x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anggur Kearifan Khayyam

Khayyam mungkin kesepian di tengah upayanya menemukan kebenaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kwatrin Umar Khayyam adalah anggur—begitu banyak orang Barat yang mendekati puisi penyair abad ke-11 ini sebagai ‘minuman yang mengantarkan perjalanan menuju dunia lain”. Berkat terjemahan Edward FitzGerald, Barat memang lebih mengenal Khayyam lewat baris-baris sajaknya, Rubaiyyat. Melalui pintu yang dibukakan oleh orang Inggris itulah, Barat mencecap anggur kenikmatan dan membentuk klub-klub pemujaan terhadap Khayyam.

Memahami Khayyam dengan sudut pandang terbatas semacam itu, sayangnya, dapat menyesatkan. Khayyam adalah manusia multidimensi dan barangkali bukanlah hedonis seperti yang disangkakan orang lantaran sajak-sajaknya. Syed Hussein Nasr menyebut pria kelahiran Nisyapur, Persia, ini sebagai manusia universal yang bukan saja piawai menulis kwatrin yang ‘memabukkan’ itu, tapi juga memberi kontribusi signifikan terhadap lapangan matematika dan astronomi.

Khayyam, seperti halnya Leonardo da Vinci, mempertemukan seni dan eksakta-ilmu tentang semesta serta melahirkan pemahaman yang indah dan dalam. Khayyam dan banyak sarjana semasanya telah memadukan dunia yang dianggap terpisah itu; jauh mendahului C.P. Snow yang menjelang tahun 1960 berbicara tentang perlunya menjembatani ‘dua budaya’—seni dan ilmu kealaman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mehdi Aminrazavi, seorang guru besar filsafat dan agama, berikhtiar menunjukkan bahwa Khayyam seorang spiritualis yang sangat layak dicatat. Ia memulai ikhtiarnya untuk memahami aljabar dengan menyebut Penciptanya. Lelaki Nisyapur yang mengaku sebagai 'murid pemikiran' Ibnu Sinna ini telah ‘menurunkan’ koefisien binomial dalam bentuk segitiga yang kemudian lebih diatribusikan kepada nama Blaise Pascal sebagai Segitiga Pascal. Ia juga menunjukkan kemungkinan lain dari geometri Euclidus dan membuka jalan bagi geometri non-Euclidean, yang kelak digunakan oleh Einstein untuk menyusun pikirannya tentang ruang dan waktu yang melengkung.

Lewat studinya atas karya-karya Khayyam, lebih dari hanya Rubaiyyat, Aminrazavi menunjukkan kekeliruan pemahaman sebagian besar orang Barat tentang sosok yang pada masanya lebih dikenal sebagai matematikawan itu. Aminrazavi berusaha menuliskan kembali figur Khayyam, memberi tafsir berbeda atas Rubaiyyat-nya, serta menjelaskan pencapaiannya yang hebat dalam matematika dan filsafat.

Seperti dikatakan oleh Syed Hussein Nasr, banyak kesalahpahaman atas Khayyam—dan sedikit-banyak terjemahan FitzGerald memberi kontribusi atas hal itu. Nasr bersama Aminrazavi mendudukkan kembali letak Khayyam yang semestinya. Dengan menyingkapkan tulisan-tulisan filsafat Khayyam yang kerap diabaikan, Aminrazavi berusaha menggambarkan potret yang lebih utuh mengenai sosok inspiratif dari Persia ini. Bagaimana Mark Twain, T.S. Eliot, dan Ralph Waldo Emerson mempelajari dan terpengaruh oleh orang yang mendapat julukan Voltaire dari Timur ini adalah segi lain yang menjadikan Khayyam sosok yang kerap dikutip di Barat.

Menjadi penting untuk merekonstruksi ulang personalitas dan pemikiran Khayyam—figur yang asing di tanah airnya sendiri, sosok yang disalahpahami oleh banyak orang, yang dicintai lantaran spirit kebebasannya, dan yang dibenci oleh kaum ortodoks karena dipandang membangkang terhadap norma-norma. Khayyam sosok yang terlihat kesepian dalam upayanya menemukan kebenaran ilmiah di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan pada masanya. (sbr foto: bbc) ** 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler