x

Iklan

arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nyi Roro Kidul dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Roland Barthes pun mengungkapkan bahwa seringkali “mitologi” digunakan untuk menyembunyikan identitas kerja struktur sosial yang eksploitatif. Melalui pesan yang dibungkus dengan imaji-imaji tertentu, yang ditransformasikan seolah-olah wajar dan alamiah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin sedikit sekali diantara masyarakat Jawa yang tidak mengenal gaungnya tokoh Ratu Pantai Selatan yang bernama Nyi Roro Kidul. Ia seringkali digambarkan berupa sosok perempuan cantik, rambutnya panjang terurai serta berpakaian warna hijau ala wanita Jawa. Di ujung kepalanya terdapat mahkota yang menandakan bahwa ia adalah ratu atau raja dari sebuah kerajaan. Konon, ia adalah penguasa lautan serta memiliki kekuatan sakti mandraguna untuk mengendalikan perairan diselatan Pulau Jawa (Samudra Hindia).

Ada segudang versi yang menceritakan Nyi Roro Kidul. Ada yang mengatakan ia adalah "istri spiritual" raja Mataram. Ada pula yang mengatakan, Nyi Roro Kidul adalah seorang putri dari kerajaan Padjajaran yang telah diusir dari istana karena dia menolak suatu perkawinan yang diatur oleh ayahnya. Raja Padjajaran lalu mengutuk putrinya, hingga akhirnya dia dijadikan ratu kaum roh halus dengan istananya di bawah perairan Samudera Hindia.

Gaib memang, namun entahlah apa motif di balik selubung dari yang gaib itu. Asumsi para pengamat sejarah, bahwa keyakinan akan keberadaan Kanjeng Ratu Kidul sengaja digelorakan guna melegitimasi kekuasaan Mataram terhadap rakyat pesisir yang tidak mau tunduk terhadap kekuasaannya. Hingga akhirnya mereka terpaksa tunduk dengan “mitos”, bahwa Nyi Roro kidul adalah istri gaib raja. Entahlah asumsi itu benar atau tidak. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin untuk kawula muda,seringkali tahu akan kisah Nyi Roro Kidul dari film-film yang diperankan oleh Tante Suz (sebutan untuk Suzanna) seperti Ajian Nyi Roro Kidul (1991), Bangunnya Nyi Roro Kidul (1985) dan lain sebagainya. Film ini sangat laris diera Orde Baru, bahkan menjadi tontonan yang sangat familiar di layar kaca kita. Sehingga mau tak mau, film ini juga ikut memperkokoh keyakinan kita akan mitos Nyi Roro Kidul dan menyeret pikiran kita untuk membenarkan adanya Nyi Roro Kidul.

Dulu di era 1960an, film-film yang bergenre Horor seperti ini sering menjadi sasaran kritik dari para seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), bahwa film-film yang berbau takhayul di khawatirkan mengakibatkan masyarakat cenderung untuk melihat semua gejala sosial hidupnya tidak dengan konsep-konsep sosiologis tetapi dengan menggunakan kategori-kategori mistis. Sehingga mengaburkan kekuatan dan tekanan stuktur sosial yang mempengaruhi kondisi hidupnya. Sama halnya menumpulkan kesadaran masyarakat, katanya.

Mungkin dikhawatirkan karena berpotensi akan membangun apa yang dikatakan Paulo Freire sebagai Kesadaran Magis di dalam benak masyarakat kita, ciri kesadaran yang meyakini bahwa masalah-masalah hidup seperti kemiskinan, sudah merupakan suratan takdir dan mereka harus menerimanya. Akhirnya masyarakat kita tidak mampu melihat kaitan antara kondisi hidupnya dengan sistem sosial dan politik yang ada. Dan apa mau dikata, terciptalah apa yang dikatakan Freire sebagai “Budaya Bisu”, yang hidup segan mati tak mau.

Bagi kawula muda yang budiman, kritik yang demikian mungkin terlalu ekstrem. Namun Roland Barthes pun mengungkapkan bahwa seringkali “mitologi” digunakan untuk menyembunyikan identitas kerja struktur sosial yang eksploitatif. Melalui pesan yang dibungkus dengan imaji-imaji tertentu, yang ditransformasikan seolah-olah wajar dan alamiah. Atau mungkin adanya mitos Si Ratu Pantai merupakan hal yang lumrah, mengingat bangsa ini memang bangsa Maritim yang wilayahnya 70% berupa laut dan lautan.Negara yang di kelilingi lautan.

Sehingga masyarakatnya meyakini bahwa ada penguasa wilayah lautan yang sakti mandraguna, Semacam penjaga lautan, yang melindungi wilayah Samudera Hindia. Mungkin mitos ini pula yang diyakini oleh mendiang Presiden Soeharto selama ia berkuasa di negeri ini. Sehingga selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, ia merasa tak perlu membangun pertahanan di wilayah lautan bahkan Angkatan Laut kita merasa tak di urus. Pakta pertahanan (orientasi ketahanan nasional) justru lebih dipusatkan di wilayah darat, dengan membangun satuan pasukan dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa, dari Pangab, Pangdam, Kodam, Korem, Kodim, Koramil hingga Babinsa.

Namun fakta yang seringkali terungkap, bahwa tujuan Orde Baru mengubah orientasi pertahanan ke wilayah darat, bukanlah untuk mengamankan wilayah NKRI dari serangan luar. Namun untuk memperkokoh kekuasaannya di dalam negeri, melindungi dari ancaman politik dalam negeri. Bagi Orde Baru, musuh justru ada di dalam negeri bukan di luar. Sehingga Angkatan Bersenjata di Indonesia pada waktu itu, bukan seperti tentara Amerika yang sering kita lihat di film-film Hollywood yang heroik di medan perang untuk membela bangsanya. Tapi berada di jalan raya untuk mengamankan mahasiswa yang sedang berdemo, menjadi politikus nasional bahkan sebagian besar bergelut di wilayah bisnis. Entahlah apa tujuannya…

Takdir Tuhan mengatakan Indonesia sebagai negeri Maritim, negeri yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan, maka tuntutan membangun “pakta pertahanan” di wilayah lautan adalah sebuah keniscayaan, sebagai sebuah kebutuhan dari takdir geografis. Karena mau tak mau, posisi Indonesia sangatlah strategis karena berada pada posisi silang dunia yakni berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta diantara Benua Asia dan Benua Australia, yang juga merupakan jalur lalu lintas dunia baik laut maupun udara yang sangat padat.

Maka tidaklah mengherankan jika Robert D.Kaplan menyebut Indonesia terutama Selat Malaka sebagai the heart of Maritime Asia yang merupakan choke point paling vital dalam perdagangan dunia saat ini, dimana Selat ini telah mempertemukan Samudera Hindia dan Pasifik Barat. Jalur laut ini menghubungkan rute dari Teluk Persia ke arah barat menuju Eropa Barat, dan ke arah Timur menuju Asia Timur dan Amerika Serikat. Jalur ini merupakan jalur energi minyak dan gas bumi yang tidak boleh terputus, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan pasokan energi negara-negara maju untuk bisa menjalankan industrinya.

Dari Samudera Hindia yang luas, puluhan kapal-kapal supertanker raksasa dari sumur-sumur minyak di Teluk Persia akan melalui Selat Malaka menuju Pusan,Yokohama, dan semakin banyak ke Shanghai. Berdasarkan data dari Energy Information Administration (EIA), pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 18 juta barrel minyak mentah per hari melintasi Selat Malaka menuju Asia Timur Laut, Eropa Barat dan Amerika Serikat. Artinya 80 persen perdagangan di Selat Malaka bersifat ekstra-regional (misalnya, minyak mentah ke Eropa, Amerika Serikat, China, Korea Selatan dan Jepang).

Sudah menjadi resiko geopolitik, jika Indonesia menjadi “panggung” kontestasi kepentingan negara-negara Industri maju. Menguasai Indonesia sama halnya menguasai Samudera Hindia, sama halnya menguasai Asia Pasifik yang kini menjadi poros perdagangan dunia. Sehingga sama saja menguasai dunia. Ternyata potensi wialayah laut kita begitu besar, bukan hanya soal ikan dan teripang, namun soal jantung dunia. Wilayah Laut kita menjadi jantung perdagangan dunia. Dan ke depan kita akan menghadapi era perdagangan masyarakat ekonomi ASEAN yang juga berpusat pada wilayah lautan.

Lantas, akankah kita tetap menyerahkan wilayah laut kita pada Kanjeng Nyi Roro Kidul? Mungkin laut kita akan tetap aman dalam genggaman Kanjeng Nyi Roro Kidul  walaupun sudah banyak pangkalan Angkatan Laut Amerika di Filipina, India, Darwin. Bahkan dalam beberapa kasus, China banyak memberikan subsidi pembangunan pelabuhan baru dan fasilitas perangkat kelautan untuk memberikan akses mudah kepada angkatan laut China mengingat 80 persen impor energi China melewati Selat Malaka sehingga Selat Malaka sangatlah penting bagi ekonomi China (Baca: China Military in ASEAN). Begitu pula Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang dan Korea Selatan.

Ikuti tulisan menarik arjunaputra aldino lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler