x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Emotionomics: Merebut Hati dan Pikiran Pelanggan

Emosi semakin diyakini perannya dalam pengambilan keputusan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Perilaku manusia mengalir dari tiga sumber utama: hasrat, emosi, dan pengetahuan."

--Plato (Filsuf Yunani, 427-347 SM)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti apa respons Anda ketika melihat pameran mobil baru? “Wooww, desain dan warnanya keren!” Komentar ini yang biasa muncul pertama kali sebelum Anda mencari tahu spesifikasi mobil itu: berapa cc-nya, berapa jumlah tempat duduk yang tersedia, berapa konsumsi bahan bakar per kilometernya. Untuk kemudian Anda bertanya, “Berapa harganya?”

Emosi merespons lebih cepat dari pikiran. Sayangnya, sudah sangat lama emosi diabaikan dikarenakan ‘kalah’ oleh rasionalitas. Padahal kita hidup bukan hanya berpikir, tapi sekaligus merasa. Bahkan, dari sudut konsumen, seringkali faktor kesukaan—desain dan warna mobil, misalnya—menjadi penentu yang lebih penting dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan pertimbangan tentang spesifikasinya. Dan, suka atau tidak suka lebih dilandasi oleh emosi.

Mungkin lebih pas bila dikatakan bahwa emosi bukan dikalahkan oleh rasionalitas, melainkan kitalah yang mengesampingkan emosi demi mengunggulkan rasionalitas. Emosi kita tekan seolah-olah penghalang yang merintangi kemajuan. Betapa bidang manajemen telah lama memerlakukan pekerja seolah-olah mereka tidak memiliki emosi. Seluruh pekerja diasumsikan sepenuhnya rasional. Para manajer menganggap unsur-unsur sedih, gembira, kecewa, kesal, amarah sebagai sekedar bumbu atas pertimbangan rasional.

Asumsi tersebut memang membuat analisis mengenai perilaku di tempat kerja jadi lebih sederhana. Tapi, di sisi lain, asumsi ini menciptakan penilaian situasi yang tidak realistis dan tidak akurat, sebab mengabaikan unsur emosi dalam diri pekerja. Kita tak bisa menampik kenyataan bahwa pekerja membawa serta unsur emosi ke dalam pekerjaan, setiap hari. Juga tidak ada pembahasan perilaku organisasi yang dapat komprehensif atau akurat tanpa mempertimbangkan peran emosi dalam perilaku di tempat kerja.

Mengapa kajian-kajian manajemen selama ini cenderung mengecilkan emosi? Diskusi mengenai emotionomics, yang lagi popular belakangan ini, umumnya menyebut dua penjelasan. Pertama, mitos rasionalitas di balik manajemen-ilmiah yang merancang organisasi secara spesifik dengan obyektif mengendalikan emosi. Perasaan marah, kesal, takut, frustrasi yang dialami karyawan, bahkan para manajer dan direksi sekali pun, harus dilepaskan dari organisasi (Tapi, seringkali, direksi boleh marah, sedangkan karyawan dilarang marah).

Kedua, keyakinan bahwa emosi itu mengacaukan situasi. Persepsi ini muncul karena pembahasannya terfokus pada emosi negatif, terutama amarah. Karyawan yang marah akan turun kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Tapi, jarang sekali emosi dipandang sebagai konstruktif atau mampu menstimulasi perilaku yang meningkatkan kinerja.

Emotionomics, menurut para penggagasnya, antara lain Dan Hill, presiden Sensory Logic, perusahaan konsultan di AS yang mengkhususkan pada sensory-emotive strategies, dapat membantu memahami emosi dalam pengertian kesempatan bisnis, baik di tempat kerja maupun di pasar. Di pasar yang amat kompetitif, di mana banyak produk serupa, keuntungan emosional dapat menciptakan perbedaan.

Penggunaan warna-warni yang meriah pada laptop bisa jadi merupakan unsur yang menarik minat konsumen muda ketimbang sekedar warna hitam dan putih. Sentuhan emosional terhadap perasaan konsumen ini dapat mengubah keputusan pembelian. “Saya lebih suka yang orange ini ketimbang yang hitam,” kata seorang konsumen muda.

Teori-teori manajemen sering menganggap bahwa ketika karyawan menginginkan kenaikan gaji dan promosi, alasan-alasan rasional semata yang menjadi pertimbangan karyawan. Yang terlupa, orang bukanlah mesin yang dingin dan tidak berperasaan. Mereka ingin kenaikan gaji karena merasa pekerjaannya dihargai secara layak—ada kebanggaan, pengakuan, dan kepuasan yang dirasakan oleh karyawan.

Manajer juga kerap tidak mau tahu apakah seorang karyawan menyukai pekerjaannya atau tidak. Jebloskan saja. Padahal, orang-orang yang sangat termotivasi dalam pekerjaan adalah orang-orang yang berkomitmen secara emosional. Jika seorang karyawan ditugaskan untuk menangani pekerjaan yang ia sukai, ia akan tenggelam secara emosional dalam pekerjaan itu, dan kemungkinan ia akan lebih produktif. Ia menemukan passion-nya di situ dan akan bekerja habis-habisan. Muatan emosional memengaruhi secara signifikan upaya yang dicurahkan karyawan.

Konflik di tempat kerja adalah contoh lain di mana emosi diyakini akan muncul ke permukaan. Seorang karyawan mungkin menolak suatu penugasan, tapi alasannya bukan karena ketidakadilan dalam pembagian pekerjaan, melainkan karena manajer yang memberi tugas jauh lebih muda darinya. Manajer yang mengabaikan unsur-unsur emosional dalam konflik, yang fokus semata-mata kepada yang rasional dan tugas, tidak mungkin akan sangat efektif dalam menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Kuncinya ialah bagaimana menyiasati unsur emosional ini agar tugas tetap dijalankan.

Nilai penting emosi di dunia bisnis—di tempat kerja maupun di pasar—ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan mengenai otak (brain science). Dalam risetnya yang didanai pemerintah AS, Paul MacLean menemukan bahwa manusia mempunyai otak tiga-bagian yang kompleksitasnya berkembang secara berurutan berdasarkan waktu. Yang berkembang paling awal adalah otak yang mendukung kemampuan inderawi kita, misalnya penciuman. Menyusul kemudian bagian limbic system yang merupakan pusat emosi kita. Limbic system juga menjadi penghubung bagian inderawi dengan bagian otak yang terakhir berkembang, otak rasional.

Apa implikasi dari penemuan itu? Yang pertama, seperti disampaikan ilmuwan saraf (neuroscientist) terkemuka, Joseph LeDoux, otak inderawi dan emosional berusia lebih tua serta mendominasi proses pengambilan-keputusan manusia. Emosi itu sentral, bukan marjinal, sebab, menurut LeDoux, emosi menggerakkan nalar lebih daripada sebaliknya. Kita hampir tidak serasional seperti yang kita bayangkan. Bahkan orang-orang yang kelihatannya dingin sesungguhnya ia hanya lebih pintar dalam menyembunyikan emosi sebenarnya.

Implikasi kedua, kita jauh lebih menyerupai nenek moyang kita dari zaman purba ketimbang menyerupai pelanggan dan pekerja canggih yang kita sangkakan. Warisan neuro-biologis kita mempunyai makna bahwa emosi menikmati keunggulan pre-emptive (bergerak lebih dulu), sebagai first mover, dalam setiap proses pengambilan keputusan. Aroma pandangan evolusioner amat tercium di sini: otak yang asali diperkirakan berusia 500 juta tahun, limbic system berumur 200 juta tahun, dan neocortex yang rasional 100.000 tahun.

Para pendukung emotionomics, karena itu, menyimpulkan bahwa proses pengambilan-keputusan manusia berlangsung sangat cepat, emosional, dan bawah-sadar; dalam satu kata: intuitif. Pikiran yang sadar hanya merupakan bagian kecil dari aktivitas mental. Dalam komunikasi pemasaran, pesan-pesan rasional saja menjadi tidak seefektif yang emosional. Konsumen merasakan lebih dulu sebelum mereka berpikir, dan perasaan berlangsung cepat. Begitu seorang konsumen bertemu dengan sebuah iklan, “gotcha!” karena kepentingan dan relevansi tidak bisa menunggu sampai ia selesai melihat iklan. (sbr foto: agencypost.com)***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

3 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB