x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca Ulang Sejarah Menjadi Indonesia

Pada suatu masa, di Indonesia, memperjuangkan gagasan sangatlah terhormat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dari masa kini, menatap Indonesia 50-60 tahun yang silam, saya merasa kita seperti bangsa yang tengah kehilangan jiwa. Alih-alih bertarung memperjuangkan gagasan bagi Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka, bangsa yang tak berjiwa lebih masyuk berebut kuasa dan harta, serta berbicara dalam bahasa kekerasan. Lewat buku Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965, sejumlah orang Indonesia dan sarjana dari luar mengingatkan kita kepada suatu masa ketika gagasan begitu sangat berharga bagi pembentukan sebuah bangsa.

Pembelahan di antara para pengusung gagasan ini mungkin demikian tajam. Pertarungan mereka barangkali begitu sengit. Toh sebuah kesamaan, bila bisa dikata demikian, terungkap dengan jelas dalam tulisan-tulisan yang dihimpun dalam buku ini. Kesamaan itu ialah komitmen akan Indonesia yang patut untuk menjadi tempat hidup yang layak bagi bangsa merdeka. Raga maupun jiwa.

Jennifer Lindsay dan Maya Liem (keduanya penyunting buku ini), Keith Foulcher, Els Bogaerts, serta sejumlah penulis lain berusaha menemukan makna dari jalinan peristiwa yang merentang sejak lima tahun setelah proklamasi hingga lima tahun menjelang tragedi 1965. Pentas budaya kala itu begitu meriah. Masa itu bagaikan zaman yang penuh janji, ketika masa depan terlihat penuh kemungkinan. Di masa itu ada perjumpaan dengan budaya lain, lewat tulisan, sastra, tari, musik, dan film yang mewarnai proses kontruksi keindonesiaan baru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi Cina, Soviet, Belanda, dan Amerika, Indonesia ketika itu tak ubahnya bunga mekar yang terlalu menarik untuk diabaikan. Tony Day menyingkapkan persilangan antara muhibah budaya Martha Graham ke sejumlah negara Asia dan ikhtiar pemerintah AS untuk ‘mengendalikan’ penyebaran komunisme di kawasan ini.

Pencarian gagasan ke wilayah Muslim dilakukan oleh Bahrum Rangkuti yang membawa Iqbal dari Pakistan, serta Hamka dan Asrul Sani yang bertandang ke Mesir. Perjalanan mereka, dalam hemat Hairus Salim, dapat dilihat sebagai kesinambungan gagasan yang diterakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, yakni “bagian kecil dari ikhtiar mencari dan meraih ‘suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia’.” Kala itu, hubungan Indonesia dengan dunia luar dan dengan dirinya sendiri tengah dinegosiasikan di pentas budaya yang luas sebagai proses ‘menjadi Indonesia’.

Ada pula pencarian beragam kemungkinan bagi Indonesia masa depan. Juga perdebatan perihal tujuan, rupa, dan jalan yang semestinya ditempuh. Konfrontasi, Mimbar Indonesia, Siasat, dan Pandji Masjarakat menjadi panggung penting. Sejumlah intelektual menerjemahkan tulisan pemikir luar; mereka, seperti kata Foulcher, “membawa pulang dunia”. Trisno Sumardjo menerjemahkan Shakespeare dan Koesalah Soebagyo Toer memilih karya-karya Soviet, Cekoslovakia, dan Rumania. Inilah ikhtiar yang, menurut Maya Liem, mencerminkan kecondongan ideologis masa itu.

Penelusuran peristiwa yang tidak berpusat di Jakarta menawarkan kesegaran dalam melihat sejarah periode itu. Apa yang dikisahkan oleh Melani Budianta ihwal ‘struktur perasaan’ orang-orang Tionghoa di Malang mengingatkan kita bahwa ada saatnya nilai-nilai kemanusiaan dan kekeluargaan sanggup mengesampingkan perbedaan ideologi. Atau, seperti dituturkan I Nyoman Darma Putra tentang sepenggal sejarah di Bali, bahwa di ‘kiri’ pun bukan hanya ada satu warna; ada titik-titik keakuran dan titik-titik konflik di dalam apa yang diletakkan di sisi ‘kiri’. Apa yang berlangsung ketika itu agaknya lebih kompleks dari yang mungkin sudah kita pahami sejauh ini.

Kendati masing-masing penulis memberi fokus perhatian atas peristiwa dan tempat yang berbeda-beda, namun buku yang diterbitkan oleh KITLV-Jakarta dan Penerbit Larasan ini menawarkan satu siasat untuk memahami benang merah yang mentautkan berbagai temuan masing-masing. Lewat saling memberi komentar sebelum dipublikasi, tulisan yang sudah diproduksi lalu diperkaya dan ditemukan tautannya. Saya bersepakat dengan Tony Day, sebagaimana kita pelajari dari esai-esai mereka, terlihatlah bahwa orang-orang Indonesia masa itu sangat independen dan secara kultural percaya diri, meskipun identitas nasional yang baru mereka peroleh di dunia modern masih bersifat sementara.

Pemaknaan baru atas berbagai peristiwa historis ketika pertarungan gagasan belum lagi jadi pendesakan ide ini, seperti terjadi pada tahun-tahun setelahnya, menunjukkan betapa kebudayaan menjadi isu sentral dalam ikhtiar menjadi Indonesia—sesuatu yang tidak saya temukan di masa kini.

Akhirnya, dalam fisika dikenal apa yang disebut teori oversum histories—alam semesta ini memiliki banyak sejarah. Mentautkannya dengan pembacaan ulang sejarah menjadi Indonesia, yang dituturkan dengan bernas dalam buku ini, membuat saya berandai-andai perihal kemungkinan lintasan sejarah lain yang mungkin ditempuh bangsa ini. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler