x

Jack Ma, CEO Alibaba.com (All Things Digital)

Iklan

rohmen ditahan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jack Ma dan Kebangkitan Asia

Alibaba menembus New York dan memecahkan rekor IPO. Apa artinya bagi Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Alibaba akhirnya melantai di bursa saham New York. Perusahaan Cina ini menorehkan sejarah IPO. Ini adalah IPO terbesar sepanjang sejarah. Nilainya mencapai 25 miliar dolar. Dalam perdagangan hari pertama di bursa, saham Alibaba melonjak nyaris mencapai 100 dolar per lembar saham. Hingga akhirnya ditutup pada harga 94 dolar perlembarnya. Angka ini naik 38 persen dari harga pembukaan. Total, nilai pasar perusahaan ini mencapai 165 miliar dolar. Sontak, Alibaba menyaingi perusahaan retail online serupa; eBay (64,8 miliar) dan Amazon (152,4 miliar).  Hanya dua perusahaan internet yang valuasinya mengalahkan Alibaba; Google (391,2 miliar) dan Facebook (202 miliar).

Alibaba memang fenomenal. Di retailer online ini, anda bisa mencari barang apa saja dengan murah. Mulai dari jarum yang hanya beberapa sen hingga traktor,  mesin pertambangan berharga jutaan dolar. Kebanyakan buatan Cina.  Perusahaan manufaktur Cina yang dikenal dengan tenaga kerja yang bejibun dan murah, memang bisa menghasilkan  banyak hal. Dengan sentuhan teknologi, mereka bisa menghasilkan barang dengan cepat dan banyak. Tentu dengan harga yang sangat bersaing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Belasan tahun lalu, tak ada yang melirik bagaimana memasarkan produk manufaktur CIna ini ke seluruh dunia. Jack Ma, yang tengah dinas menjadi penerjemah misi perdagangan Cina ke Seattle, Amerika Serikat, mencoba mencari ‘made in Cina’ di internet. Namun tak ada laman yang menampilkannya.  Sepulang dari barat, Ma mengajak kawan-kawannya membuat perusahaan internet: Alibaba. Perlahan, perusahaan ini berkembang. Bahkan, menarik minat perusahaan raksasa  barat Yahoo untuk ikut menanam duitnya pada 2005. Nilainya jumbo, satu miliar dolar. Alibaba akhirnya menjadi raksasa retail online di jagat maya. Juga di pentas ekonomi dunia.

Usai Alibaba melantai bursa, majalah Time menulis, negara-negara dunia berkembang akan menjadi kiblat ekonomi dunia.  Penduduk di negara-negara berkembang, seperti India, Cina dan Indonesia akan menjadi tolok ukur perkembangan pasar ekonomi. Bahkan, kantor pusat perusahaan global akan dipindah di negara-negara ini.

Sebagai pasar, Asia memang menarik. Dengan jumlah penduduk 4,1 miliar jiwa, Asia jadi daerah yang gurih dan menggiurkan untuk digarap. Mengingat populasi bumi ada 7,1 miliar, Asia adalah daerah mayoritas. Dua negara, Cina dan India,   penduduk mereka sudah menembus angka satu miliar jiwa. Cina memiliki 1,35 miiar jiwa dan India ditempati 1,22 miliar orang. Tak heran, Google merancang Android One, ponsel murah untuk negara berkembang.  India, jadi tempat peluncuran mereka. Mark Zuckerberg, menginisiasi gerakan akses internet di negara-negara berkembang sebagai hak dasar.  Asia adalah pasarnya.

Perusahaan Asia, kini bukan lagi perusahaan kacangan. Kita tahu, Apple sangat bergantung dengan Foxconn, pabrik Cina perakit produk-produk Apple. Lenovo, juga dari Cina mulai memburu perusahaan Amerika. Divisi komputer IBM, Thinkpad sudah mereka rengkuh. Motorola Mobility, yang sempat dimiliki Google, kini juga jatuh ke tangan mereka. Bahkan, salah satu petinggi Google, Hugo Barra, juga luluh dirayu perusahaan baru Cina, Xiaomi. Perusahaan Cina, kini bukan hanya pabrik. Tapi juga perusahaan global sekelas dengan perusahaan di lantai bursa NYSE.

Walaupun sukses melantai bursa, suhu para investor saham Warren Buffet tak tertarik membeli saham dengan kode BABA ini. Bagi salah satu orang terkaya di dunia ini, Alibaba besar bukan sepenuhnya karena unggul di persaingan pasar. Namun ada campur tangan pemerintah CIna. Cina, kita tahu tak sepenuhnya menganut pasar bebas. Ada proteksi dalam dunia teknologi. Ekosistem bisnisnya yang tetutup membuat bibit-bibit bisnis lokal bisa tumbuh tanpa gangguan atau saingan dari luar. Bahkan, hanya dengan menggarap pasar lokal saja, pelaku bisnis Cina bisa tumbuh menjadi pemain global. Dengan penduduk satu miliar lebih, tentu Cina adalah pasar paling menarik. Pemerintah Cina sadar akan ini. Maka mereka melindungi pelaku bisnis lokal agar tak langsung dilumat oleh pelaku global.

Twitter tak bisa beroperasi di sana. Sebagai gantinya pelaku usaha lokal membuat versi Cina-nya Twitter: SIna Weibo. Layanan ini, walau hanya dipakai oleh orang Cina, sudah populer dan langsung diperhitungkan. Apple baru tahun lalu bisa masuk ke Cina. Penjualan mereka langsung melonjak. Kini, Cina (dan Asia) adalah kunci. Bisa menjual produk di Cina (Asia), maka bisa sukses di seluruh dunia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti Cina, Indonesia memiliki penduduk yang banyak. Indonesia menempati ranking 4 negara dengan penduduk terbanyak di bawah Amerika Serikat.  Ada 251 juta jiwa yang bisa menjadi target pasar. Bedanya dengan Amerika, penetrasi teknologi kita masih minim. Ini peluang yang empuk dan gurih.  Kita tahu, dua tahun lalu, platform blog Multiply bahkan sempat memindahkan kantor pusatnya dari Florida, Amerika Serikat Ke Jakarta. Walau akhirnya mereka gulung tikar.  Google, Yahoo, Apple, belakangan Twitter, juga membuka kantor di Jakarta. Di satu sisi, ini berkah.  Di sisi lain, bikin susah.

Kita tahu, kita begitu mudah memakai produk luar. Baik itu produk fisik, maupun platform teknologi asing. Tak ada proteksi bagi pelaku usaha teknologi dan digital. Proteksi perlu agar mematangkan dan menyiapkan ekosistem pelaku usaha digital lokal. Tapi jangankan memproteksi pelaku usaha lokal, meminta perusahaan asing untuk menaruh servernya di Indonesia, kita tak mampu. Platform macam Youtube, Twitter, Facebook   dan sejenisnya, bebas kita nikmati. Jika ada yang tak bisa kita nikmati pun bukan karena proteksi, tapi karena rasa risih pemerintah. Misal pemblokiran Vimeo, sebuah platform video.

Akibatnya, pelaku usaha digital lokal begitu lahir harus langsung bersaing dengan gajah-gajah dari Silicon Valley, kampung halaman perusahaan digital global. Kita, mau tak mau menjadikan lembah itu sebagai kiblat perkembangan teknologi.  Hasilnya, mudah ditebak, kita kalah jauh saat berkompetisi dengan terbuka. Pilihan lain, mungkin seperti strategi yang dpilih Jack Ma.

Dalam film Crocodile in The Yangtze, yang mengisahkan perjalanan Alibaba, Jack Ma memilih memang tak bertarung dalam istilahnya ‘lautan lepas’. Ma juga paham, dia bukan golongan ikan yang pandai bisa berenang di lautan. Maka Ma memilih menjadi buaya dan beroperasi di sungai Yangtze. Ma, dengan adanya proteksi, secara harfiah memilih pasar lokal sebagai pasarnya. Hingga akhirnya menguasai.  Setelah kuat, baru bertarung keluar; ke lautan lepas.

 

Ikuti tulisan menarik rohmen ditahan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler