x

Iklan

Aditya Wijaya

follow @trah_oglangan
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menelusuri Girpasang, Kampung Terlupakan di Kaki Merapi

Nama Girpasang pertama kali saya dengar pada medio 2010, pasca letusan erupsi Gunung Merapi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gunung Merapi gagah prakosa
wengi sepi nangomahe mbah Patmo
Gligir pasang hawane adhem
sesrawungan dimen ayem
Itulah sepenggal parikan Jawa dari Agus Bimo Prayitno, Malam Rabu Pon, (26/8/14).
 
Nama Girpasang pertama kali saya dengar pada medio 2010, pasca letusan erupsi Gunung Merapi. Gara-garanya, tertarik dengan embel-embel sebagai dusun terisolir dibawah kaki gunung yang membentang di wilayah Kabupaten Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali itu. 
 
Hari itu, Selasa (26/08/2014) sore, bersama dua orang kawan, dan Agus Bimo Prayitno, yang dahulu pernah menemani Lydia C Kieven, bule asal Jerman yang mengangkat tesis berjudul "The Ascetism of Arjunamalem" atau kisah asmara populer Panji dari Jawa Timur, itulah yang akhirnya menuntaskan imajinasi saya tentang dukuh Girpasang. 
 
Dukuh Girpasang yang masuk wilayah Klaten ini hanya dihuni sebelas Kepala Keluarga (KK) dengan 33 orang penduduknya yang terdiri dari 7 rumah. Untuk sampai ke tempat berketinggian 1.185 Mdpl yang terpencil itu, satu-satunya akses adalah orang harus berjalan kaki. Pasalnya, dukuh yang berjarak kurang lebih 4 kilometer dari puncak Gunung Merapi ini dikelilingi jurang selebar 150 meter.
 
Sejauh mata memandang, rute jalan setapaknya layaknya goresan petir logo PLN. Dengan melangkahkan kaki turun dan naik jurang berbentuk huruf "V" berkedalaman 200 meter, kami pun berjalan kira-kira setengah jam lamanya dari dusun terdekat, Ringin, Desa Tegalmulyo di Kemalang, 20 kilometer dari Klaten, Jawa Tengah.
 
Matahari sudah hampir ditelan malam. Begitu memasuki Girpasang, kami langsung disambut seorang pria lansia yang berada dihalaman rumahnya. Tak jauh dari tempat pria itu berdiri, mata saya langsung tertuju ke sebuah bangunan kecil layaknya poskamling, yang menurut Agus Bimo merupakan sebuah bunker. Tak hanya itu saja, beberapa bendera merah putih juga masih terlihat berkibar di Girpasang pada penghujung bulan kemerdekaan republik ini. 
 
Pria lansia itu adalah Patmo Sudarso (65), satu diantara 11 KK penghuni dukuh Girpasang. Mbah Patmo, biasa ia disapa, hidup bersama dua orang putri, dan satu cucu lelakinya. Rumahnya sangat sederhana. Dindingnya, sebagian terdiri dari gedheg atau anyaman bambu. Atapnya dari genteng, yang mana tergantung jemuran daun-daun tembakau yang berwarna coklat. Pada halaman rumahnya, terdapat kandang yang berisi 4 kambing dan kebun jagung. 
 
Begitu melangkahkan kaki kedalam rumahnya, diatas ambang pintu masuk rumah yang beralaskan tanah itu, terdapat semacam sesaji tolak bala yang terdiri dari 2 batang rokok kretek, 2 potong irisan bambu kecil yang masing-masing diselipi sehelai padi, dan beberapa bingkisan plastik transparan yang berisi pasir dan biji-bijian.
Lalu di dinding bambunya dihiasi dua pigura dengan gambar kedua putrinya dan gambar cucunya yang bernama Panji Pasang, serta sebuah poster bergambar pasangan Bupati Klaten dan Wakilnya, yang terlihat sudah lusuh dimakan waktu.
 
"Itu gambar pak Sunarno saat masa kampanye pemilihan bupati 2010 lalu. Dia pernah datang kesini, setahun pasca erupsi Merapi 2006," ucap mbah Patmo.
 
Mbah Patmo mengungkapkan, Sunarno adalah satu-satunya Bupati Klaten yang pernah mengunjungi Girpasang. Dia bahkan memberikan bantuan berupa uang tunai senilai Rp 7 juta dan seekor sapi bagi dirinya saat itu. Kendati saat tiba di Girpasang, Sunarno langsung jatuh pingsan.
 
"Kaget dan terharu. Pasalnya, sampai di dukuh ini beliau pingsan karena kelelahan. Kata para ajudannya, pak Bupati jalannya seperti tentara. Jlak jluk jlak jluk dan tidak pakai istirahat," kenangnya dengan logat Jawa kental.
 
Sejak kunjungan sang bupati itulah Girpasang mulai diperhatikan pemerintah. Mulai dari jalan setapak yang sudah dibuat beberapa ratus anak tangga, hingga penggunaan tenaga surya sebagai cahaya ditengah dinginnya malam.
"Disini memang ada listrik tapi menggunakan tenaga surya. Itu yang satu bantuan dari provinsi, tapi sudah rusak, sedang satunya dari kabupaten. Untuk undak-undakan yang dilembah, itu bantuan dari salah seorang caleg saat kampanye kemarin. Lumayan dapat Rp 7juta, bisa dibelikan semen sebagai anak tangga," ungkap Patmo.
 
Cikal Bakal Gligir Pasang
 
Menurut Patmo, nama sebenarnya dukuh Girpasang adalah Gligir Pasang. Tapi kalau merujuk dalam administratif pemerintahan Klaten, namanya disebutkan menjadi Girpasang. Untuk asal usulnya, Gligir Pasang itu seperti bentuk buah belimbing.
 
"Gligir Pasang ini ibaratnya seperti wujud buah belimbing. Dari rangkaian kerucut-kerucut, yang mana di kanan kirinya tebal, lalu tengahnya tipis," terangnya.
 
Patmo menceritakan, dirinya adalah keturunan keempat dari Ki Trunosono yang dahulu tinggal di lembah Kapuan dekat Gua Jepang di lereng Merapi. Kemudian, Ki Trunosono yang bergelar Kyai Pacul Kuoso dari Panembahan Paku Buwono VI yang memilik 9 anak laki-laki itu mendapat titah untuk menempati dukuh terpencil ini.
 
"Jumlah anak Ki Trunosono ada 9 dengan sebutan pandawa sembilan. Salah satunya, Ki Truno Pawiro, yang merupakan kakek saya, anak ketiga dari Ki Trunosono. Selain Ki Truno Pawiro, Girpasang dihuni dua anak lainnya, Truno Rejo dan Rajiyo. Sedangkan keenam putra Ki Trunosono yang lain pindah pindah ke desa lain. Jadi dusun ini berawal dari tiga KK atau pekarangan dan semuanya masih satu trah," kisah, Patmo, sesepuh Girpasang.
 
Lebih lanjut Patmo mengisahkan, setelah Ki Trunosono meninggal, "tongkat kepemimpinan" Girpasang diwariskan kepada kakeknya, Truno Prawiro, dilanjutkan ke ayahnya yang bernama Ki Pawiro Tani, baru kemudian ke dirinya.
"Saya anak tunggal. Kata bapak, saat usia saya baru 7 bulan terjadi goro-goro didaerah Kemalang. Saat itu lagi ramai dengan gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC) pimpinan Suradi Bledeg, eks milisi kemerdekaa Indonesia," tutur Patmo, yang mendapat kekancingan atau gelar KRT Bupati Anom dari Kasunanan Surakarta.
 
Seperti diketahui, sekitar tahun 1949-1950 pada masa Revolusi Indonesia, terjadi rasionalisasi perubahan serdadu TNI eks-milisi atau, dari laskar dan gerombolan bersenjata, menjadi satuan militer regular. Imbasnya, muncul aksi kriminal di sekitar lereng gunung Merapi dan Merbabu. Bahkan konon kabarnya, Suradi Bledeg yang merupakan pemimpin gerombolan MMC tersebut meninggal di daerah Kemalang, Klaten. 
 
Bersahabat dengan Gunung Merapi
 
Saat ditanya, kenapa tidak pindah dan betah tinggal di Girpasang, bahkan termasuk kawasan rawan bencana Gunung Merapi, Patmo mengungkapkan, "Gligir Pasang adalah tumpah darah kelahiran kami keturunan Ki Trunosono."
Mengenai kekhawatiran letusan Gunung Merapi, Patmo menegaskan bahwa warga Gligir Pasang pasti akan selamat. Pasalnya, Gunung Merapi tak akan berani melangkahi Gunung Ijo. "Merapi dan Ijo itu tua Gunung Ijo. Belum lagi dengan biyung Bibi. Lha wong mbokne cilik kok dilangkahi. Merapi itu kan ponakan," terangnya.
 
Persahabatan warga Gligir Pasang dan Gunung Merapi diwujudkan dalam sarasehan warga setiap malam Jumat Pon. Disitu warga yang masih satu keturunan ini memberikan sesaji berupa Apem.
"Tidak berani kalau mengganti dengan tumpeng. Lantaran sudah turun temurun dan mengikuti apa yang dilakukan Ki Ageng Gribig. Harapannya, mohon keselamatan dan kemakmuran," kata Patmo.
 
Patmo mengaku, selama ini dirinya mengungsi baru dua kali. Itu pun karena menuruti perintah pemerintah. "Kalau dulu menggunakan ilmu titen. Biasanya, kalau harimau, kijang, kera, dan binatang lainnya turun, pasti Merapi bakal batuk. Tapi kalau sekarang mengikuti apa yang dikatakan Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), Subandriyo," ungkapnya sembari tersenyum.
 
Terpisah, Komandan Search And Rescue (SAR) Klaten, Pandu Wirabangsa menjelaskan, pada 2004 ia pertama kali menginjakkan kaki di Gligir Pasang untuk kepentingan kesiapsiagaan bencana. Menurutnya, keberadaan warga Gligir Pasang bertolak belakang dengan kategori kelompok rentan bencana, yaitu lansia, ibu hamil dan bayi.
 
"Satu sisi mereka tidak termasuk kelompok rentan, sedangkan disisi lain, mereka sulit akses dan terisolir. Namun dari perilaku dan kearifan lokal masyarakat Gligir Pasang banyak hal yang bisa dipelajari. Mereka tidak tahu apa itu konservasi hayati, pemanasan global, tapi mereka memaknainya dengan perbuatan nyata demi kelestarian ciptaanNya," ujarnya.
 
Pandu menambahkan, ia masih mengingat betul pernyataan Mbah Patmo mengenai Gunung Merapi. "Saya sudah diberitahu eyang kalau Merapi batuk pasti kami akan selamat. Namun kami tidak ingin merepotkan pemerintah. Jika disuruh turun untuk mengungsi, kami pasti akan mengikutinya," kata Pandu, mengulang perkataan Patmo Sudarso saat itu.
 
Dari perjalanan ini, saya teringat sebuah teori dari Charles darwin "The survival of the fittest," yang bermakna: hanya mereka yang mampu menyesuaikan dirilah yang bisa hidup. Pasalnya, mereka bisa hidup dan bertahan secara turun temurun dari godaan arus zaman. 
 
 
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Aditya Wijaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler