x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Peranakan Tionghoa Bukanlah Orang Lain

Peranakan Tionghoa memiliki keragaman, bukan stereotipe tunggal seperti diembuskan rezim Orde Baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak semua peranakan Tionghoa semakmur Liem Sioe Liong. Di masa tuanya, Encek (paman) Ek Ceng masih mencangkul kebun yang ia tanami singkong, pepaya, kacang, serta buah-buahan untuk menghidupi keluarganya. Hingga kemudian kedamaiannya terusik oleh pembangunan perumahan buat orang-orang gedongan. Hari-hari Ek Ceng sebagai petani pun berlalu.

Sebagian tetangga Ek Ceng pindah ke udik dan bertani di pedalaman. Sebagian lainnya mencoba berdagang di kota, namun menjumpai peruntungan mereka bukan di situ. “Kita semua turun-temurun jadi petani. Tidak punya keahlian untuk berdagang atau hidup di kota,” tutur Yap Cun The, petani berusia 60 tahun yang tersudut hingga di Nalagati, sebuah dusun yang terletak di Kabupaten Tangerang.

Perbauran hidup antara orang-orang yang kerap disebut Cina Benteng dengan suku Betawi, Banten, maupun Sunda berlangsung akrab. Hidup mereka cair tanpa sekat berkat gambang kromong, tari cokek, kawin campur, hingga kue keranjang untuk perayaan Imlek. Lenong Betawi serta barongsai dan wayang potehi kerap tampil bersama untuk merayakan acara tahunan yang digelar di kelenteng.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jejak peleburan peranakan Tionghoa ke dalam kultur setempat sangat terasa pula di Bali, bahkan sudah dimulai sejak akhir tahun 1200-an, yang ditandai oleh perkawinan Raja Jaya Pangus dan Kang Tjin We. Kenangan tentang pasangan ini diukir dalam sepasang barong landung: lelaki berkulit hitam bermata lebar dan perempuan berkulit putih bermata sipit. Hingga kini, karakter pasangan ini masih dihormati oleh warga peranakan maupun Bali.

Lewat sketsa-sketsa pendeknya dalam buku Peranakan Tionghoa di Nusantara (2012), Iwan Santosa mengisahkan ragam kehidupan peranakan Tionghoa di negeri ini. Kisah perihal kesukaran ekonomi, ketersingkiran dari ‘kemajuan zaman’, ketertinggalan dalam pendidikan yang mereka alami sama persis seperti yang dirasakan suku-suku lain. Sketsa-sketsa ini berbicara betapa peranakan Tionghoa itu bukanlah komunitas tunggal dengan stereotip yang diembuskan Orde Baru: antisosial, gila uang, dan tidak peduli lingkungan.

Buku ini menampik stereotip seperti itu. Pembauran yang berlangsung alamiah sudah terjadi jauh sebelum rezim Orde Baru menggaungkan gagasan serupa, yang dalam praktiknya dibingkai oleh kepentingan politik yang sanggup membangkitkan prasangka dan mudah menyulut prahara. Di dalamnya terpateri jejak kolonial Belanda yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas: Eropa, Asia (termasuk Arab dan Tionghoa), dan pribumi.

Iwan menyusuri tempat-tempat yang menjadi bukti bahwa peranakan Tionghoa bukanlah warga yang datang ke negeri ini kemarin sore. Seperti direkam oleh Iwan, di Kampung Pekojan, di sisi kawasan Glodok, Jakarta Barat, orang Tionghoa asli kampung ini memiliki tradisi bersalaman ala Muslim. Di kampung ini, orang Tionghoa, Arab, dan Melayu bersaudara sejak zaman dulu. Asimilasi, pembauran, peleburan—apapun sebutannya—berjalan tanpa dipaksakan dan tanpa aroma politik sedikitpun.

Sebagai kumpulan sketsa, tumpang tindih dan pengulangan cerita masih terjumpai dalam buku ini. Namun ini tak mengurangi kualitas pesan yang disampaikan Iwan bahwa kohesivitas di masyarakat akar rumput sesungguhnya demikian kuat dan sudah berlangsung sangat lama. Jejaknya melekat dalam wayang potehi yang dimainkan dalang arek Suroboyo, masjid Lautze bergaya arsitektur paduan Cina-Arab, novel Bunga Roos dari Tjikembang (1927) yang ditulis sastrawan Kwee Tek Hoay, maupun peran historis mereka dalam perjuangan kemerdekaan.

Catatan perjalanan Iwan ini, dengan desain sampul yang “sangat Indonesia”, mengingatkan pada pengalaman masa kecil saya ketika kepentingan politik berusaha memporakporandakan kohesivitas itu selepas peristiwa berdarah 1965. Tapi bagi anak sekolah dasar di sebuah kecamatan di tepi Sungai Brantas, Jawa Timur, upaya itu tak mampu menghancurkan persahabatan anak-anak Jawa dengan peranakan Tionghoa. Kami tetap bermain bola, menirukan kungfu ala Bruce Lee, membuat lampion bersama untuk merayakan Imlek, dan berbagi es lilin. Sayangnya, untuk waktu yang lama pembauran alamiah itu tercemar oleh stigma negatif yang diembuskan rezim penguasa. (Pernah dimuat di MBM Tempo, 12 Agustus 2012). ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler