x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

A Most Wanted Man: Dongeng Le Carré tentang Terduga Teroris

Karya John le Carré pasca serangan ke WTC 11 September 2001

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul Buku: A Most Wanted Man

Penulis: John le Carré

Penerbit: Noura Books

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Edisi: I, Juli 2014

Tebal Buku: 457 hlm

Begitu terbaca nama John le Carré, saya langsung mengambil A Most Wanted Man dari rak buku toko. Nama ini terkoneksi langsung dengan The Spy Who Came in from the Cold, sebuah masterpiece dalam fiksi spionase dan difilmkan dengan bintang Richard Burton, dan Tinker Tailor Soldier Spy--novel pertama dari Karla Trilogy. A Most Wanted Man versi terjemahan baru saja dipublikasi oleh penerbit Noura Books (Juli 2014, dengan sampul poster film adaptasinya)—saya tentu saja berharap dapat membaca dongengan le Carré yang tetap sedap seperti aslinya yang terbit enam tahun silam.

Kisah dibuka oleh anak muda keturunan Turki, petinju, yang selalu dikuntit oleh anak muda kerempeng yang ternyata berdarah Chechnya-Rusia, bekas tahanan, dan tiba secara ilegal di Jerman. Ia terlihat miskin, tapi mengaku menyimpan keberuntungan di sebuah bank swasta dan ingin bersekolah di Jerman. Mula-mula pemuda Turki itu curiga, kesal, namun akhirnya ia iba dan ibunya menampung anak muda kurus kering bernama Issa itu di rumah mereka--sebuah pilihan yang berisiko di tengah kecurigaan penguasa terhadap segala yang asing.

Dari situlah le Carré memulai cerita, konflik, dan ketegangan hasil ramuan tema kontemporer: perang terhadap teror, pencucian uang, dan konflik kepentingan di antara berbagai individu dan kelompok. Hamburg dipilih le Carré sebagai latar cerita lantaran di kota inilah Mohamed Atta dan beberapa kawannya tinggal sebelum serangan 11 September 2001 ke WTC, New York. Boleh jadi, ini juga fiksi pertama setelah peristiwa itu yang mengangkat tema ‘perang terhadap teror’—istilah yang digunakan oleh Bush, Jr untuk apa saja yang dipandangnya sebagai ancaman terhadap negara AS.

Keterlibatan intelijen Rusia, Inggris, Jerman, dan AS yang dibayangi oleh sentimen Islamophobia menciptakan kompleksitas sekaligus absurditas: betapa dunia global ini diatur oleh sekelompok orang yang picik oleh kepentingan sendiri. Novel ini menjadi sarana kritik le Carré terhadap kebijakan intelijen AS di era Bush-Cheney—terutama terkait moralitas kekuasaan.

Mereka, orang-orang yang bekerja dari balik tirai itu, mencurigai anak muda kerempeng  yang mengaku mengalami siksaan orang-orang Rusia itu sebagai bagian dari jaringan teroris. Gunther Bachmann, seorang agen Jerman, berusaha memanfaatkan Issa dengan harapan dapat mengantarkannya kepada apa yang ia duga inti organisasi teroris.

Dalam menulis kisah ini, Le Carré terilhami oleh kisah nyata Murat Kurnaz—warga Turki dan pemukim legal di Jerman yang kemudian mengalami nasib buruk. Kurnaz mula-mula ditahan di Pakistan pada tahun 2001, lalu dipenjara dan mengaku disiksa di kamp tahanan militer Amerika—mula-mula di Kandahar, Afghanistan, lalu di Guantanamo, Kuba. Ia akhirnya dilepas tujuh tahun kemudian. Penahanan Kurnaz terbukti tanpa dasar dan ia telah ‘diteroriskan’ oleh pikiran-pikiran jahat.

A Most Wanted Man menggambarkan dunia suram di mana kejelasan ideologi, moralitas, patriotisme, tanggung jawab profesional, maupun loyalitas pribadi larut ke dalam kekaburan dan menjadikan tokoh-tokohnya mencari-cari semacam landasan untuk hidup dan bertindak. Le Carré mengeksploitasi kelemahan watak manusia di dalam jebakan pertarungan berbagai kepentingan: internal organsisasi maupun persaingan individu. Ia mengajak kita menikmati ketegangan batiniah di antara gertakan dan intimidasi. Juga ancaman.

Dalam A Most Wanted Man, orang-orang yang terjun dalam konflik tak ubahnya pejudi yang memegang kartu di depan dada mereka, tapi menyembunyikan pikiran dan emosi mereka dalam-dalam. A Most Wanted Man fokus pada motif dan niat—pendekatan yang kuat ala Le Carré, yang memetik pengalaman berarti dari tugasnya di dinas intelijen Inggris sebagai David John Moore Cornwell.***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu