x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Rasisme: Dari Uncle Tom’s Cabin Hingga A Time to Kill

Fiksi menyingkapkan kebenaran yang dikaburkan oleh realitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Fiction is like a spider's web, attached ever so lightly perhaps, 

but still attached to life at all four corners.” 

--Virginia Woolf

 

Apakah fiksi terpisah dari kenyataan—mungkin ya, untuk sebagian. Tapi penulis fiksi punya perannya sendiri, yakni mencatat apa yang oleh sejarawan tidak dituliskan. Imajinasi, empati, dan keyakinan penulisnya telah menjadikan fiksi mampu menghidupkan kenyataan yang diam. Seperti kata Ralp Waldo Emerson: “Fiksi menyingkapkan kebenaran yang dikaburkan oleh realitas.”

Fiksi tentang diskriminasi ras mampu melampaui sekat-sekat yang ditegakkan untuk menutupi kenyataan pahit itu—bukan atas nama politik, melainkan kemanusiaan. Bukan berarti fiksi berhenti sebagai dongengan belaka. Bahkan bukan sekedar cermin belaka yang memantulkan kenyataan, tapi sanggup menggerakkan kaki manusia, seperti Uncle Tom’s Cabin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Novel klasik karya Stowe ini terbit sebagai kisah bersambung selama sekitar 10 bulan di The National Era, sebuah publikasi milik para pendukung penghapusan perbudakan di AS. Naskah ini lantas diterbitkan dalam format buku pada tahun 1852. Sebagai karya fiksi, novel Stowe ini sekaligus catatan historis perjalanan bangsa Amerika ketika terbelah antara yang mendukung dan yang menentang perbudakan.

Sambutan publik waktu itu luar biasa, dalam tahun pertama sejak diterbitkan, novel ini laku 300 ribu eksemplar di AS dan 1 juta di Inggris. Pengaruh novel ini begitu besar, bahkan ketika Abraham Lincoln bertemu dengan Stowe di awal Perang Saudara di AS, Lincoln berkomentar: “Jadi ini ya nyonya kecil yang memulai perang besar ini.”

Mark Twain menulis kisah lain yang juga populer, The Adventures of Huckleberry Finn, Mark Twain (1884). Novel ini semula dimaksudkan sebagai kisah sederhana tentang petualangan seorang anak di Lembah Mississippi di kawasan Selatan Amerika—di sini perang saudara pecah beberapa tahun sebelumnya.

Sebagian kritik menyebut karya ini berbau rasisme lantaran pilihan kata-katanya, seperti ‘nigger’—alasan yang juga membuat Perpustakaan Umum Brooklyn melarang penyimpanan karya ini pada tahun 1905. Di tangan Mark Twain, novel ini berkembang menjadi karya fiksi yang kaya dan kompleks. Twain mengajak kita memasuki isu rasisme, persahabatan, perang, agama, dan kebebasan.

Joseph Conrad menulis novel pendek berjudul Heart of Darkness (1899) sebagai catatan perjalanannya di Sungai Kongo, Afrika. Penulis berdarah Polandia ini bertemu dengan Tuan Kurtz, sosok misterius yang mendominasi kawasan tak berpenghuni di kawasan ini.

Heart of Darkness mengeksplorasi perilaku apa yang disebut “orang-orang yang masih terbelakang” dan “masyarakat yang sudah beradab”—sebuah sudut pandang yang mungkin juga membingungkan: terbelakang dan beradab adalah perkara sudut pandang. Conrad memotret kolonialisme dan rasisme yang menjadi bagian dari imperialisme Eropa—yang dibawa oleh ‘orang-orang beradab’. Semula karya ini diterbitkan sebagai serial 3 bagian di Blackwood’s Magazine, karya ini kemudian diterjemahkan dan diterbitkan dalam banyak bahasa.

Tanah Afrika adalah bumi yang menyimpan banyak kisah penderitaan manusia akibat keyakinan yang rasis. Chinua Achebe melalui Things Fall Apart  (1958) memotret kondisi masyarakatnya dalam dua cerita yang saling berkaitan. Cerita pertama mengisahkan kejatuhan Okonkwo, ‘orang kuat’ di desa Ibo, Nigeria. Cerita kedua mengisahkan tentang perbenturan budaya dan kerusakan ‘dunia Okonkwo’ melalui kedatangan misionaris Eropa yang agresif.

Dua kisah ini terjalin sempurna berkat kepiawain Achebe dalam memadukan kehidupan alam, sejarah manusia, dan misteri tentang jiwa. Things adalah monumen pencerahan yang membawa pembacanya ke dalam pengalaman Afrika dari penglihatan orang dalam. Things dianggap sebagai novel Afrika modern pertama yang memperoleh pengakuan internasional. Karya ini menjadi buku wajib di sekolah-sekolah di seluruh Afrika.

Kembali ke Amerika, Harper Lee pada tahun 1960 menerbitkan karyanya, To Kill a Mockingbird. Novel yang tetap relevan dibaca pada saat ini berkisah perihal kehidupan di sebuah kota di Selatan Amerika. Pengalaman dan pengamatan Harper hidup bertetangga yang diwarnai oleh diskriminasi ras alas bagi cerita ini. Harper Lee mengajak kita untuk tetap hangat dalam meresapi kepedihan akibat diskriminasi ras.

A Time to Kill menjadi novel yang sukses pula difilmkan. Karya John Grisham yang terbit pada tahun 1989 mengisahkan sebuah keluarga berkulit hitam yang menetap di kota kecil Clanton, Mississippi, AS dalam mencari keadilan. Anak perempuan mereka yang berumur 10 tahun telah diperkosa oleh dua pemuda kulit putih.

Sang ayah yang tak puas dengan tindakan polisi lantas mengambil tindakan sendiri, dan mengakibatkan ia dipenjara. Terjadi teror di Clanton oleh anggota Ku Klux Klan. Seorang pengacara muda berkulit putih berusaha menyelamatkan hidup ayah si anak dari tiang gantungan, dan kemudian ia harus menyelamatkan hidupnya sendiri.

Itulah sebagian fiksi yang mengisahkan kembali perilaku rasis manusia. Ketika sejarah kerap menemui kesukaran dalam menghadirkan akurasi atas nama obyektivitas—dan ini muskil dicapai, maka fiksi memiliki kebebasannya sendiri untuk menawarkan sudut pandanganya terhadap diskriminasi ras. Tatkala pesan kemanusiaan telah sampai kepada pembacanya, akurasi bukanlah hal yang terlampau penting. (sbr foto: rocky.my) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler