x

Iklan

Nana Riskhi Susanti

Pegiat film dokumenter, penerbitan, dan industri kreatif sastra.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca Estetis Dalam Seni Urban

Membaca estetis menjelma ikon budaya populer, tak mandeg dalam baca puisi, baca cerpen, dan baca drama. Membaca estetis mengepung hidup kita, bersama kebutuhan kita sebagai bagian dari masyarakat konsumtif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Teks: Nana Riskhi/Foto: Lintang Hakim

Kamis, 19 Juni 2014. Lampu menyorot pada lima pemusik di tengah panggung. Seorang perempuan berkostum peri berjalan anggun dari kanan panggung. Tak berselang lama, ia memukau penonton lewat suara suram nan lembut. Mereka tak sedang menyanyikan lagu populer, namun melantunkan baris-baris puisi. Tiga puisi karya Wiji Tukul diadaptasi dalam bentuk notasi yang kerap disebut musikalisasi puisi. Usai sebuah lagu, biola tetap berdawai mengiringi suara seorang lelaki di kanan panggung membacakan Surat Chairil Anwar kepada Sri Ajati.

 

Pertunjukan belum usai. Penonton digiring ke suasana ruang studio berita. Dua orang pembaca berita duduk di balik meja, secara simbolis menandakan proses siaran langsung berita di layar kaca. Disusul penampilan seorang perempuan membaca teks iklan salah satu operator kartu seluler dan lelaki yang menyampaikan retorika demontrasi cara hidup sehat dengan mengkonsumsi produk nutrisi. Puncaknya, suara narator berita jadi benang merah ketika secara visual di panggung muncul satu per satu tokoh dengan ekspresi yang menggambarkan karut-marut dunia pendidikan, dengan karakter masing-masing: anak sekolah, pejabat, dokter, guru, pegawai bank, dan lainnya. Mereka bersama-sama membacakan Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Adegan semacam itu bukanlah pementasan kelompok ternama dalam gedung pertunjukan di suatu pusat kebudayaan. Gelaran itu ialah ujian akhir mata kuliah Membaca Estetis mahasiswa peminatan sastra semester IV Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Semarang (Unnes). Mata kuliah Membaca Estetis tergolong baru dalam kurikulum Sastra Indonesia (S1). Sebelumnya mereka hanya memeroleh kesempatan untuk belajar teori dan praktik pertunjukan karya hanya dalam mata kuliah Teater. Lalu diluncurkanlah mata kuliah Membaca Estetis. Sebagai dosen pengampu, saya merancang langkah pembelajaran yang tak hanya membekali kemampuan mahasiswa membacakan teks sastra, tapi juga teks non sastra, secara estetis.

 

Baca Puisi di Depan Publik: Sebuah Riwayat

Ada satu kecenderungan yang kerap jadi salah kaprah dalam seni baca puisi. Deklamator tenggelam dalam mitos lapuk, mitos yang menggerakannya untuk membacakan puisi dengan suara berteriak-teriak, mata melotot, gestur tegang, marah-marah, menangis sampai rebah. Mari kita sebut saja orang yang pandai membacakan teks secara estetis sebagai deklamator. Deklamator berpengalaman, setelah khatamkan diri dalam perangkat teknis, ia  tidak akan menyepelekan faktor di luar teknis seperti kostum dan gestur. Mereka justru berusaha memanfaatkan tubuh dan kostum untuk membantu meningkatkan intensitas penghayatan dan penafsiran sajak yang dibacakannnya kepada para penonton.

 

Deklamator handal harus bisa membacakan beragam teks. Ada sajak bercorak sajak podium, yang tentu harus dibacakan dengan ekspresif. Ada sajak liris yang bernuansa tenang dan dalam, yang tentu lebih membutuhkan kekuatan penghayatan dan kepribadian si pembaca. Menghadapi teks dengan nada dan suasana apapun, seorang deklamator harus menguasai teknik dasar membaca estetis, terutama vokal: intonasi, irama, tempo, variasi nada. Juga membutuhkan strategi pembacaan ketika menghadapi teks yang amat panjang, tentu saja harus menghadirkan variasi nada, suasana, permainan tempo dan kejutan-kejutan estetis dalam baris-baris yang telah terencanakan.

 

Dari Membaca Estetis ke Budaya Populer

Membaca estetis adalah keterampilan seni yang mencakup pembacaan teks fiksi maupun nonfiksi. Membaca secara estetis di depan penonton pada hakikatnya ialah menampilkan diri dalam situasi tertentu untuk mengucapkan sajak, cerpen, drama, berita, iklan, dan pelbagai teks lainnya dengan tujuan menyampaikan penghayatan dan penafsiran terhadap teks tersebut dalam intensitas yang maksimal kepada para penonton.

 

Setiap hari telinga kita terbiasa dengan aneka warta. Telinga kita mendengar pengumuman dalam pelantang suara masjid, rambu-rambu lalu lintas di palang pintu rel kereta api, petunjuk penggunaan sabuk pengaman di pesawat, dan tawaran-tawaran bakul obat yang promosi di pasar tradisional. Mungkin pula kita pernah menjadi pengguna Commuterline Jabodetabek yang sambil terkantuk-kantuk atau berdesakan, mendengar suara sebelum hampir sampai di tiap stasiun pemberhentian. Hampir seluruh tayangan di televisi juga membutuhkan suara, suara yang tentu saja harus indah, harus estetis. Lewat suara estetis itu kita bisa mendengar gosip seorang artis, berita penangkapan menteri agama yang membobol dana haji, bahkan iklan alat pengurus badan.

 

Di zaman yang serba konsumtif, produksi audio dan visual mutlak dibutuhkan. Satu ragam seni urban ini bersisian dengan strategi pemilik modal yang tak kehabisan akal membuat jualannya laku. Selain lewat fisikal semacam model yang cantik, perempuan seksi atau lelaki ganteng, promosi juga butuh suara seksi, suara estetis yang enak didengar. Di sinilah kebutuhan terhadap orang-orang yang punya kemampuan membacakan teks dengan indah, meningkat. Membaca estetis menjelma ikon budaya populer, tak mandeg dalam baca puisi, baca cerpen, dan baca drama. Membaca estetis mengepung hidup kita, bersama kebutuhan kita sebagai bagian dari masyarakat konsumtif. Maka mata kuliah membaca estetis di lembaga tempat saya bekerja, setidaknya, telah membekali mahasiswa dalam satu jenis lapangan usaha audiopost, sekumpulan produksi suara estetis yang dibutuhkan industri. Sebab seni membaca, suara-suara itu, telah beralih wahana dalam sebuah ragam seni urban. Ia tak sekadar suara yang secara tradisional dinikmati di arena teater atau pentas sastra, melainkan telah diam-diam larut di televisi dan ruang publik, mewabah dalam setiap jengkal hari-hari kita.

 

--Nana Riskhi Susanti. Deklamator dan penggiat film dokumenter. Kini Magister Ilmu Susastra FIB UI ini bekerja di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang.

 

Ikuti tulisan menarik Nana Riskhi Susanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler