x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Riak Batin Holden Caulfield

Sisi paradoks Holden Caulfield mencerminkan diri manusia kini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada banyak kenangan yang berlintasan dalam diri Holden Caulfield malam itu, beberapa jam sebelum perayaan Natal tiba. Kita tentu masih ingat sekilas di antaranya, yang dituturkan begitu lugas oleh penulis JD Salinger dalam novel tersohor, The Catcher in the Rye. Tapi ,orang-orang pada kisahan itu, berikut peristiwa demi peristiwa yang menyertainya, barangkali tak selamanya mewujud sebagai kenangan. Mereka mungkin cerminan dari manusia kini dengan aneka kelindan konflik psikologis: kegelisahan eksistensi, frustrasi akibat ketaksesuaian harapan dan kenyataan, bias identitas sebagai diri yang personal serta sosial, juga lain sebagainya.

Holden Caulfield mengungkapkan semua sisi ambigu dari beragam karakter manusia. Pengalamannya mengembara dalam semalam di New York itu terasa dekat dengan kenangan-kenangan masa silam, yang satu sama lain membangun nilai paradoks dari hidup manusia. Misalnya, kesan berbangga sosok ibu di kereta pada prestasi putranya, seketika dipatahkan oleh narasi pesimistis Holden bahwa pencapaian akademis tak lain merupakan rekayasa institusi pendidikan yang haus citraan. Atau bagaimana dua suster Katolik begitu tekun mengabdikan iman dalam kerja sosial, di saat bersamaan, harus berusaha menghidupi diri seadanya dari sumbangan masyarakat. Begitu juga dengan curangnya seorang mucikari yang merampas uang si tokoh utama untuk jasa prostitusi yang tak pernah dilakukannya, bersisian dengan kasih murni dua bersaudara Caulfield pada beberapa bab selanjutnya.

Lewat penuturan si tokoh tunggal yang berusia enam belas tahun, kita mendengarkan lantunan pikiran tentang tabiat manusia yang penuh kepura-puraan. Kita mencium aroma busuk kehidupan. Semuanya didedahkan begitu saja, seolah kita habis percaya pada ketulusan berbagi atau nilai-nilai kemanusiaan yang murni. Beberapa orang yang membaca buku ini pun seketika mengidentikan sebagai si tokoh utama: merasa dizolimi oleh ketidakadilan, muak akan hal munafik, dan yang terakhir, yakin telah terpilih dan terpanggil untuk melakukan perubahan—kendati melalui tindakan kekerasan sebagaimana David Chapman sang penembak John Lennon, J. Warnock Hinckley Jr. yang mencoba membunuh Renald Reagan, atau sekian jumlah anak muda yang apatis dan menamatkan hidupnya sehingga membuat buku ini sempat dilarang peredarannya di Amerika Serikat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, Holden Caulfield mungkin bukanlah tokoh yang betul-betul antisosial. Justru sebaliknya, ia adalah seorang yang sangat berempati terhadap sekitarnya, tecermin dari betapa kuatnya kenangan terhadap kawan-kawan masa silam: sang saudara yang tiada (Allie), ungkapan peduli pada kawan sekolah, ataupun orang-orang lainnya. Ia punya jiwa sosial dan rasa berbagi, terbukti dari rasa tergerak membantu para suster Katolik, serta haru luar biasa tatkala berjumpa adik perempuannya yang lugu, Phoebe. Hanya saja Holden tak bisa mengekspresikan kepeduliannya itu. Ketidakberdayaan mengelola kenangan buruk membikinnya hilang cara dalam berkomunikasi guna menyampaikan perasaan maupun kegelisahannya—hal yang membuatnya jadi tertutup, serta giliran berikutnya: apatis akut. Lain dari itu, ia justru seorang yang amat cerdas, mampu menguraikan segala hal, termasuk menganalisa sekian kemunafikan dengan argumentasi yang terasa logis. Namun, kecerdasannya justru menjadi tidak logis saat rasa bersalahnya tidak bekerja dan sikap skeptis-apatis itu mendominasi batinnya.

Agaknya inilah satu-satunya kekurangan dari Holden, dan barangkali sebagian besar dari kita. Pada bukunya, Anxiety, Ricky Immanuel mengingatkan betapa pentingnya untuk berani mengaktualisasikan diri setiap waktu. Kecemasan, ungkapan ketakutan serta kegelisahan haruslah disadari tanda-tandanya untuk kemudian ditangani. Dalam proses inilah, bagi mereka yang mampu berdamai dengan dirinya sendiri, dengan segala kemelut pikirannya ataupun aneka kelindan persoalan batinnya, akan menemukan pencerahannya tersendiri.

Meskipun Holden dituturkan sebagai anak muda belia, novel ini sebenarnya tidak melulu ditujukan bagi remaja. Ia sekaligus refleksi bagi siapa saja, dalam berbagai latar usia. Holden mengingatkan kita, bahwa semua manusia dapat diidiomkan sebagai ‘seekor kuda liar’ dalam kekangan, seperti tergambar pada ilustrasi sampul novel edisi pertamanya. Di kehidupan nyata kita, kekangan itu adalah norma sosial, aturan masyarakat, atau bahkan pengharapan yang terlampau idealistis. Bila kuda liar hanya menurutkan hati, melawan dan bertarung dengan kekangan, sama artinya menyakiti diri. Seperti kutipan percakapan Holden dengan sang guru yang peduli: “Seseorang tidak hidup untuk diri pribadi saja. Ia harus hidup demi nilai luhurnya, yakni sebagai manusia yang mencintai sesama manusia….Dan kita tetap butuh orang lain guna memahami pribadi manusia yang sangat unik itu.”

Itulah sebab mengapa Holden bisa dibaca sebagai karakter cerminan kritik sosial. Novel ini sendiri ditulis sekitar tahun 1950an, pasca perang dunia kedua yang membawa Amerika Serikat ke dalam rasa kepercayaan diri yang kuat, sekaligus rapuh. Kuat karena negeri ini tampil sebagai pemenang, dan rapuh sebab masyarakatnya diuji dalam aneka dilema sosial yang rawan. Konsep keluarga inti ala Amerika Serikat yang ideal begitu dominan dicitrakan kala itu (dicirikan oleh harmonisnya hubungan orangtua dan anak), berhadapan dengan kenyataan psikologis anak muda yang hendak menemu kebebasannya, seperti dicirikan tumbuhnya gerakan hippies beberapa tahun kemudian. Tak jarang kebebasan mereka berbenturan dengan norma sosial, yang oleh sebagian besar generasi tua dianggap sebagai ‘kemerdekaan yang kebablasan’.

Holden Caulfield pun merepresentasikan hal tersebut. Ia jauh berjarak dengan ayah-ibunya. Terpaksa mengikuti aturan dalam keluarga, namun berkali-kali melawannya lewat cara drop-out dari sekolah. Kisah-kisah lain yang ditulis pada sekitar tahun itu, A Clockwork Orange dari Anthony Burgess, Dead Poet Society yang belakangan difilmkan bersama aktor Robin Williams tersebut adalah beberapa contoh karya yang terpengaruh dari latar sosial serupa ini. Karakter dalam cerita mereka adalah anak-anak muda yang merasa teralienasi oleh lingkungan, bahkan oleh keluarganya sendiri, mewujud menjadi pemberontakan-pemberontakan heroik yang menarik dicermati.

Setelah lama dilarang, The Catcher in the Rye dinobatkan sebagai salah satu dari 100 novel terbaik sepanjang masa versi Majalah Time. Karya JD Salinger ini memang kaya dan menampilkan sisi psikologis nan dalam. Ia elok dengan gaya tutur lugas serta isi bahasan tajam menusuk. Ia menelanjangi kita dari segala sisi buruk. Tapi, bagaimanapun, ketika membacanya—termasuk buku apapun itu—haruslah bekerja pula sikap kritis kita. Agar yang terketemukan adalah nilai unggul yang positif. Membaca buku itu ibarat memegang sebilah pisau. Bila benar menggenggam gagang, ia bisa digunakan untuk hal-hal yang baik. Namun, jika sebaliknya, ia akan membikin diri berdarah nyeri.

 

(Sumber foto: news.bbc.co.uk)

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler