x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melenting, Bangkit dari Kejatuhan

Merutuki nasib bukanlah jalan untuk bangkit dari kegagalan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Living well is the best revenge

--George Herbert (penyair, orator, 1593-1633)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang balon walkot (maksud saya, bakal calon walikota) bercerita bahwa ia baru saja “kalah” dalam sebuah kompetisi politik. Ia gusar sebab merasa kekalahan itu terjadi karena ia telah diperlakukan tidak adil dan dikroyok ramai-ramai. Di wilayahnya, ia tidak terpilih walau dengan selisih suara yang tidak banyak dibandingkan dengan kompetitornya yang terpilih.

Dengan selisih yang tidak banyak, berarti ia dipercaya oleh sebagian pemilih, tapi kompetitornya dipercaya oleh lebih banyak pemilih. Di manapun, di negara yang menyatakan diri demokrasi, pemilih alias rakyat sama saja dengan angka yang kemudian dijumlahkan—repotnya lagi, mereka diperlukan oleh para balon seperti ini ketika hari pemilihan tiba, dan agar terlihat keren hari pemilihan ini disebut ‘pesta demokrasi’ (sebenarnya, siapa ya yang berpesta?).

Beberapa minggu ini manlon walkot (istilah ‘mantan calon’ ini mungkin lebih tepat, sebab pemilihan sudah usai, jadi ia bukan lagi balon) tersebut mengaku susah tidur—tapi belum sampai ke tingkat insomnia. Bukan karena ia merasa sudah mengeluarkan banyak uang (ia toh kaya raya), tapi ya itu tadi ia merasa dikroyok ramai-ramai dan ditelikung oleh orang-orang yang mengaku kawan seperjuangannya.

“Lantas, sekarang mau apa?” tanya seorang kawannya kepada manlon walkot itu yang mendengarkan dengan tekun ceritanya, “Kamu mau merutuki nasib, memikirkan terus apa yang salah, atau ya sudah kompetisi telah usai, ambil pelajaran, dan segera bangkit kembali.” “Kamu punya pilihan,” kata kawannya lagi. “Mau pilih yang mana? Atau mau membalas dendam? Setahuku, kamu bukan sosok pendendam.”

Aneka pikiran berkecamuk di benak manlon walkot itu. “Kalau kamu pengin gampang tidur lagi, ya sudah tak usah dipikir panjang lagi,” kata kawannya. “Toh dunia kamu tidak kiamat gara-gara kalah dalam kompetisi sekarang. Banyak hal lain bisa kamu kerjakan sepanjang kamu sehat dan berpikir positif. Semua orang akan respek kepadamu.”

 “Hidup boleh saja sekali waktu menumbangkan kita, tapi kita harus bangkit lagi,” kata kawannya yang masih juga nyerocos (sembari mengingat-ingat, kalau tidak salah, pepatah ini pernah saya katakan pada diri sendiri).

“Dulu kamu kan juga menasihati saya,” ujar kawannya lagi, “Daripada kegagalan terus menghantui kita, membuat kita menyesal, marah, menguras waktu, energi, dan emosi kita, bukankah lebih baik kita menempatkan kegagalan itu sebagai momen di dalam time line hidup kita yang memang harus dilewati. Jika kita terus merutuki nasib, artinya kita jalan di tempat, padahal waktu bergerak terus.”

Manlon walkot itu terdiam di kursi goyang, entah mendegar ocehan kawannya, entah tidak. Entah ia mencermati dan mencerna kata-kata kawannya, atau sudah mulai terbuai oleh semilir angin yang berembus  di sekelilingnya. Secangkir kopi yang disediakan untuknya mulai mendingin.

“Kamu kan juga pernah menasihati, kalau kamu gagal atau kalah, itu tidak berarti segalanya berakhir. Berpikir positif, optimistis, atur emosi, dan lihatlah kegagalan (apapun sebabnya) sebagai umpan balik yang melecut untuk bangkit,” ujar kawannya lagi.

“Kamu kan juga pernah mengatakan, bangkitlah setiap kali kamu tersudut, kalah, atau gagal. Selalu ada jalan untuk bangkit dan berjalan lagi,” kata kawannya. “Aku ingat kata-kata entah siapa yang mengucapkanya pertama kali: Balas dendam yang paling telak ialah hidup sebaik-baiknya. Dengan hidup sebaik-baiknya atau bahkan lebih baik lagi, orang yang mengalahkanmu akan terheran-heran sebab ia menyangka kamu bakal lemas lunglai.”

“Kamu tengah dicoba dengan krisis besar dalam hidup kamu, seperti juga orang lain dicoba dengan tragedi dan kemalangan, kematian orang tercinta, kalah dalam pertempuran, tapi aku percaya kamu bakal melenting kembali dan membuat banyak orang mengakui bahwa kamu bukan orang yang tidak pantas mengemban amanah.”

Meski melihat manlon walkot itu semakin mengantuk karena terbius oleh semilir angin, kawannya masih berusaha menyampaikan satu pepatah lagi. Kawannya mengucapkan kutipan ini: “Kemuliaan terbesar dalam hidup bukanlah karena kamu tidak pernah gagal atau kalah, melainkan karena kamu bangkit setiap kali kamu terjatuh.”

Manlon walkot itu melirik lewat sudut matanya, lalu terlelap. Maklum, dua hari terakhir ini ia sangat kurang tidur. (photo: marcandangel.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler