x

Iklan

arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendidikan sebagai Proses “Interstanding Human Being”

Tujuan utama pendidikan adalah membantu individu untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia. Setiap manusia dilahirkan dengan ciri khas, yang harus dikembangkan, yang merupakan suatu realitas besar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendidikan menjadi sebuah jalan yang mesti dilalui oleh manusia sebagai warga masyarakat yang menyebut dirinya modern. Selayaknya sebuah kanal yang mesti dilalui sebuah sungai untuk mencapai ke laut bahkan samudera. Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh manusia, dari manusia dan untuk manusia. Tujuan utama pendidikan adalah membantu individu untuk mampu mewujudkan dirinya sebagai manusia. Setiap manusia dilahirkan dengan ciri khas, yang harus dikembangkan, yang merupakan suatu realitas besar. Dengan demikian, pendidikan adalah sama dengan realitas itu sendiri. Pendidikan pada kebanyakan dipahami sebagai proses understanding human being, dimana pendidikan menjadi sebuah proses pembingkaian peserta didik secara sistematis.

Pendidikan hanya sekedar dipahami sebagai proses tercapainya sekumpulan tujuan proses pembelajaran secara rinci yang sudah ditentukan sebelumnya. Sehingga peserta didik kurang diakui eksistensinya, dia hanya dipahami sebagai subjek yang siap dibingkai dalam mekanisasi pemikiran yang sudah ditentukan sebelumnya. Pendidikan seringkali terhanyut dalam apa yang dikatakan oleh Lyotard sebagai “Narasi Besar”. Narasi Besar merupakan konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain diluar narasi besar dianggap sebagai narasi yang tidak benar.

Dimana pendidikan hanya dipahami sebagai proses memperoleh ketrampilan guna memenuhi tuntutan Kapitalisme Global serta proses Pendidikan pun bukan lagi  dimaknai sebagai proses self-evident bagi guru dan peserta didik melainkan dimaknai dalam kriterium performatif yakni maximum output with a minimum input (menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wajar ketika pendidikaan seperti demikian kurang memunculkan berbagai kemungkinan hal-hal baru tentang dunia bagi manusia itu sendiri. Di sinilah Pendidikan justru melemahkan kekuatan dari potensi yang dimiliki peserta didik. Melemahkan potensi-potensi yang beragam dan unik pada diri manusia yakni guru dan siswa. Inilah yang disebut Herbert Marcuse sebagai fenomena “One-Dimensional Man”, yakni praktik untuk menggiring masyarakat pada satu sistem yang sama.

Eksistensi peserta didik direduksi secara kalkulatif (angka-angka) dan hitam atau putih (lulus atau tidak lulus). Sedangkan para guru dievaluasi berdasarkan efisiensi penyampaian bahan pelajaran. Pendidikan semacam ini minim nilai-nilai intrinsik. Apa yang ada dalam Pendidikan sudah ditentukan oleh syarat-syarat teknologis dari suatu sistem. Pendidikan sekedar proses penyampaian penggalan ide-ide atau informasi-informasi yang sudah ditentukan sebelumnya secara baku.

 

images

 

 

Sehingga guru dan siswa menjadi sesuatu yang asing bagi dirinya dan dunianya. Dengan demikian, Pendidikan ada bukan untuk Manusia, Pendidikan yang baik ada untuk meningkatkan kualitas Pendidikan itu sendiri. Artinya Pendidikan ada demi Pendidikan, Pendidikan untuk Pendidikan bukan Pendidikan ada untuk manusia. Pendidikan hanya diarahkan untuk memenuhi tuntutan mengangkat Standar Umum yang sudah ditentukan sebelumnya dan sekedar dimaknai sebagai tercapainya keberhasilan tujuan. Sehingga muatan Pendidikan tidak memberikan ruang bagi guru dan siswa untuk berkreasi, inovatif dan kritis.

Pendidikan sebagai Proses Interstanding Human Being adalah sebuah proses pembelajaran dimana peserta didik bersama guru terlibat aktif dalam proses perjalanan yang menantang dan menyenangkan menuju hal-hal yang baru dan tidak diketahui. Being disini dapat dipahami dalam pengertian Heideggerian adalah sebagai proses selalu menjadi “Ada”. Sebuah kesadaran diri, kesadaran akan lingkungan dan situasi/keberadaannya, serta kesadaran memahami konsep pengetahuan yang dipelajarinya dan menghubungkannya dengan rasa keberadaan.

Dalam proses pembelajaran yang demikian, orientasi yang digunakan tidak lagi teacher-centered learning atau student-centered learning, tetapi lebih berupa teacher-student learning together. Di sinilah dibutuhkan bukan guru yang sekedar mengajari namun juga menginspirasi. Guru-guru seperti ini tidak sekedar berusaha mencetak murid-murid naik kelas dengan standar angka tertentu, namun membekali murid-muridnya dengan inspirasi yang tak pernah mati. Bahkan jika sang murid terpaksa tak mampu melanjutkan sekolah atau gagal memenuhi standar nilai yang ditetapkan, inspirasi itu tetap hidup dalam diri si murid. Bagaikan api yang tak pernah padam.

Dalam hal ini, guru harus mampu menempatkan diri pada “peran yang secara empatik menantang”, guru yang open minded untuk menerima ide-ide atau tanggapan-tanggapan baru dari siswa. Guru pun harus mampu menantang pemikiran siswa dan memicu semangat siswa. Agar pembelajaran menjadi sebuah perjalanan yang menantang sehingga peserta didik dapat menemukan substansi “aku” pada dirinya, aku yang self-evident bukan “aku” apa kata mereka atau aku sebagai diri mereka (they-self).

 

 

Ikuti tulisan menarik arjunaputra aldino lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu