x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kamu Menginginkan Kursiku karena Nyaman, kan?

Kursi dirancang bukan hanya mengacu pada fungsi dan capaian artistik, tapi juga simbol otoritas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“I had three chairs in my house; one for solitude, two for friendship, three for society.”

--Henry David Thoreau (penulis, 1817-1862)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Engkau mencintai kursiku karena nyaman, atau karena milikku, atau karena ketika engkau duduk di situ maka aku tak punya tempat untuk duduk?” Jarod Kintz mereka-reka alasan mengapa orang lain menempati kursi miliknya. Seperti judul bukunya, My love can only occupy one person at a time, begitulah kira-kira pikiran Kintz tentang sebuah kursi tunggal.

Barangkali, oleh sebab pikiran semacam itu, sejak zaman purba, orang memperebutkan kursi tunggal. Orang enggan berbagi—kursi panjang adalah kursi bagi para penonton. Kursi tunggal adalah kursi bagi pemain yang menghendaki seluruh perhatian khalayak tertuju kepada yang duduk di situ.

Oleh sebab itu dapat dimengerti bila desain kursi bukan hanya mengacu kepada fungsi untuk memberi kenyamanan kepada yang duduk; bukan pula sekedar untuk meraih capaian artistik tertentu. Kursi, oleh para desainernya, dirancang sebagai medium ekspresi diri. Tapi kursi memperoleh makna lebih dari itu. Kursi menjadi perkara status—dan karena itu banyak sekali orang memperebutkannya.

Kursi, dalam lintasan sejarahnya, memiliki sejumlah bentuk simbolis yang beraroma spiritual maupun sosial. Kursi dirancang agar tubuh dapat bersandar dengan nyaman sehingga pikiran terpusat tanpa terganggu oleh kebutuhan jasmaniah. Dengan segenap kesadaran, kursi adalah simbol imortal dari aktualisasi diri.

Tapi kursi segera terhubung dengan otoritas dan status. Di masa-masa awal, kursi dibuat dari bahan kayu yang amat berat agar susah dipindahkan. Sosok yang duduk di atasnya menarik garis batas melalui bobot kursinya yang berlipat dibanding kursi lain. Kursi lain boleh berpindah dan bahkan disingkirkan, tapi tidak kursi sang otoritas.

Tak ada kursi yang sanggup menandingi kursi sang penguasa—bobotnya, ukurannya, kemegahannya—dan dari situlah sang penguasa menegaskan otoritasnya. Keputusan yang diambil bukanlah bagian terpisah dari kursi. “...kursi memiliki posisi penting dalam bahasa otoritas, sebagai penanda kuasa,” kata Arthur Danto.

Kursi dibuat dari material yang bukan sekedar memperlihatkan cita rasa perancangnya atau pemiliknya atau orang yang duduk di atasnya, tapi juga menandakan kemakmuran. Eboni, gading, marmer, maupun kayu yang diolah begitu indah adalah manifestasi kemakmuran. Orang-orang Mesir kuno bahkan meyakini kursi diciptakan sebagai representasi alam untuk menghindari kekacauan semesta.

Desain kursi mencerminkan jenjang kekuasan. Cobalah perhatikan ruang sidang paripurna DPR: kursi ketua dan para wakil ketua berbeda dari anggota. Amati pula ruang sidang kabinet: kursi presiden berbeda dari kursi para menteri. Di ruang sidang pengadilan: kursi para hakim berbeda dari pengacara, jaksa, apa lagi pesakitan. Di dalam desain kursi, pilihan material, ukurannya, dan peletakannya tersimpan konsep jenjang kekuasaan.

Seseorang membutuhkan kursi untuk mengangkat wibawa dirinya. Seseorang memerlukan kursi untuk memperlihatkan otoritasnya. Setiap orang niscaya perlu tempat duduk, tapi sebagian orang menginginkan kursi yang tak setiap orang bisa mendudukinya agar ia bisa memutuskan nasib orang lain. (sbr foto: spicytec.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler