x

Iklan

Ipul Gassing

Pemilik blog daenggassing.com yang senang menulis apa saja. Penikmat pantai yang hobi memotret dan rajin menggambar
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berburu 'Cakar' di Makassar

Tentang salah satu produk pakaian impor bekas yang tetap bertahan di kota Makassar sampai sekarang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cakar, mendengar nama itu Anda mungkin mengira saya sedang berbicara tentang kuku dan bekasnya yang mungkin tertinggal di badan. Tapi, kalau Anda hidup di kota Makassar dan sekitarnya maka terma CAKAR mempunyai arti berbeda.

Cakar yang saya maksud di sini adalah akronim dari Cap Karung. Kalimat cap karung ini merujuk kepada beberapa pakaian bekas yang memang ditaruh di dalam karung. Pakaian bekas ini biasanya datang dari Asia Timur seperti Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan. Beberapa di antaranya juga datang dari Eropa, Amerika dan sedikit Australia.

Pakaian-pakaian bekas itu adalah pakaian bekas yang masih sangat layak pakai, hanya saja kondisinya mungkin terlihat kurang nyaman karena biasanya hanya ditumpuk begitu saja ketika dijajakan. Memang butuh ketelitian dan ketabahan tingkat tinggi untuk bisa menemukan pakaian yang mana yang sesuai selera.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sampai sekarang saya belum menemukan catatan resmi kapan pakaian bekas ini masuk ke Sulawesi Selatan. Tapi seingat saya pertengahan 1990an orang-orang di sekitar saya sudah ramai membahas tentang pakaian bekas import ini. Pare-Pare, kota di utara kota Makassar adalah tempat yang jadi tujuan kedatangan pakaian bekas import itu. Pare-Pare dengan pelabuhannya terkenal sebagai pintu gerbang pakaian bekas import yang datang dari Nunukan atau daerah perbatasan di Kalimantan lainnya.

Tak heran kalau Pare-Pare lebih dulu terkenal sebagai sentra cakar. Barang yang masuk melalui Pare-Pare kemudian disebar ke berbagai daerah, termasuk kota Makassar.

Puncak kejayaan cakar atau pakaian bekas import ini adalah sekisar akhir 1990an sampai awal 2000an. Ketika itu Indonesia sedang susah payah dihantam badai krisis moneter. Harga-harga melonjak tinggi dan daya beli melemah. Pakaian bekas import tentu saja jadi salah satu pilihan untuk mencukupi kebutuhan sandang, bahkan bisa mencukupi kebutuhan untuk bergaya.

Banyak pakaian bekas import itu yang mereknya lumayan terkenal atau setidaknya kualitasnya sangat bagus. Tak heran kalau ketika itu pedagang cakar menjamur di kota Makassar. Ada banyak pedagang yang berkumpul dalam sentra-sentra pedagang cakar, sisanya berjualan secara sporadis dan menjual sendiri-sendiri.

Sampai awal tahun 2000an bukan hal yang sulit untuk menemukan mobil-mobil  mengilap yang parkir di depan sentra-sentra cakar. Mereka yang paham merek atau kualitas pakaian tentu tidak mau melewatkan kesempatan mendapati beberapa pakaian dengan merek terkenal dan kondisi mash bagus tapi berharga sangat murah.

Mendapatkan barang bagus (meski bekas) dengan harga murah hanya salah satu alasan kenapa orang suka mendatangi penjual cakar. Alasan lainnya adalah karena berburu cakar membutuhkan ketahanan mental dan seni tersendiri. Ketahanan mental dibutuhkan ketika kita masuk ke lapak yang berdebu dengan aroma apek dan udara panas. Tapi semua susah-payah itu akan terbayar tepat ketika kita sudah berhasil mendapatkan cakar yang kita incar, atau pakaian dengan merek terkenal yang harga barunya bisa ratusan ribu rupiah. Itulah seni berburu cakar yang membuat banyak orang ketagihan dan susah untuk berhenti berburu cakar.

Ketika perekonomian Indonesia mulai membaik, cakar sempat terpuruk. Daya beli masyarakat mulai bisa menjangkau pakaian baru sehingga cakar mulai ditinggalkan. Satu persatu sentra cakar tutup, sementara pedagang yang bertahan mencoba banting setir dengan menjual pakaian baru dari Bandung. Sebagian lainnya menjual barang dari luar seperti kaca mata dan jam tangan yang mereka sebut sebagai “barang kapal”.

Sekira setahun belakangan ini, cakar mulai menggeliat lagi. Di sepanjang jalan Aroeppala, pedagang cakar mulai menggelar dagangan dari pagi hingga tengah malam. Ada yang berkumpul di sentra cakar, ada yang menyewa ruko dan ada pula yang hanya menggelar dagangannya begitu saja di tepi jalan.

Berburu pakaian bekas import atau cakar memang punya seni tersendiri, di belakang setiap lembaran pakaian bekas itupun selalu ada cerita yang bisa digali. Cerita tentang perjalanan panjang pakaian itu dari negeri jauh hingga tiba di kota ini. Mungkin ini pula yang membuat banyak orang tetap meminatinya hingga sekarang. 

Ikuti tulisan menarik Ipul Gassing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB