x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bagaimana ‘Underdogs’ Mampu Mengalahkan Raksasa?

Kualitas yang terlihat sebagai keunggulan si raksasa mungkin merupakan kelemahannya, dan apa yang terlihat sebagai kelemahan pada si 'underdogs' boleh jadi merupakan keunggulannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya ingin berbagi kearifan yang diserap oleh penulis Malcolm Gladwell dari lingkungannya dan ia tuangkan dalam buku David & Goliath: Underdogs, Misfits and the Art of Battling Giants (Penerbit Allen Lane, Oktober 2013). Sebelum ini, ulasan saya tentang karya mutakhir Gladwell ini dimuat di Majalah Tempo November 2013.
 

Bagaimana mungkin Daud mampu mengalahkan Goliat yang bertubuh jauh lebih besar, berbaju zirah, menanti pertarungan jarak dekat berbekal sebilah pedang, lembing, dan tombak? Persepsi itu membuat Raja Saul semula ragu memberi izin kepada Daud, rakyatnya yang tak berpengalaman, untuk melawan Goliat.

Tapi bagi Daud, tubuh Goliat yang sangat besar dibalut baju zirah yang berat bukanlah kekuatan, sebab raksasa itu akan lamban bergerak. Ia melawan Goliat sebagai prajurit pelontar—dari jarak jauh bersenjata ketapel dan tiga butir batu dengan sasaran yang tidak terlindung: kepala.

Cara berpikirnya yang tipikal counter-intuitive dan penuturannya yang berkisah bak pendongeng menjadikan Malcolm Gladwell ‘pengamat sosial’ yang berbeda. Sejak buku pertamanya, The Tipping Point, orang menunggu apa yang akan dikatakan penulis di The New Yorker ini. “Seandainya saya terlampau menyederhanakan, orang tidak perlu membaca buku saya,” kata Gladwell menjawab kritik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baiklah, kita tinggalkan dulu soal itu. Buku barunya sudah terbit, David & Goliath: Underdogs, Misfits and the Art of Battling Giants (Penerbit Allen Lane, Oktober 2013). Intuisi Anda benar, melihat judulnya ia sepertinya hendak berbicara perihal apa yang terjadi apabila orang biasa menghadapi raksasa. Raksasa adalah lawan yang sangat kuat, apapun itu—Gladwell memperluas pengertiannya, mungkin tentara dalam jumlah besar, tekanan psikologis yang amat sangat, atau disabilitas yang tak terhindari.

Seperti yang sudah-sudah, Gladwell berbekal kata favoritnya, ‘kita’—tentu, dengan mengecualikan dirinya—yang keliru dalam melihat suatu fenomena. Ketika sebuah tim bola basket dengan rata-rata pemain bertubuh pendek, jarang memegang bola, dan berhadapan dengan tim berpengalaman, apakah sudah tidak ada harapan? ‘Kita’, secara intutif, menjawabnya ‘ya’. Tapi, bak Daud, Vivek Ranadivé—lelaki asal Mumbai yang terbiasa bermain kriket dan menjadi pelatih dadakan tim ini—menerapkan strategi ‘full court press’ agar lawan yang lebih berpengalaman sukar bergerak maju. Di setiap pertandingan dan sepanjang waktu. Hasilnya: selalu menang.

Harus ada cara yang tidak biasa untuk mengalahkan Goliat. Kualitas yang mungkin terlihat sebagai keunggulan (advantage) si raksasa sesungguhnya adalah kelemahan (disadvantage), dan sebaliknya bagi si lemah—apa yang terlihat sebagai kelemahan boleh jadi merupakan keunggulan. Bagaimana cara ‘kita’ memandang dua perkara itu akan memengaruhi bagaimana cara ‘kita’ bertindak dan menentukan hasilnya. Cara bermain harus diubah—ini prinsip pertama.

Gladwell menawarkan sudut pandang berbeda, dan untuk itu ia mengandalkan hasil-hasil studi akademis yang prestisius untuk menopangnya. Studi Arreguin-Toft untuk mendukung argumen ‘pihak lemah yang bertarung seperti Daud biasanya menang’ cukup mengesankan. Georgia melawan Rusia pada 1816 dengan cara biasa dan kalah. Peru melawan Spanyol pada 1809 dengan cara biasa dan kalah. Dari 202 konflik tak imbang, pihak lemah yang memilih berhadapan dengan Goliat dengan cara konvensional  sebanyak 152 kali—dan kalah dalam 119 konflik.

Statistik yang dipinjam Gladwell kadang-kadang memang mengundang kritik, lantaran jumlah sampel yang tidak memadai. Namun itu tenggelam dalam pengisahan yang menawan. David & Goliath kaya akan beragam kisah—dan seluruhnya memang kisah nyata yang dijalin oleh Gladwell dengan studi psikologi-sosiologi. Gladwell yakin, dua disiplin ini dapat menyediakan panduan praktis perihal kearifan untuk hidup.

Kisah David Boeis yang inspiratif, tapi juga mengundang perdebatan, mengarahkan kita pada prinsip lain yang disebut Gladwell sebagai ‘kesukaran yang diperlukan’. Super-lawyer ini hidup bersama dyslexia. Ia mengompensasi kesukarannya dalam membaca dengan memperkuat kemampuan mengobservasi, mendengar, dan mengingat, yang ia eksploitasi di ruang pengadilan.

Boeis adalah Daud figuratif karena dyslexia-nya, walau secara literal ia Goliat (memimpin firma hukum dengan 200 pengacara). Keterbatasan itu, kata Gladwell, membuat Boeis jadi unggul—sebagaimana Richard Branson dengan Virgin Air dan John Chambers di Cisco. Namun benarkah keberhasilan Boeis lebih ditentukan oleh faktor dyslexia ketimbang ketekunannya dalam berlatih berdebat atau ingatannya yang memang hebat, bahkan sebelum ia menyadari sukar membaca? Setidaknya, dyslexia mungkin bukan satu-satunya faktor—sebagian ilmuwan menganggap Gladwell kurang kritis terhadap pikiran-pikiran akademik.

Kemenangan si lemah kadang-kadang juga dipicu oleh dilanggarnya batas-batas kekuasaan oleh si kuat. Dalam pengisahannya yang detail mengenai pergolakan di Irlandia Utara pada 1969, Gladwell meminjam prinsip huruf U terbalik: ada titik ketika penerapan kekuasaan dan otoritas yang berniat paling baik pun mulai berefek kebalikan dari yang diharapkan—lebih-banyak tidak selalu berarti lebih-baik. Si lemah mengambil keuntungan dari situasi ini.

Kurva U terbalik sukar dimengerti dan sering membuat kita kaget. Salah satu alasan mengapa kita kerap bingung, kata Gladwell, ialah karena kita lupa bahwa kita berada di dunia berbentuk U terbalik. Semua hal penting mengikuti huruf U terbalik, kata psikolog Adam Grant. Peminjaman teori maupun hasil studi akademis tak mendorong tulisan Gladwell sampai pada penciptaan teori—dan agaknya ia memang tidak bermaksud demikian.

Kalaupun kita tetap membaca Gladwell, kita tidak perlu mesti bersetuju dengan pikirannya. Dengan kekuatan mendongengnya, Gladwell berjasa dalam mengusung dunia psikologi-sosiologi yang penuh pesona kepada khalayak lebih luas. Dengan menulis sejenis ‘intellectual adventure stories’, Gladwell mengajak kita untuk menatap dunia dengan cara berbeda dan mendapati pemahaman yang tak terduga. (sbr foto: researchcenter.paloaltonetworks.com) *** 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler