x

Seorang mahasiswa mengusung sebuah poster saat berunjuk rasa menolak RUU Pilkada di depan kantor DPRD Jawa Tengah Jalan Pahlawan, Semarang, 16 September 2014. TEMPO/Budi Purwanto

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

RUU Pilkada, UU MD3, dan Petisi Tanpa Suara

impeachment anggota dewan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Justice! . All men love and prize it,what all ask, yet wish they could do without.The people look to him to hand it out.But ah! What help can human with deliver,or kindly heart, or willing hand, if fever.Rages wildly through the state, and evil itself is broodingly preparing evil?Look about, from this height,so extreme.Across the realm,it seems like some bad dream,where one deformity acts on another,where lawlessness by law is furthered,and an age of crime is discovered."

Sebuah kalimat menohok yang diambil dari dialog sang kanselir di scene The Emperor's Castle,The Throne Room,nukilan dari adegan Faust II karya Goethe ini benar-benar menggambarkan apa yang ada sekarang ini, jika kita berbicara tentang sebuah keadilan dalam rangkaian panjang pemerintahan.

Saat kita bicara tentang keadilan,apalagi jika menyangkut pasal 28 UUD 1945,yang juga diatur ulang,dijabarkan lebih eksplisit di UU no 39 tahun 99 pasal 44 yang berbunyi :

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

" Setiap orang,baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat,permohonan,pengaduan,dan atau usulan kepada pemerintahan yang bersih,efektif dan efisien,baik dengan lisan maupun tulisan sesuai dengan peraturan perundang-undangan."

Rasanya hal tersebut hanya menjadi sebuah mimpi yang tak terbeli.

Kenapa? Karena sebuah hal yang sangat tidak mungkin kita memakai hak tersebut jika menyangkut anggota dewan kita yang terhormat alias lembaga DPR,entah itu DPR RI maupun DPRD Propinsi maupun DPRD Daerah sekalipun.Meski hak petisi tersebut jelas-jelas sudah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan tertinggi negara ini yaitu UUD 1945.

Impeachment,mungkin tak banyak yang tahu tentang hal ini.Rakyat berhak mengajukan petisi guna impeachment pemimpinnya,entah bupati,gubernur atau presiden sekalipun jika mereka melakukan sebuah kesalahan atau tidak pidana berat yang menyalahi aturan hukum.Caranya adalah petisi yang diajukan disertai oleh tandatangan minimal separuh dari kuorum anggota dewan yang melaksanakan sidang paripurna istimewa,kemudian petisi impeachment tersebut diajukan untuk kemudian diproses oleh mendagri dan MA.Sedangkan untuk kasus khusus seperti presiden,yang belum pernah terjadi,menjadi hak istimewa MPR sebagai pemegang daulat tertinggi konstitusi.

Dan,kemudian yang menjadi pertanyaan adalah,jika para pemimpin kita mendapatkan pengawasan dari rekan kerjanya yaitu para anggota dewan.Apa kabarnya dengan pengawasan para anggota dewan kita? Para petinggi negeri yang selalu menyebut dirinya sebagai anggota dewan yang terhormat,bisakah,bilakah kita mengajukan petisi untuk impeachment jika mereka melakukan pelanggaran,tindak pidana berat atau memakai kekuasaan mereka untuk membuat peraturan perundang-undangan yang melukai hati rakyat

seperti UU MD3 atau RUU Pilkada yang sedang digodok?

Ternyata tidak,rakyat dijebak dengan harga mati jika mereka adalah wakil rakyat,yang dipilih oleh rakyat dan imun terhadap impeachment,meski petisi dari rakyat diisi oleh seratus juta tandatangan rakyat Indonesia sekalipun.Miris bukan? Dengan dalih mereka adalah pilihan rakyat,sedangkan seringkali mereka sendiri melupakan apa sebenar-benarnya kebutuhan rakyatnya dan lebih mementingkan apa kebutuhan kantong dan partainya.

Dan siapakah yang berhak meng-impeach para anggota dewan nakal ini? Tak lebih dan tak bukan adalah ketua partai dari si politisi ini bernaung,itupun dengan catatan jika melanggar AD-ART partai,jika tidak? Meski secara etika semua dilanggar,mereka tetap aman tenteram sehat sentausa sebagai anggota dewan yang terhormat.Ah,betapa nikmatnya memang para petinggi negeri ini,konstituen tak terbatas dengan dalih musyawarah untuk mufakat,tapi mereka benar-benar melupakan arti hikmat kebijaksanaan.

Jadi,apa kabarnya jika kita sebagai rakyat ingin menegur para wakil rakyat atau mungkin sekedar menjewer telinga mereka agar mendengarkan sebenar-benarnya suara rakyat,bisakah kita mengajukan petisi? Bilakah hal tersebut berlaku,meski jelas-jelas dilindungi oleh undang-undang dan diperkuat pula oleh UUD 1945 pasal 28,yang dijabarkan lagi di pasal 28 D ayat 1,pasal 28 E ayat 3 atau bahkan pasal 28 I ayat 1 dan 5? Dan bahkan diakui dan dilindungi pula oleh Universal Declaration of Human Right pasal 7 dan 10.

Sebuah mimpi disiang bolong,atau mungkin sebuah titik hitam dipekatnya malam,seperti kata Mephistopheles;

" In this world,what isn't lacking,somewhere,through.Sometimes it's this,or that,here what's missing's gold.True you can just rake it up froom the floor.But wisdom knows the mines where one gets more,in mountain veins,fuondation falls,coined and un-coined golden hoards.And ask me,now,who will bring it to the light,one gifted with minds power and nature's might."

Tak bolehkah kita bermimpi dalam mimpi yang sama saat suara rakyat didengar meski lewat petisi tanpa suara? Seperti sistem "We the People" milik US? Entahlah,wisdom seolah hanya menjadi sebuah pemanis yang memabukkan saja,sebuah candu dari para petinggi negeri lewat aturan tumpang tindih tak karuan.Meski tetap saja,dan selalu saja,semoga,tak selamanya rakyat hanya dikebiri memakan janji.

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler