humanistis. Bukan maksud pencitraan, tetapi benar yang ditegaskan berulang kali oleh  Prabowo Subianto bahwa Indoensia butuh kerja besar untuk perubahan besar.

Ikuti tulisan menarik Emanuel S Leuape Blonda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler