x

Pulau Cemara Besar terletak di gugusan pulau terluar Karimunjawa. Para wisatawan sering menyelam karena pulau ini memiliki pemandangan bawah laut yang indah, kaya dengan terumbu karang. TEMPO/Aris Andrianto

Iklan

Tempo Institute

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Surat Terbuka untuk Pak Boediono Oleh: Tuti Alfiani

Pengajar Muda angkatan 8 penempatan Pulau Bawean mendapat bekal buku 'Surat Dari dan Untuk Pemimpin'. dari Wakil Presiden Boediono. Mereka menulis balik surat untuk Boediono

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pinang Gunung, 4 Agustus 2014

Kepada Yth.

Bapak Boediono,

Wakil Presiden Republik Indonesia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Salam hangat dari Pulau Bawean,

 

Sebelumnya, izinkan saya untuk memperkenalkan diri, nama saya Tuti Alfiani, Pengajar Muda Angkatan VIII penempatan Pulau Bawean. Sungguh kehormatan bagi saya jika surat ini dapat Bapak baca. Saya begitu terkesima ketika Bapak melepas Pengajar Muda VIII sebelum keberangkatan menuju penempatan di Istana Wakil Presiden. Bapak memberikan banyak motivasi, bekal bagaimana seorang guru dapat menginspirasi bagi anak muridnya. Bapak juga menceritakan bagaimana perjalanan seorang Boediono dari kecil hingga bisa menjadi Wakil Presiden Indonesia. Hari ini, setelah lebih dari sebulan saya berada di Pulau Bawean, cerita Bapak yang mengesankan tersebut saya bawa kemudian saya ceritakan kepada anak murid saya, setidaknya untuk menambah rasa percaya diri anak-anak di dusun tempat saya mengajar bahwa sekalipun mereka berada di tempat yang sulit mengenal dunia luar, mimpi harus tetap dikejar.

Secara pribadi saya berterimakasih atas kenang-kenangan yang Bapak berikan pada saat pelepasan pengajar muda VIII pertengahan Juni lalu. Buku “Surat dari dan untuk Pemimpin” terbitan TEMPO INSTITUTE menginspirasi langkah dan gerak saya dalam menjalankan tugas di penempatan. Menjadi Indonesia merupakan tantangan. Indonesia bukan hanya sebatas kata, tapi lebih dari itu, yang jika dimaknai akan terasa menyentuh dan selalu ingin berbuat sesuatu untuk Indonesia. Ternyata benar adanya betapa mencintai Indonesia memang tidak cukup dengan kata-kata semata. Sebelum mengikuti Indonesia Mengajar, saya bahkan sama sekali tidak mengetahui jika ada wilayah Indonesia yang bernama Pulau Bawean. Secara geografis pulau ini terletak di Laut Jawa antara Pulau Jawa dan Kalimantan. Tentu saja kalau kita melihat di peta tidak terlalu jauh, letaknya di utara Jawa Timur tepatnya Kabupaten Gresik. Jika ditempuh melalui jalur laut dari Pelabuhan Gresik menuju Pelabuhan Sangkapura, Bawean dengan kapal cepat selama 3-4 jam atau menggunakan kapal besar selama 9 jam. Namun jangan heran, sekalipun secara administratif Pulau Bawean masuk wilayah Kabupaten Gresik, penduduk di Pulau Bawean enggan menyebut daerahnya Jawa. Dari segi bahasa, sulit sekali ditemukan penduduk yang menggunakan Bahasa Jawa. Mayoritas menggunakan Bahasa Bawean dan bahkan ada juga yang menggunakan logat Melayu.

Pertama kali datang ke Pulau Bawean, tepatnya 18 Juni 2014, saya terkagum akan dua hal, yaitu alam dan masyarakatnya yang baik dan ramah. Pandangan mata selalu dimanjakan akan laut indah yang mengelilingi pulau, dan barisan bukit yang ditumbuhi subur pepohonan hijau. Alam yang penuh berkah, ikan berlimpah. Indonesia benar-benar kaya Pak. Tapi apakah Bapak tahu? Pulau ini “lebih dekat” dengan Malaysia walau letaknya jauh dari negara tersebut. Saya jumpai masyarakat di pulau ini banyak menggunakan produk yang berasal dari Malaysia. Sering saya melihat anak-anak atau orang dewasa menggunakan kaos sepak bola tim nasional Malaysia. Mengenal lebih dalam, ternyata masyarakatnya pun banyak yang menjadi buruh migran di Malaysia. Bergetar hati, saya tidak tahu bagaimana hal ini bisa bermula. Tapi yang pasti, bisakah Bawean di masa yang akan datang untuk “Menjadi Indonesia?”

Kesempatan menjadi Pengajar Muda menjadikan hati saya selalu bergetar ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan atau saat melihat Sang Merah Putih berkibar di sudut-sudut yang tak biasa. Tanggal 19 Juni 2014, saya datang untuk pertama kalinya ke sekolah. Saya terkejut ketika awal perjumpaan dengan anak-anak saya mendapat pertanyaan “Ibu, Jakarta itu seperti apa?” ada juga yang bertanya, “Pesawat terbang itu seperti apa dan besar ya, Bu?”, “Kereta itu seperti apa, Ibu sudah pernah naik kereta?” dan banyak pertanyaan lain yang tidak saya jumpai ketika bersama anak-anak seusia mereka saat di kota. Pertanyaan yang sederhana memang, namun memberikan makna mendalam bahwa betapa mereka terbatas dalam memperoleh informasi, bahkan bisa dikatakan mereka belum terlalu mengenal dunia luar selain dusun di mana mereka tinggal. Bapak juga perlu tahu, tidak mengherankan jika masyarakat terdahulu tidak terlalu memprioritaskan pendidikan di mana ketika anak-anak lulus SD fase kehidupan berikutnya adalah menikah, bukan melanjutkan sekolah. Informasi ini saya dapatkan dari kepala sekolah, guru, dan masyarakat di mana saya tinggal sekarang. Tentu jika Bapak mengetahui ini secara langsung, Bapak tidak akan rela generasi penerus Bapak terus melakukan perjalanan hidup seperti itu. Saya menyebut ini sebagai tantangan, seperti yang Bapak sampaikan, “Setiap generasi, setiap zaman mempunyai tantangan tersendiri”. Saya mencoba menerka-nerka untuk menemukan alasan mengapa Indonesia Mengajar sangat tepat berada di tempat ini, sebagai agen perubahan dan agen kesinambungan.

Anak-anak di pulau ini sebetulnya mampu dan sangat berpotensi untuk maju di masa yang akan datang, hanya saja mereka membutuhkan dorongan dari orang-orang yang tepat untuk mengantarkan mereka mewujudkan mimpi. Sehingga pengetahuan mereka tidak hanya sebatas dusun tempat mereka tinggal. Dusun tempat saya mengajar jaraknya hanya sekitar 11 kilometer dari kecamatan—orang menyebutnya wilayah gunung—jika ditempuh menggunakan sepeda motor kira-kira 30 menit. Tapi perbedaan kehidupan sosial, ekonomi dan pendidikan masyarakatnya cukup terasa, apalagi arus informasi yang diterima masyarakat juga sangat tidak imbang. Listrik di dusun baru tersambung dari dusun tetangga, sehingga sering mati listrik ketika malam tiba karena digunakan bersama-sama. Tapi kondisi seperti ini seharunya tidak menjadi keresahan jika kita semua termasuk masyarakat sekitar mampu memupuk sikap optimis, bahwa walau dalam situasi terbatas banyak hal baik yang sangat mungkin bisa diraih.

Bapak Boediono yang saya hormati, adakah Bapak berkeinginan untuk mengunjungi anak-anak hebat di Pulau Bawean? Saya percaya, hadirnya Bapak di tengah-tengah mereka mampu memberikan pengalaman yang tidak terlupakan sehingga mereka mampu menuliskan mimpi dan mewujudkannya, dan saya juga yakin Pulau Bawean juga ingin “Menjadi Indonesia”. Seperti pesan Bapak pada kami semua, “Siapkan diri kalian untuk menerima estafet kepemimpinan bangsa” dan anak-anak Pulau Bawean tentu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin bangsa, kelak sebagai penerima obor kepemimpinan.

Besar harapan kami (Pengajar Muda VIII dan anak-anak Pulau Bawean) dapat bertemu dan menimba ilmu dengan Bapak di Pulau Bawean. Sekian, atas perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Tuti Alfiani

Ikuti tulisan menarik Tempo Institute lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB