x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Menimbang Buku dari Sampulnya

Jangan menilai buku dari sampulnya, begitu kata pepatah. Lantas dari apanya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Buku yang hebat akan memberimu banyak pengalaman."

--William Styron (novelis 1925-2006)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa tahun yang lampau, seorang kawan menasihati saya: “Jangan menilai buku dari sampulnya.” Di waktu kemudian, tahulah saya bahwa ucapannya itu sebuah pepatah, tapi pepatah ini berlaku pula secara harfiah. Sampul memang bisa mengecoh: desain sampul buku bagus, isi sebaliknya; atau, sampulnya buruk, isinya ternyata menawan.

Bila bukan dari wajah sampulnya, lantas apa yang dapat dipakai untuk menimbang bobot sebuah buku? Misalnya saja, apakah buku Spiritual Capital terbitan Mizan bagus? Banyak pembaca mungkin mengatakan ya. Tapi apa yang membuat karya ini dianggap berbobot? Apakah karena penulisnya Danah Zohar seorang fisikawan dan filosof yang telah melakukan berbagai riset maka karyanya pasti bagus? Atau karena ia penulis dan pembicara yang mashur di bidangnya?

Sebagai pembaca, kita memang kerap mempunyai ekspektasi tinggi tatkala membaca nama seorang penulis populer bertengger di sampul buku; misalnya Rhenald Khasali dan Hermawan Kertajaya untuk isu manajemen.

Ekspektasi adalah persepsi, kenyataan bisa berbeda. Diperlukan cara lain yang kira-kira cukup obyektif untuk menjadi ukuran penilaian, misalnya dari sisi pokok pikirannya, orisinalitas gagasannya, kedalaman risetnya, keluasan referensinya, cara penyajiannya, keutuhannya sebagai sebuah buku, hingga kualitas desain, tata letak, dan cetaknya.

Sebuah buku adalah paparan panjang untuk menopang sebuah tesis yang diajukan penulis. Capital In the Twenty-First Century karya Thomas Piketty, ekonom Prancis, yang baru-baru ini menghebohkan kalangan akademisi, mengusung tesis baru bahwa ‘kesenjangan ekonomi yang semakin lebar merupakan buah kontradiksi inti kapitalisme yang bersifat logis dan fundamental’. Untuk mempertahankan tesisnya ini, Piketty menulis Capital hingga setebal hampir 700 halaman.

Kadang-kadang penulis buku punya gagasan bagus, tapi penyajian yang buruk dapat menjadikan gagasan itu tidak dimengerti oleh pembaca. Pembaca mungkin saja menemui kesulitan memahami uraian penulis karena penyajiannya tidak runtut, melompat-lompat, atau berulang dan tumpang tindih (redundant).

 Mungkin pula, ide pokok penulis tidak tereksplorasi dengan baik, sehingga banyak hal penting dari ide itu yang luput disajikan. Ketergesaan dalam menyelesaikan naskah kerap menjadi faktor yang menyebabkan butir-butir penting tidak tertampung, bukan karena keterbatasan jumlah halaman, melainkan karena luput dari perhatian.

Bahasa pengungkapan menjadi unsur penting lain. Tantangan yang dihadapi penulis ialah ‘menjadikan gagasan yang rumit mudah dimengerti’ sehingga sebuah buku dapat dibaca oleh semakin banyak orang. A Brief History of Time karya astrofisikawan Stephen Hawking adalah contoh yang bagus untuk buku yang membahas tema kompleks dengan cara yang relatif mudah dimengerti oleh orang awam.

Buku yang bahasanya kompleks memang membatasi jumlah pembaca yang mampu memahaminya, namun ini tidak serta merta berarti bahwa buku itu buruk. Banyak buku bagus yang hanya dapat dicerna oleh pembaca yang memang berkecimpung di dalam isu yang diangkat penulisnya. Being and Time atau Sein und Zeit, karya terpenting Martin Heidegger yang sangat memengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20, bukanlah kitab yang mudah dicerna.

Menimbang bobot fisik sebuah buku jelas jauh lebih mudah ketimbang menimbang bobot intelektual kandungannya. Pembaca buku punya penekanan masing-masing dalam menilai sebuah buku. Pengetahuan, pengalaman, serta interaksinya dengan berbagai pemikiran memengaruhi penilaiannya terhadap sebuah karya.

Pada akhirnya setiap pembaca menilai dari sudut pandang masing masing: apakah buku itu bermanfat, bernilai, dan memiliki arti bagi dirinya. Mungkin pula sebuah buku betul-betul bermakna karena sanggup mencerahkan pikiran dan hatinya. Atau sebuah buku menjadi berharga karena di dalamnya tersimpan ingatan dan kenangan bagi pembacanya. Jadi, dalam hemat saya, satu-satunya hal terpenting dalam sebuah buku ialah apa makna buku itu bagi diri Anda--dan masing-masing orang bisa berbeda. ***

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB