x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rasisme Belum Mati

Protes berhari-hari berlangsung di berbagai kota Amerika menyusul tertembaknya pemuda berkulit hitam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"I believe in human beings, and that all human beings should be respected as such, regardless of their color."

--Malcolm X

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudahkah rasisme berakhir dan tinggal cerita yang didongengkan oleh para pengisah sejarah dan penulis fiksi seperti dalam novel John Grisham, A Time to Kill? Barangkali belum. Di Ferguson, Missouri, AS, seorang pemuda 18 tahun yang tak bersenjata ditembak oleh polisi, Sabtu, 9 Agustus lalu.

Beberapa letupan, menurut para saksi, menyalak dari senjata api polisi kendati pemuda itu telah mengangkat tangan dan menghadapkan wajahnya ke polisi. “Aku tak bersenjata! Aku tak bersenjata!” teriaknya hendak menyerahkan diri. Anak muda itupun meregang nyawa. Jasadnya dibiarkan tengkurap di tengah jalan di musim panas Agustus hingga empat jam setelah penembakan.

Mengapa ia ditembak dan bagaimana ia sampai ditembak, orang masih berselisih. Anak muda itu disebut-sebut diduga telah menodong di sebuah toko, walau polisi kemudian mengakui bahwa anak muda itu ditegur karena melenggang di tengah jalan. Betapa sering penyebab sebuah kejadian disusun kemudian agar masuk akal. Di usianya yang 18, anak muda itu tak punya catatan kriminal, baru saja lulus SMA dan dua hari setelah kematiannya ia mestinya mulai belajar di Vatterott College. 

Namun soalnya Michael Brown, nama pemuda itu, berkulit hitam dan si polisi berkulit putih—entahlah apakah polisi akan melepas 6 kali tembakan bila Brown berkulit putih. Inilah yang membikin cerita jadi berbeda: kerusuhan meletus di Missouri, bahkan berlangsung hingga Minggu (17 Agustus) dinihari. Di puluhan kota berlangsung aksi protes.

“Tak ada keadilan, tak ada jam malam, tak ada kedamaian!” teriak warga yang berunjuk rasa seakan menumpahkan apa yang lama terpendam dalam-dalam di dada mereka. Kematian Brown telah membuka luka-luka yang dirasakan oleh mayoritas warga berkulit hitam di negara yang menyebut diri ‘kampiun demokrasi’.

Di manapun rasisme berakar pada keyakinan bahwa ras tertentu lebih unggul ketimbang ras lain—sebuah ideologi yang memiliki sejarah panjang dan telah maujud dalam gerakan Nazi, Ku Klux Klan, dan Apartheid untuk menyebut beberapa. Kematian naas Brown adalah bukti bahwa sebuah ideologi tidak mudah ditumpas hanya karena selubung baru dikenakan.

Ia yang tampak hilang di permukaan oleh pelukan demokrasi sesungguhnya tak ubahnya api dalam sekam. Tatkala kepolisian, pemerintahan kota, pimpinan sekolah-sekolah didominasi kaum putih kendati mayoritas warga Ferguson berkulit hitam, sementara penjara-penjara dipenuhi warga hitam, asap dalam sekam tinggal menunggu penyulut untuk jadi api.

Kematian Brown tidak hanya menandai bahwa rasisme bukan mitos, tapi bagian dari sejarah Amerika yang masih berjalan hingga hari ini. Bahkan, mungkin masih membentuk sejarah masa depan negara ini. "Rasisme telah menjadi bagian Amerika sejak awal-mulanya," ujar Ta-Nehisi Coates, penulis untuk The Atlantic. Rasisme bukan sekedar ‘orang kulit putih lebih bermakna ketimbang orang kulit hitam’, kata Coates, ‘tapi merupakan unsur struktural kunci bagi bangsa dan masyarakat kita.’ (sbr foto: businessinsider.com/AP)***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler