x

Iklan

Ipul Gassing

Pemilik blog daenggassing.com yang senang menulis apa saja. Penikmat pantai yang hobi memotret dan rajin menggambar
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teman Dari Dunia Lain

Anda percaya kalau di sekitar kita ada mahluk dari dunia lain? Saya percaya, apalagi ketika kita menghabiskan malam di alam terbuka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jarum jam sudah melewati angka 12 malam, suasana benar-benar sepi. Bulan menjelang purnama menyiramkan cahayanya, membuat malam yang sepi di Kampung Berua terasa misterius. Cahaya bulan membuat hamparan sawah bekas panen di depan kami terlihat remang-remang tersiram cahaya kekuningan. Di belakang sana deretan bukit batu dan pepohonan tergambar samar-samar. Angin malam berhembus malas membawa aroma yang tak biasa. Aroma alam, aroma tanah yang basah selepas hujan.

Di antara tenda kami berempat duduk berbagi cerita. Ada saya, Tika dan Adnan serta Rama. Empat teman yang lain menyusuri gelapnya malam menuju rumah penduduk terdekat untuk numpang buang air kecil di toilet.

Kami masih asyik bercerita ketika tiba-tiba terdengar suara seperti seorang perempuan yang tertawa terkikik. Suaranya sangat keras sampai-sampai kami berempat terkesiap. Tika yang memang punya kadar ketakutan lebih tinggi langsung merapatkan badannya ke Adnan pacarnya. Saya hanya diam terkesiap, darah terasa mengalir lebih cepat. Jelas sekali suara tadi bukan suara orang biasa, ada aura berbeda dari suara ketawa tadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Bukan apa-apa, itu paling suara orang di rumah sana yang ketawa.” Kata Rama sambil menunjuk satu rumah yang jaraknya saya taksir lebih dari 200 meter dari tempat kami duduk.

“Iyya, paling juga suara yang punya rumah.” Saya menimpali meski terus terang dalam hati saya tidak yakin sama kata-kata saya sendiri.

Di antara kami Rama memang paling sensitif dengan hal-hal supranatural. Dia juga punya sixth sense, bisa melihat penampakan mahluk dari dunia lain. Saya tahu kalimatnya tadi hanya untuk menenangkan kami, utamanya Tika yang saya kira langsung shock.

Malam kemudian berlanjut tanpa kejadian berarti. Kami melanjutkan cerita seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi meski terus terang kejadian tadi membuat saya terus siaga. Jelas kami tidak sendirian di alam terbuka ini.

Ketika akhirnya kami semua masuk ke tenda dan mencoba tidur, bayangan suara tawa yang begitu keras tadi mulai menghilang. Malam itu saya tidak bisa tidur, beberapa bulan ini jam tubuh saya memang tidak normal. Saya baru bisa tidur kala matahari mulai bangun. Jadilah selama di dalam tenda saya terus mencoba tidur sambil berputar ke sana-ke mari.

Di antara usaha tidur itu saya bisa mendengar jelas suara langkah kaki di luar, rumput dan dedaunan berbunyi seperti terinjak. “Mungkin binatang, babi hutan atau anjing.” Kata saya dalam hati. Saya memikirkan nasib makanan yang kami bawa dan kami biarkan tergeletak begitu saja di luar sana.

Kalau awalnya saya berpikir suara tadi adalah suara binatang maka lama-lama saya mulai mengubah pikiran. Kadang-kadang kita bisa merasakan momen ketika ada seseorang yang berdiri di sekitar kita tanpa kita sadari. Nah, momen itu yang saya rasakan malam itu. Rasanya seperti ada orang yang berdiri di luar sana, aura kehadirannya benar-benar terasa. Saya berusaha keras mensugesti diri sendiri kalau itu adalah salah satu dari kami yang mungkin kelaparan atau mau buang air kecil. Dalam hati saya terus berusaha menumbuhkan sugesti itu meski sebenarnya saya tidak percaya 100%.

Saya akhirnya menyerah, sampai pukul 3 subuh saya tidak bisa memejamkan mata. Entah karena juga tidak bisa tidur atau karena kelaparan, Ical teman setenda bangun dan keluar. Disusul kemudian dengan Iqko yang sebelumnya tertidur dengan suara ngorok yang keras. Jelas dia keluar tenda bukan karena tidak bisa tidur, rupanya dia mau buang air kecil. Saya mengikut di belakangnya dan berhenti di bibir tenda ketika dia terkesiap dan secara refleks meremas lengan saya.

“Itu siapa? Siapa yang jongkok di sana?” Tanyanya. Saya mencoba melihat ke arah yang sama, menajamkan pandangan untuk melihat suasana di malam yang makin gelap karena bulan mulai bersembunyi di punggung bukit.

“Ah tidak ada siapa-siapa, itu cuma semak-semak.” Kata saya menenangkan. Saya tahu saya bohong karena ketika itu jelas sekali saya melihat siluet tubuh serupa orang yang berjongkok. Semak-semak rasanya tidak mungkin menampakkan siluet senyata itu.

*****

Ketika pagi menjelang dan matahari mulai bangun dengan sinar keemasannya yang hangat, kami mengobrolkan semua kejadian malam itu. Rama dengan kemampuan metafisiknya bercerita kalau sebenarnya ketika kami baru datang di kampung itu dia sudah melihat beberapa penghuni kampung itu yang mengawasi kami. Penghuni yang dia maksud tentu saja bukan manusia atau mahluk lain dalam bentuk yang kasar.

Suara tawa keras tengah malam tadi juga diyakininya sebagai suara tawa kuntilanak atau semacamnya, yang jelas bukan suara tawa manusia. Rasanya mustahil manusia bisa tertawa sekeras itu, tertawa keras sampai terbawa angin dari jarak 200an meter. Insting saya juga benar, ketika sulit tertidur di dalam tenda saya seperti merasa ada seseorang atau mahluk lain yang mendekati tenda kami. Rama membenarkannya, dia bilang memang ada seseorang (atau sesuatu?) yang mendekati tenda-tenda kami ketika kami semua sudah ada di dalam tenda. Rama bahkan mendengar dengan jelas suara nafas yang memburu dan bahkan melihat bayangan mahluk tersebut dari semak belukar lebat di belakang tenda kami.

Dari dulu saya memang percaya kalau tempat-tempat terbuka dan terpencil seperti Kampung Berua yang kami datangi memang jadi habitat mahluk lain yang lebih halus dari kita. Bukan sekali dua kali saya mendengar cerita mistis para pendaki, tentang bagaimana mereka merasakan kehadiran mahluk dari dunia lain itu atau bahkan melihatnya langsung dengan mata kepala sendiri. Saya percaya mereka ada di sekitar kita, bahkan sesungguhnya merekalah penghuni tempat-tempat itu. Kita manusia hanya datang berkunjung.

Karena itu saya juga selalu percaya ketika mendatangi tempat seperti itu jangan pernah merasa diri sebagai yang terhebat. Jangan pernah takabur dan meremehkan alam serta para penghuninya. Sebagai tamu saya berusaha menghormati penghuni tempat itu. Kalau kita tidak takabur dan kajili-jili (grasa-grusu) maka saya yakin mereka juga tidak akan mengganggu. Benar kan?

Bagaimana dengan Anda? Pernah punya pengalaman seperti saya? [dG] 

Ikuti tulisan menarik Ipul Gassing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler